Newsletter

Hawa Tapering Massal Mendekat, Bakal Picu Taper Tantrum?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 September 2021 06:30
ilustrasi Bursa

Jakarta, CNBC Indonesia - Rabu kelabu menimpa pasar modal nasional dengan aksi jual investor yang memicu koreksi saham, pasar uang, hingga ke surat utang menyusul buruknya sinyal ekonomi nasional. Hari ini, ada baiknya trading sembari memantau risiko terjadinya tapering massal.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Rabu (8/9/2021) terkapar di zona merah pada penutupan setelah Bank Indonesia (BI) merilis data indeks keyakinan konsumen (IKK) periode Agustus yang mengalami penurunan.

Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup ambruk 1,41% atau 86,4 poin ke 6.026,02. IHSG bahkan nyaris keluar dari zona psikologisnya dengan menyentuh titik terendah hariannya pada level 6.001,579.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi kembali naik menjadi Rp 12,1 triliun, tetapi investor asing memiliki posisi short (jual), sehingga mencetak penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 645 miliar di pasar reguler. Sebanyak 376 saham terkoreksi, 138 lain naik dan 142 sisanya flat.

Koreksi terjadi setelah masyarakat Indonesia terindikasi semakin tidak percaya diri menghadapi situasi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan. Pembatasan aktivitas dalam rangka pengendalian pandemi virus Covid-19 menghadang prospek pemulihan ekonomi.

Survei Konsumen yang digelar Bank Indonesia berujung pada angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di level 77,3 atau turun dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 80,2. IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian hingga 6 bulan mendatang.

"Survei Konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2021 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi masih tertahan, seiring dengan berlanjutnya kebijakan pembatasan mobilitas pada periode survei untuk mengatasi penyebaran varian Delta Covid-19," demikian tulis BI dalam keterangan resminya Rabu (8/9/2021).

Tekanan juga menimpa pasar mata uang di mana rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah mencetak penguatan 4 hari beruntun. Begitu bel perdagangan berbunyi, rupiah langsung melemah 0,14% ke Rp 14.230/US$.

Depresiasi Mata Uang Garuda makin tebal hingga 0,42% di Rp 14.370/US$ dan di akhir perdagangan berada di Rp 14.250/US$ alias melemah 0,28% di pasar spot. Rupiah bergabung dengan sebagian besar mata uang utama Asia yang juga tertekan terhadap dolar AS. Hanya yuan China, yen Jepang, dan peso Filipina yang menguat, meski tipis.

Sementara itu, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup melemah mengikuti penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS jelang rilis data ketenagakerjaan.

Mayoritas investor kembali melepas SBN, ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor. Hanya SBN bertenor 3 tahun yang masih ramai diburu oleh investor dan mengalami pelemahan yield sebesar 1 basis poin (bp) ke 3,934%. Sementara itu, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan acuan pasar kembali menguat 3,5 bp ke level 6,151% hari ini.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) menurutp perdagangan Rabu (8/9/2021) di zona koreksi, menyusul kekhawatiran investor melihat prospek pertumbuhan ekonomi AS di tengah penyebaran virus Covid-19 varian delta.

Dibuka menguat, indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 68,93 poin sedangkan S&P 500 surut 0,1% ke 4.514,09. Di sisi lain, Nasdaq drop nyaris 0,6% ke 15.286,64 atau menjadi koreksi pertama dalam lima hari terakhir.

Saham Coinbase drop 3,2% setelah bursa mata uang kripto tersebut mengumumkan adanya pemberitahuan mengenai kemungkinan aksi penegakan hukum dari otoritas bursa dan jasa keuangan AS (Securities and Exchange Commission/SEC).

Investor mengantisipasi pasar yang penuh volatilitas pada September. Koreksi berpeluang terjadi setelah indeks S&P 500 telah menguat 20% sepanjang tahun berjalan, tanpa sekalipun pernah terkoreksi hingga sebesar 5%.

"Reli di musim panas menuju level tertinggi baru indeks S&P 500 dengan potensi terpaan kenaikan suku bunga acuan ke depan, memicu perdebatan di kalangan investor apakah saham AS bisa membuat reli yang berarti hingga akhir tahun ini dan tahun depan," tulis UBS dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.

Kemarin indeks S&P 500 melemah 0,3% di tengah transaksi yang cenderung tipis. Indeks Dow Jones anjlok 260 poin, sedangkan Nasdaq menguat tipis, kurang dari 0,1% tapi cukup untuk membuatnya menembus level tertinggi baru.

Departemen Tenaga Kerja AS merilis data penyerapan tenaga kerja dan survei keluar-masuk orang dari bursa kerja. Sebanyak 10,9 juta orang mendapat pekerjaan pada Juli, dan angka pembukaan lapangan kerja melampaui angka pengangguran dengan selisih lebih dari 2 juta.

Di sisi lain, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) merilis survei aktivitas bisnis yang tertuang dalam "Beige Book." The Fed menilai pelaku bisnis tengah menghadapi kenaikan inflasi yang kian intensif akibat keterbatasan pasokan barang dan akan memicu kenaikan harga di tingkat konsumen pada area tertentu.

Kemarin indeks S&P 500 melemah 0,3% di tengah transaksi yang cenderung tipis. Indeks Dow Jones anjlok 260 poin, sedangkan Nasdaq menguat tipis, kurang dari 0,1% tapi cukup untuk membuatnya menembus level tertinggi baru. Sepanjang bulan berjalan, S&P 500 tertekan 0,2% Dow Jones melemah 0,9%, sementara Nasdaq menguat nyaris 0,2% pada September.

The Fed juga melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah sedikit tertekan ke level moderat di tengah kenaikan risiko kesehatan publik, sepanjang Juli hingga Agustus. "Perlambatan aktivitas ekonomi terutama terkait dengan berkurangnya aktivitas makan di restoran, perjalanan, dan pariwisata di banyak wilayah, merefleksikan keprihatinan terkait munculnya varian delta, dan dalam beberapa kasus, pembatasan perjalanan internasional," tulis The Fed.

Hari ini bursa global membawa angin sentiman yang kurang menyenangkan dengan koreksi di bursa saham Amerika Serikat (AS) karena kekhawatiran September Effect, di manapasar saham akan terkoreksi setelah menguat dalam 8 bulan terakhir.

Sementara itu, nada-nada pro-tapering kian santer terdengar dari belahan Benua Biru maupun dari Benua Kuning. Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menyatakan akan memulai diskusi mengenai pengurangan dukungan likuiditas mereka ke pasar, dan otoritas moneter China juga menyatakan dukungan likuiditas tak lagi mendesak.

"Kondisi sekarang mungkin tak terlalu membutuhkan likuiditas seperti sebelumnya demi membuat suku bunga di pasar uang beroperai secara stabil," tutur Sun Guofeng, Kepala Kebijakan Moneter bank sentral China (People's Bank of China) seperti dilaporkan CNBC International.

Di sisi lain, ECB diprediksi mengurangi tingkat pembelian obligasi yang dilakukannya selama ini menjadi 70 miliar euro. Sebelumnya, ECB membeli obligasi dari pasar senilai 80 miliar euro per bulan, sebagai bagian dari program Pandemic Emergency Purchase Programme (PEPP).

Di luar itu, mereka juga melakukan pembelian aset di pasar senilai 20 miliar euro per bulan. Kebijakan serupa dilakukan bank sentral AS dengan nilai pembelian US$ 120 miliar/bulan, guna membanjiri pasar dengan likuiditas sebagai upaya memasok dana murah bagi pelaku bisnis berekspansi tatkala ekonomi sedang tertekan.

Kombinasi kebijakan tapering dari tiga wilayah ekonomi terbesar dunia tersebut berpeluang memicu taper tantum jika diberlakukan dalam skala masif dan bersama-sama. Taper tantrum adalah sebutan untuk pelarian modal asing dari negara berkembang menyusul pengetatan likuiditas dan suku bunga moneter di negara maju pada tahun 2013.

Dari dalam negeri, pasar akan memantau realisasi di lapangan mengenai tingkat konsumsi masyarakat. Indeks penjualan ritel akan dirilis pada hari ini, yang menurut Tradingeconomics diprediksi tumbuh sebesar 3%, atau lebih baik dari posisi sebulan sebelumnya sebesar 2,5%.

Jika proyeksi tersebut terpenuhi, ada harapan bahwa laju koreksi di bursa nasional akan sedikit berkurang. Namun jika kasusnya seperti IKK, maka koreksi lanjutan pun bakal tak terbendung apalagi di tengah kekhawatiran mengenai efek tapering massal.

Per Agustus kemarin, taper tantum belum terlihat karena negara-negara Asia Tenggara justru masih mencetak aliran dana asing yang masuk (capital inflow). Hal ini mengindikasikan absennya taper tantrum ke depan.

JP Morgan dalam laporan berjudul "Flows & Positioning: Rotation, Rebound, Taper Anxiety" menyebutkan semua negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) mencatatkan aliran modal masuk ke negara mereka sepanjang bulan Agustus lalu.

Indonesia berada di posisi teratas di antara negara ASEAN tersebut dengan perolehan capital inflow sebesar US$ 311 juta atau setara Rp 4,4 triliun, diikuti Malaysia sebesar US$ 251 juta, Thailand (US$ 175 juta), dan Filipina (US$ 33 juta). Sebaliknya, Vietnam mencetak aliran model asing keluar (capital outflow) senilai US$ 277 juta.

"Menguatnya kembali aliran dana asing ke kawasan tersebut terjadi selama 6 bulan beruntun, dipicu oleh pelonggaran pembatasan sosial secara bertahap, mengaburnya Covid-19, kenaikan tingkat vaksinasi, dan posisi tipis para investor dan investasi asing untuk rotasi, keluar dari China," tulis bank investasi asal AS tersebut dalam laporan yang dirilis Rabu (8/9/2021).

Berdasarkan realitas tersebut, JP Morgan memperkirakan kebijakan tapering (pengurangan pembelian obligasi) oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan dijalankan tahun ini kecil kemungkinan akan memicu aliran dana asing keluar dari Asia seperti tahun 2013.

Jadi untuk sementara, taper tantrum belum akan ada. Namun kelak jika tapering massal terindikasi bakal diberlakukan, ada baiknya kita bersia-siap menyingsingkan lengan baju, menghindari pasar terlebih dulu.

Berikut data ekonomi dan agenda emiten yang akan dirilis hari ini:

  • Inflasi China per Agustus (08:30 WIB)
  • Penjualan ritel Indonesia per Juli (10:00 WIB)
  • RUPST PT Sky Energy Indonesia Tbk/JSKY (10:00 WIB)
  • RUPST PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk/BIPI (14:00 WIB)
  • RUPST PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk/WEGE (14:00 WIB)
  • RUPST PT Triniti Dinamik Tbk/TRUE (14:00 WIB)
  • RUPST PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk/CENT (14:00 WIB)
  • RUPST PT Tempo Scan Pacific Tbk/TSPC (15:00 WIB)
  • Klaim tunjangan pengangguran AS (19:00 WIB)

Sementara itu, indikator perekonomian nasional terbaru adalah sebagai berikut ini:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular