
Wall Street Bangkit Abaikan Omicron, IHSG Bisa Kembali Hijau?

Secara umum, sentimen soal perkembangan pemberitaan soal Covid-19 Omicron masih akan mewarnai pergerakan pasar hari ini, begitu juga dengan keberlangsungan tapering yang dilakukan oleh bank sentral AS.
Pasar keuangan global kembali dirundung sentimen Covid-19 ketika muncul varian baru bernama Omicron dari Afrika Selatan yang disebut memiliki tingkat penularan lebih tinggi dari varian Delta.
Dalam waktu yang singkat, varian tersebut sekarang sudah ditemukan di berbagai negara di belahan dunia, mulai dari AS, Eropa bahkan hingga Asia.
Adanya sentimen negatif tersebut membuat investor asing kabur dari pasar keuangan dalam negeri. Hal ini tercermin dari aksi jual bersih yang dibukukan non-residen di pasar modal domestik.
Alhasil harga salah satu aset finansial yakni harga obligasi negara terpantau turun. Mayoritas investor di pasar obligasi pemerintah RI cenderung melepas kepemilikannya kemarin, ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN acuan.
Tekanan dan aksi jual investor asing (outflows) tersebut juga turut menekan nilai tukar rupiah. Pada periode yang sama, mata uang Garuda terdepresiasi 0,23% di hadapan greenback. Di pasar spot rupiah dibanderol Rp 14.435/US$.
Selain itu ancaman varian Omicron juga dikhawatirkan dapat menekan pertumbuhan ekonomi dunia, seperti yang diungkapkan oleh Dana Moneter International (IMF).
Selain ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi, IMF juga mengingatkan mengenai tekanan inflasi yang menghantui ekonomi global tahun depan serta potensi stagflasi yang mungkin dapat terjadi.
Selain dari perkembangan Covid-19 Omicron, ada beberapa hal yang harus dipantau. Meskipun varian Omicron menjadi perhatian utama bagi investor di pasar keuangan global dan domestik saat ini.
Di AS misalnya, inflasi terus meningkat di sepanjang tahun ini. Pada Oktober lalu, Indeks Harga Konsumen (IHK) Paman Sam naik 6,2% year on year (yoy). Ini menjadi kenaikan tertinggi sepanjang 2021 dan bahkan tertinggi dalam dekade terakhir.
Di sisi lain, sektor ketenagakerjaan AS juga terus menunjukkan perbaikan. Per November 2021, tingkat pengangguran di AS sudah berada di level 4,2% dan menjadi level terendah sejak Maret 2020.
Dalam waktu kurang dari 2 tahun tingkat pengangguran di AS bisa turun dari 14,8% pada April 2020 menjadi ke bawah 5% sejak akhir kuartal III tahun ini.
Lewat perkembangan tersebut, ada kemungkinan The Fed akan mempercepat laju tapering dan diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih awal serta agresif.
Sebelumnya The Fed resmi mengumumkan tapering pada November dengan laju US$ 15 miliar per bulan. Jika secara mendadak The Fed akan berubah jauh lebih agresif untuk mengetatkan kebijakan moneter, bsia jadi pasar bereaksi negatif.
Risiko lain juga datang dari AS adalah kelanjutan debt ceiling atau plafon utang AS. Setelah diperpanjang hingga awal Desember sekarang adalah momen penentuan.
Jika plafon utang AS tak segera dinaikkan maka AS berpeluang mengalami gagal bayar pada surat utang jangka pendeknya pada 21 Desember.
Adanya default ini bisa memicu terjadinya penurunan rating kredit AS yang membuat yield obligasi negara AS naik. Sebagai aset keuangan yang dianggap risk free, tentu saja ini bisa menjalar ke pasar keuangan global.
Selanjutnya dari dalam negeri sentimen kecil datang dari regulasi baru yang diterapkan otoritas bursa yang menghapus kode broker diĀ running trade. Meskipun transaksi bursa tercatat meningkat pada perdagangan kemarin, Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) menilai penghapusan kode broker pada running trade dapat mengubah kebiasaan bertransaksi trader saham dalam negeri. Para trader dan investor dinilai akan lebih memperhatikan penilaian fundamental dan teknikal saham, ketimbang hanya mengikuti aktivitas transaksi broker.
Ketua Umum APEI Karman Pamurahardjo mengatakan perubahan ini baru akan terlihat secara jangka menengah dan panjang. Sebab, di tahap awal ini trader masih mempelajari dan mencari kebiasaan baru dalam bertransaksi.
Adapun sentimen positif untuk pekan ini datang dari para peneliti kesehatan yang menyebutkan bahwa varian baru yang memiliki tingkat penularan tinggi, Omicron, menimbulkan gejala yang lebih ringan.
Sebuah penelitian kecil terhadap orang-orang yang dirawat di rumah sakit selama wabah varian Omicron di Afrika Selatan menemukan gejala yang lebih ringan daripada gelombang Covid-19 sebelumnya, meskipun peneliti dan dan ilmuwan secara lebih luas, memperingatkan bahwa masih terlalu dini untuk dapat dikatakan dengan pasti jika strain baru yang menyebar cepat kurang ganas dari pendahulunya.
Selain itu kabar baik kedua datang dari Presiden AS Joe Biden yang tidak mengambil langkah keras dan menegaskan tidak akan melakukan lockdown di tengah kekhawatiran varian virus baru.
"Kami akan melawan varian ini dengan ilmu pengetahuan dan kecepatan. Bukan kekacauan dan kebingungan," tegas Biden, sebagaimana diwartakan Reuters.
Kebijakan yang ditempuh pemerintahan Biden adalah pelancong yang masuk ke AS wajib dites sebelum keberangkatan dengan hasil negatif, meski sudah divaksin. Penggunaan masker diwajibkan di pesawat, kereta api, dan transportasi umum lainnya.
(fsd)