Newsletter

Dibayangi Banyak Sentimen Negatif, IHSG Bisa Rebound?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
Senin, 06/12/2021 06:12 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dalam dua pekan beruntun, menjauhi rekor tertinggi sepanjang masa 6.754,464 yang dicapai 22 November lalu.

IHSG tercatat melemah 0,35% sepanjang pekan ini ke 6.538,506. Bursa kebanggaan Tanah Air ini bergerak fluktuatif.

Ia sempat melesat 1,3%, tetapi kemudian merosot hingga 1,2%. Dalam lima hari perdagangan, IHSG mampu menguat sebanyak dua kali dengan nilai transaksi mencapai 76,9 triliun. Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 2,75 triliun.

Meski melemah sepanjang pekan ini, kinerja IHSG masih cukup bagus ketimbang beberapa bursa Asia, Eropa hingga Amerika Serikat (AS). Dibandingkan bursa saham Asia lainnya, pelemahan IHSG terbilang kecil.

Indeks Nikkei Jepang dan Straits Times Singapura jeblok lebih 2%, kemudian Hang Seng Hong Kong dan SET Thailand merosot lebih dari 1,3%. FTSE Malaysia apa lagi, juga turun 0,7%.

Adapun bursa saham Asia yang memiliki kinerja lebih baik dari IHSG adalah indeks Shanghai Composite China dan Kospi Korea Selatan yang malah mampu menguat di pekan ini.

Foto: Refinitiv

Dari Eropa, indeks DAX 30 Jerman melemah 0,57% setelah ambrol lebih dari 5,5% di pekan sebelumnya. Sementara indeks lainnya mampu rebound setelah sempat merosot dan "berdarah-darah" di pekan sebelumnya.

Dari Amerika Serikat (AS), ketiga indeks utama Wall Street Merosot. Nasdaq memimpin keterpurukan sebesar 2,6%, disusul S&P 500 minus 1,22% dan Dow Jones turun 0,74%.

Aksi jual yang melanda bursa saham global utamanya dipicu penyebaran virus corona varian Omicron. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan setidaknya 40 negara sudah "disusupi".

Virus Omicron dikatakan lebih gampang menyebar ketimbang varian delta serta ada kemungkinan kebal terhadap vaksin. Alhasil, ada kekhawatiran akan ada kebijakan lockdown lagi yang bisa membuat perekonomian global melambat.

Setali tiga uang, nilai tukar rupiah pun bisa berbuat banyak di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) selama dua pekan terakhir. Mata Uang Garuda tidak pernah menguat dalam 11 hari perdagangan terakhir. Rinciannya, melemah 9 kali, stagnan 2 kali.

Sepanjang pekan ini, rupiah mencatat pelemahan 0,66% ke Rp 14.395/US$, dan berada di level terlemah dalam 14 minggu terakhir. Sementara dalam 11 hari tak pernah menguat, rupiah merosot 1,2%.

Dibandingkan mata uang utama Asia, rupiah menjadi yang terburuk di pekan ini. Beberapa mata uang lainnya memang melemah, tetapi tidak sebesar rupiah, dengan yang terdekat adalah mata uang negeri Sakura yang terkoreksi 0,45% terhadap dolar AS sepanjang pekan lalu.

Setidaknya ada dua hal yang akan tetap membayangi dan memberatkan rupiah, pertama kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) lebih agresif dalam menormalisasi kebijakannya dan kedua virus corona varian Omicron.

The Fed secara resmi mengumumkan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya mulai November lalu. Dengan nilai QE sebesar US$ 120 miliar, butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya. Artinya, tapering akan berakhir pada bulan Juni tahun depan.

Namun dalam beberapa pekan terakhir banyak pejabat elit The Fed yang mendorong tapering dilakukan lebih cepat guna meredam tingginya inflasi. Dan, ketua The Fed Jerome Powell di pekan ini mengatakan bisa mempercepat laju tapering.


(fsd)
Pages