Newsletter

Wall Street Kompak Rebound Tajam, IHSG Happy Weekend?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
03 December 2021 06:01
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal Indonesia ditutup beragam pada perdagangan Kamis (2/12/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat kembali alias rebound, sedangkan rupiah masih belum mampu bangkit melawan dolar Amerika Serikat (AS).

IHSG menutup perdagangan Kamis dengan penguatan sebesar 1,17% ke level 6.583,82. Penguatan saham-saham perbankan kakap dengan kapitalisasi pasar besar menjadi penopang utama naiknya IHSG.

Saat IHSG menguat, tercatat ada 291 saham naik, 231 turun dan 139 stagnan. Nilai transaksi menyentuh Rp 12,74 triliun. Namun asing net buy tipis sebesar Rp 81,98 miliar di pasar reguler.

Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi dua saham yang paling diborong asing dengan net buy masing-masing sebesar Rp 99 miliar dan Rp 59 miliar.

Sementara, saham PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) menjadi yang paling dilego asing dengan net sell masing-masing mencapai Rp 39 miliar dan Rp 29,6 miliar.

IHSG yang sudah dua hari beruntun kandas sejak akhir pekan lalu memberikan ruang dan peluang untuk rebound. Itulah yang terjadi setidaknya untuk hari ini.

Berbeda nasib, rupiah kembali tidak berdaya di hadapan greenback AS. Dengan ini, mata uang Garuda sudah 9 hari tidak pernah menguat, rinciannya 7 kali melemah 2 kali stagnan.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah. Depresiasi rupiah mencapai 0,28% di Rp 14.380/US$, terlemah sejak 5 November lalu.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.375/US$, rupiah melemah 0,24% di pasar spot.

Sentimen pelaku pasar yang masih campur aduk akibat penyebaran virus corona varian Omicron. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengumumkan menemukan kasus Omicron pertama di Amerika Serikat.

Omicron kini dikhawatirkan akan cepat menyebar, apalagi di Afrika Selatan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) kini didominasi varian Omicron, hanya 4 pekan setelah kasus pertama ditemukan.

Selain itu, Omicron juga dikhawatirkan akan menyebar di negara-negara lainnya sehingga memicu perlambatan ekonomi global. Masalah rantai pasokan yang memicu tingginya inflasi juga diprediksi akan memburuk.

"Masalah rantai pasokan masih sangat rentan, varian Omicron menggarisbawahi jika krisis masih belum selesai," kata Sian Fenner, kepala ekonom Asia di Oxford Economics dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Rabu (1/12/2021).

Dalam kondisi tersebut, dolar AS yang menyandang status safe haven lebih diuntungkan ketimbang rupiah. Selain itu, rupiah juga tertekan akibat kemungkinan bank sentral AS (The Fed) mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.

The Fed resmi mengumumkan akan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya mulai November lalu. Dengan nilai QE sebesar US$ 120 miliar, butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya. Artinya, tapering akan berakhir pada bulan Juni tahun depan.

Namun dalam beberapa pekan terakhir banyak pejabat elit The Fed yang mendorong tapering dilakukan lebih cepat guna meredam tingginya inflasi. Dan, ketua The Fed Jerome Powell di pekan ini mengatakan bisa mempercepat laju tapering.

"Saat ini perekonomian sangat kuat dan inflasi juga sangat tinggi, oleh karena itu menurut pandangan saya akan tepat jika mempertimbangkan menyelesaikan tapering lebih cepat, mungkin beberapa bulan lebih awal," kata Powell di hadapan Senat AS, sebagaimana diwartakan CNBC International, Selasa (30/11).

Powell juga mengatakan akan membahas mengenai percepatan tapering di bulan ini.

"Saya mengharapkan The Fed akan mendiskusikan percepatan tapering pada rapat bulan Desember," tambah Powell.

The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 14 dan 15 Desember waktu setempat. Jika benar tapering dipercepat, ada risiko rupiah akan tertekan. Apalagi jika percepatan tapering tersebut diikuti dengan kenaikan suku bunga yang lebih awal dari prediksi sebelumnya di semester II-2022.

Bursa saham AS alias Wall Street berhasil rebound tajam pada Kamis waktu setempat, menyusul aksi jual yang didorong kabar Covid-19 Omicron pada perdagangan sebelumnya, seiring pelaku pasar melakukan aksi beli saat harga murah (buy the dip) sembari terus mengamati perkembangan kabar dari galur baru virus Corona.

Indeks Dow Jones Industrial naik 617,75 poin atau 1,82% menjadi 34.639,79, dibantu oleh kenaikan 7,5% saham Boeing.

Kemudian, indeks S&P 500 terkerek 1,4% ke posisi 4.577,10. Nasdaq Composite yang sarat saham teknologi menguat 0,8% ke 15.381,32. Sementara, indeks acuan saham berkapitalisasi pasar kecil alias small cap Russell 2000, yang sarat dengan saham-saham yang paling sensitif secara ekonomi, menanjak 2,7%.

Saham maskapai penerbangan, kasino, dan energi memimpin kenaikan pada Kamis, rebound dari penurunan pasar hari sebelumnya. Saham Delta Air Lines melonjak sekitar 9,3%, MGM Resorts melesat hampir 7,7%, dan Hilton Worldwide mendaki 7,4%.

Kemudian, saham Norwegian Cruise Line bertambah 7,7% dan Wynn Resorts ditutup melambung hampir 8,2%. Setali tiga uang, saham Occidental Petroleum dan Baker Hughes masing-masing bertambang 2,4% dan 2,5%.

Saham komponen indeks Dow Boeing melonjak 7,5% setelah China mengizinkan 737 Max untuk kembali terbang.

Saat ini, investor terus mencermati perkembangan varian baru Covid-19 Omicron, setelah kasus pertama di AS dikonfirmasi pada Rabu lalu.

Melansir CNBC International, pemerintahan Presiden AS Joe Biden bereaksi terhadap kabar bahwa kasus Omicron telah dilaporkan di California dengan meminta sektor bisnis untuk melanjutkan persyaratan vaksinasi, kendati mandat pemerintah saat ini dihentikan di pengadilan sembari menunggu peninjauan.

Selain itu, Gedung Putih juga memperketat aturan perjalanan, mengharuskan penumpang untuk diuji dalam waktu 24 jam sebelum keberangkatan.

Teranyar, kasus Omicron kedua terungkap pada Kamis. Otoritas kesehatan masyarakat Minnesota melaporkan kasus tersebut berkaitan dengan seorang penduduk yang baru saja kembali dari New York City. Adapun pasien Covid-19 asal Minnesota tersebut telah pulih dari omicron, sedangkan pasien dari California mengalami gejala ringan.

Berbeda nasib, saham Apple turun 0,61% setelah Bloomberg News melaporkan bahwa raksasa teknologi itu mengalami perlambatan permintaan iPhone menjelang musim liburan.

"Meskipun bagus untuk melihat reli, saya tidak yakin investor harus menaruh banyak perhatian ke dalamnya," kata Jim Paulsen, kepala strategi investasi untuk Leuthold Group kepada CNBC International.

Jim menambahkan, saat ini ketakutan dan sikap tamak (greed) bakal mewarnai aktivitas perdagangan saham, di tengah investor masih khawatir soal kabar terburuk yang tampaknya belum berakhir dan ketakutan akan terhambatnya pemulihan pandemi.

Kemungkinan The Fed yang akan mengurangi program pembelian asetnya atau tapering off lebih cepat dari perkiraan juga menjadi fokus pasar.

"Kita tetap berhati-hati pada indeks S&P 500 di tengah pengetatan Fed yang bersifat hawkish ke pasar yang dinilai terlalu tinggi," kata Savita Subramanian, kepala strategi ekuitas & kuantitatif Bank of America Securities.

Namun, Bank of America mencatat bahwa Desember secara historis menjadi bulan yang kuat bagi S&P 500, dengan kenaikan rata-raya 2,3% sejak 1936 dan berakhir positif sebanyak 79% sepanjang waktu. Namun, imbuh Subramanian, Desember tidak selalu kebal terhadap aksi jual.

"Kita telah melihat 'film' ini sebelumnya dan Wall Street kemungkinan akan tetap didorong oleh berita utama soal varian Covid sampai penilaian yang jelas atas gelombang [Covid-19] ini dapat dibuat," kata Ed Moya, analis pasar senior di Oanda.

Di sisi data, klaim tunjangan pengangguran awal AS mencapai 222.000 untuk pekan yang berakhir 27 November. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan ekonom yang dihimpun Dow Jones, yakni sebesar 240.000. Sementara, posisi periode sebelumnya menunjukkan angka 199.000 pelapor klaim tunjangan pertama kali, yang merupakan terendah sejak November 1969.

Adapun laporan pekerjaan AS per November akan dirilis pada Jumat. Menurut Dow Jones, ekonom memperkirakan ada tambahan 573.000 pekerjaan selama bulan lalu, naik dari 531.000 pada Oktober. Kemudian, tingkat pengangguran Negeri Paman Sam diperkirakan turun menjadi 4,5% dari sebelumnya 4,6%.

Seperti di perdagangan sebelumnya, galur Covid-19 anyar Omicron dalam kadar tertentu masih mempengaruhi mood pasar.

Kabar teranyar dari negeri tetangga, Singapura, Kementerian Kesehatan Singapura pada Kamis (2/12) melaporkan penemuan dua kasus Covid-19 Varian Omicron di negaranya. Kasus tersebut didapatkan secara impor dari Afrika Selatan.

Mengutip Straits Times, dua kasus itu tiba dari Johannesburg dengan penerbangan Singapore Airlines pada hari Rabu, 1 Desember 2021. Meski begitu, kementerian mengaku bahwa kedua pasien itu belum berinteraksi dengan publik dan masih dalam karantina ketat.

"Kedua kasus saat ini dalam pemulihan di bangsal isolasi di Pusat Nasional untuk Penyakit Menular. Mereka telah divaksinasi lengkap, dan memiliki gejala ringan batuk dan tenggorokan gatal," ujar kementerian itu.

Indonesia sendiri saat ini telah menutup/melarang sementara masuknya Warga Negara Asing (WNA) dengan riwayat perjalanan 14 hari terakhir dari 11 negara seperti Afrika Selatan Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambique, Eswatini, Malawi, Angloa, Zambia, dan Hong Kong.

Di tengah kekhawatiran yang ada, sejumlah kabar yang melegakan pun datang.

Kali ini kabar optimis mengenai virus itu datang dari Hong Kong dan Australia.

Melansir Straits Times, sekelompok ilmuwan Hong Kong telah berhasil mengisolasi varian Omicron untuk menjadi sampel medis. Hal ini berguna untuk penelitian lebih lanjut demi mengetahui respon kekebalan yang tepat atas virus ini.

Dalam keterangan resmi University of Hong Kong (HKU), pengisolasian virus ini merupakan yang pertama di Asia. Tim peneliti saat ini sedang memperluas pengamatan virus untuk menilai penularan, kemampuan penghindaran kekebalan, serta menebak patogenisitasnya.

Kabar baik lainnya, regulator kesehatan Inggris pada Kamis (2/12) memberikan lampu hijau untuk penggunaan obat Covid-19 terbaru. Obat itu merupakan pengembangan yang dilakukan perusahaan farmasi GlaxoSmithKline.

Dalam laporan Al Jazeera, pejabat berwenang menyebut bahwa obat yang diberi nama Sotrovimab terbukti ampuh dalam melawan pasien Covid-19 yang memiliki gejala cukup parah.

"Lampu hijau untuk Sotrovimab yang mengobati mereka yang berisiko tinggi mengembangkan gejala Covid-19 yang parah," ujar pernyataan itu.

Sementara itu, di lain sisi, GlaxoSmithKline mengklaim bahwa obatnya ini juga dapat digunakan untuk membentuk daya tahan tubuh dalam melawan Varian Omicron.

Pemberian izin ini menambah panjang laporan obat-obatan Covid-19 yang juga dianggap mampu melawan Varian Omicron. Sebelumnya, CEO Pfizer Albert Bourla mengatakan obat pengobatan Covid-19, Paxlovid, yang saat ini sedang dikembangkan perusahaannya mampu melawan infeksi varian itu.

Simak Juga Data Eksternal

Dari eksternal, investor akan mengamati rilis data ekonomi sejumlah negara.

Pertama, soal rilis data Purchasing Managers' Index (PMI) sektor jasa, misalnya di Australia, Jepang, China hingga AS.

Khusus AS, data PMI non-manufaktur atau jasa akan diterbitkan oleh Institute for Supply Management (ISM). Setelah mencatatkan rekor di 66,7 pada Oktober lalu, konsensus pasar mematok data PMI jasa AS turun ke 65 per November.

Kedua, pelaku pasar modal juga akan mengamati rilis data non-farm payrolls (NFP) atau penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian AS per November. Konsensus pasar sepakat bahwa data NFP bulan lalu akan bertambah 550 ribu.

 

 

Sebelumnya, terdapat tambahan 531 ribu pekerjaan pada Oktober 2021, terbesar dalam 3 bulan dan di atas perkiraan pasar 450 ribu di tengah kasus Covid-19 turun kala itu dan pengusaha menawarkan upah yang lebih tinggi dan jam kerja yang lebih fleksibel.

NFP adalah sebuah data berisikan perubahan jumlah tenaga kerja Amerika Serikat di semua sektor dengan pengecualian pegawai pemerintah, pegawai rumah tangga, pegawai yang bekerja pada organisasi LSM (non-profit/nirlaba) dan karyawan sektor pertanian.

Ketiga, masih dari Negeri yang dipimpin Presiden Joe Biden, investor juga bakal menunggu rilis data tingkat pengangguran oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS per November. Konsensus yang dihimpun oleh Tradingeconomics memperkirakan, tingkat pengangguran AS akan turun tipis menjadi 4,5%.

Sebelumnya, tingkat pengangguran AS turun menjadi 4,6% pada Oktober 2021, terendah sejak Maret 2020 dan sedikit di bawah ekspektasi pasar 4,7%.

 

Menurut catatan Tradingeconomics, pasar tenaga kerja AS terus pulih secara bertahap dari pukulan pagebluk, dibantu oleh lonjakan permintaan tenaga kerja, rekor tingkat pembukaan pekerjaan, hingga berakhirnya tunjangan pengangguran.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • PMI sektor jasa Australia November (05.00 WIB)

  • PMI sektor jasa Jepang (07.30 WIB)

  • PMI sektor jasa China (08.45 WIB)

  • Produksi industri Prancis Oktober (14.45 WIB)

  • PMI sektor jasa Spanyol, Italia, Prancis, Jerman, Uni Eropa, Inggris (15.15 - 16.00 WIB)

  • Pidato Presiden ECB Uni Eropa (15.30 WIB)

  • Tingkat pengangguran Kanada per November (20.30 WIB)

  • Data non-farm payrolls (NFP) atau penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian AS per November (20.30 WIB)

  • Tingkat pengangguran AS (20.30 WIB)

  • PMI non-manufaktur AS versi ISM per November (22.00 WIB)

Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:

  • RUPSLB SMDM (09.30 WIB)

  • RUPSLB PSAB (14.00 WIB)

  • Cum date rights issue BANK

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (November 2021, YoY)

1,75%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,82% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

Sumber: Berbagai sumber resmi, diolah

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular