Bursa saham AS alias Wall Street kompak ambles pada perdagangan Selasa (30/11) waktu setempat di tengah kekhawatiran soal efektivitas vaksin untuk mengatasi infeksi galur Covid-19 Omicron.
Selain soal Omicron, merosotnya 3 indeks saham utama Negeri Paman Sam juga terjadi setelah Ketua bank sentral AS atau The Fed Jerome Powell mengatakan, bank sentral akan membahas percepatan pengurangan pembelian obligasi (tapering off) pada pertemuan Desember mendatang.
Indeks Dow Jones Industrial merosot 652,22 poin atau 1,86% menjadi 34.483,72, terseret oleh memerahnya saham American Express dan Salesforce. Kemudian, S&P 500 ambles 1,9% menjadi 4,567,00. Nasdaq Composite yang sarat saham teknologi turun sekitar 1,6% menjadi 15.537,69.
Selain ketiga indeks utama tersebut, indeks benchmark berkapitalisasi pasar kecil Russell 2000 juga terjungkal 1,9% menjadi 2.198,91 seiring saham-saham yang sensitif secara ekonomi mendapat 'pukulan' paling keras soal kabar Omicron dan The Fed.
Dalam pidato di hadapan komite Senat, Jerome Powell mengatakan dia berpikir pengurangan laju pembelian obligasi bulanan bisa dilakukan lebih cepat daripada jadwal US$ 15 miliar per bulan yang diumumkan awal bulan ini.
"Pada titik ini, ekonomi sangat kuat dan tekanan inflasi lebih tinggi, dan oleh karena itu, menurut pandangan saya, mempertimbangkan untuk mengakhiri pembelian aset kami ... mungkin beberapa bulan lebih cepat," kata Powell, dilansir CNBC International.
"Saya berharap bahwa kita akan membahasnya pada pertemuan kita yang akan datang," imbuh Powell.
Dengan demikian, komentar Powell di atas menunjukkan bahwa fokus The Fed kini telah berubah untuk memerangi inflasi dan dampak negatifnya ketimbang potensi gangguan dalam kegiatan ekonomi akibat adanya varian baru Covid.
Pembalikan arah bursa saham AS pada Selasa, setelah sempat rebound pada Senin lalu, juga terjadi setelah CEO Moderna Stephane Bancel mengatakan kepada Financial Times bahwa vaksin yang ada kurang efektif terhadap varian baru.
Bancel mengatakan kepada CNBC International pada hari Senin bahwa dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan dan mengirimkan vaksin khusus omicron. Saham Moderna pun turun sekitar 4,4%.
"Pasar saham sangat terfokus pada aliran berita yang terkait dengan Omicron," kata Jim Paulsen, kepala strategi investasi untuk Leuthold Group.
Pada hari Senin, jelas Paulsen, "reli [saham] didorong oleh laporan yang menenangkan dari Afrika Selatan bahwa gejalanya tampak ringan, dan [pada Selasa], diguncang oleh berita dari Moderna bahwa Omicron dapat mengatasi [efektivitas] vaksin kita yang ada dan memerlukan vaksin baru dan lebih baik yang dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk berkembang."
Saham perusahaan perjalanan, yang menyebabkan penurunan pada hari Jumat dan kemudian naik pada hari Senin, mendapat pukulan sekali lagi pada perdagangan Selasa. Saham Expedia Group anjlok hampir 3,3%, Norwegian Cruise Line Holdings jatuh 3,5%, dan Booking Holdings ambles hampir 3,7%.
Imbal hasil obligasi AS atau Treasury bertenor 10 tahun turun lebih jauh di bawah 1,45% seiring investor khawatir tentang perlambatan ekonomi karena varian baru. Yield Treasury 10-tahun kehilangan 9 basis poin menjadi 1,44% (1 basis poin sama dengan 0,01%). Yield benchmark tersebut sempat setinggi 1,69% minggu lalu sebelum melorot Jumat di bawah 1,5%.
Harga minyak juga turun pada hari Selasa dengan minyak mentah berjangka (futures) West Texas Intermediate (WTI) AS turun 5,4%, atau $3,77, menjadi $66,18 per barel.
Varian Covid Omicron, pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan, kini telah ditemukan di belasan negara, yang turut menyebabkan banyak negara membatasi perjalanan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut galur omicron anyar tersebut sebagai "varian perhatian" (variant of concern) pada Jumat pekan lalu, yang membuat Dow merosot 900 poin pada hari itu--hari terburuk sejak Oktober 2020.
Gejala Covid yang terkait dengan varian omicron telah digambarkan sebagai "sangat ringan" oleh dokter Afrika Selatan yang pertama kali memperingatkan tentang varian baru tersebut. Namun, WHO mengatakan akan membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk memahami bagaimana varian tersebut dapat mempengaruhi diagnostik, terapi, dan vaksin.
Indeks volatilitas CBOE, juga dikenal sebagai VIX atau pengukur ketakutan Wall Street, naik lagi pada hari Selasa setelah menurun selama reli hari Senin. Indeks itu sempat melonjak 10 poin ke atas 28 pada hari Jumat pekan lalu.
Masih soal Omicron
Hari ini, perkembangan kabar soal Covid-19 Omicron, termasuk perdebatan soal apakah vaksin yang ada saat ini bisa melindungi orang dari galur Corona teranyar tersebut, masih akan membayangi pasar modal.
Seperti dijelaskan di atas, CEO Moderna Stephane Bancel mengatakan kepada Financial Times, Senin (29/11) bahwa dia memperkirakan vaksin yang ada saat ini kurang efektif melawan Omicron. Pernyataan ini turut membuat bursa saham global memerah.
Sementara, salah satu pendiri perusahaan biotek dan produsen vaksin Corona BioNTech SE Ugur Sahin mengatakan kepada The Wall Street Journal, Selasa (30/11), varian Omicron mungkin bisa menyebabkan lebih banyak infeksi, tetapi orang yang telah divaksinasi kemungkinan tetap terlindungi dari penyakit yang parah.
"Pesan kami adalah: Jangan panik, rencananya tetap sama: Percepat pemberian suntikan booster ketiga," kata Dr. Sahin dalam sebuah wawancara dengan The Journal, Selasa (30/11).
Selain itu, melansir Reuters, Selasa (30/11), Direktur Eksekutif Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) Emer Cooke mengatakan kepada Parlemen Eropa bahwa, bahkan jika penyebaran varian baru semakin meluas, vaksin yang ada akan terus memberikan perlindungan.
Andrea Ammon, ketua Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC), mengatakan dari 42 kasus varian yang sejauh ini dikonfirmasi di 10 negara Uni Eropa adalah ringan atau tanpa gejala, meskipun pada kelompok usia yang lebih muda.
Lebih lanjut, Universitas Oxford mengatakan tidak ada bukti bahwa vaksin saat ini tidak akan mencegah penyakit parah dari Omicron, tetapi mereka siap untuk dengan cepat merekayasa versi terbaru dari vaksin buatannya, yang dikembangkan bersama AstraZeneca jika perlu.
Timbulnya Virus Corona Varian Omicron telah membuat dunia mengambil langkah-langkah baru pengetatan protokol Covid-19.
Terbaru, Norwegia mulai kembali memberlakukan pengetatan penggunaan masker di transportasi umum dan tempat publik lainnya.
Tak hanya di Norwegia, langkah-langkah pemberlakuan penggunaan masker juga diberlakukan di Inggris dan di beberapa wilayah di AS. Di Inggris, pemberlakuan masker diwajibkan mulai Selasa di transportasi dan di toko-toko, bank dan juga salon.
Sentimen dari Dalam Negeri
Selain itu, dari dalam negeri investor akan menyimak 2 data penting.
Pertama, pada pukul 07.30 WIB, akan ada data aktivitas manufaktur RI yang diukur dengan Purchasing managers index (PMI) per November 2021. Konsensus yang dihimpun Tradingeconomics menyebutkan, PMI Manufaktur Indonesia pada November akan naik menjadi 57,4%, rekor tertinggi baru.
Diwartakan CNBC Indonesia sebelumnya, pada Oktober lalu, aktivitas manufaktur Tanah Air mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat industri manufaktur Indonesia bergairah. IHS Markit melaporkan PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2021 adalah 57,2, melesat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,2.
Kedua, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan akan merilis data inflasi November 2021 hari ini, pukul 11.00 WIB, Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan angka median 0,31% untuk inflasi November 2021 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).
Sementara median proyeksi inflasi November 2021 dibandingkan November 2020 (year-on-year/yoy) adalah 1,7%. Kemudian 'ramalan' inflasi inti tahunan ada di 1,435%.

Jika ekspektasi ini terwujud, maka laju inflasi Tanah Air mengalami akselerasi. Pada Oktober 2021, inflasi bulanan adalah 0,12% dan tahunan di 1,66%. Sedangkan inflasi inti tahunan sebesar 1,33%.
Konsensus pasar tidak jauh dari angka proyeksi Bank Indonesia (BI). Dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) sampai pekan IV, MH Thamrin memperkirakan inflasi November 2021 sebesar 0,34% mtm. Ini membuat inflasi tahunan berada di 1,72% dan inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) 1,27%.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, tahun depan sederet tekanan ekonomi akan menghantui. Salah satunya soal kenaikan inflasi.
Perry menjelaskan, kemungkinan akan terjadinya kenaikan inflasi di tanah air pada Semester II-2022, disebabkan karena adanya kenaikan harga energi.
"Dari waktu ke waktu, ada risiko tekanan inflasi pada paruh kedua tahun depan, karena kenaikan harga energi atau kenaikan permintaan lebih cepat," ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (29/11/2021).
Selain risiko inflasi, ekonomi di tanah air juga akan menghadapi risiko dari pengurangan likuiditas bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang berpotensi mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kendati demikian, kata Perry, BI akan berkomitmen untuk terus menjaga indikator asumsi makro agar sesuai dalam APBN 2022, meliputi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, inflasi sebesar 3%, kinerja nilai tukar rupiah dengan rata -rata sepanjang tahun depan sebesar Rp 14.350.
Perry optimistis tahun depan ekonomi Indonesia akan terus pulih, meski masih ada beberapa isu permasalahan yang harus terus diantisipasi ke depan.
Sentimen dari Luar Negeri: Dari data PMI sampai Tapering
Pertama, pada pagi hari, pukul 07.30 WIB, investor akan mengamati data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III (Q3) 2021 Australia baik secara kuartalan dan tahunan.
Konsensus pasar menyebutkan, laju pertumbuhan PDB Negeri Kanguru akan minus 2,7% secara triwulanan (sebelumnya, +0,7%), sedangkan laju pertumbuhan PDB tahunan Q3 Australia akan naik 3% (sebelumnya 9%).
Kemudian, kedua, pukul 08.45 WIB, Caixin dan IHS Markit akan merilis data PMI Manufaktur China per November. Konsensus pasar sepakat bahwa PMI Manufaktur China akan turun tipis menjadi 50,5, setelah pada Oktober lalu berada di 50,6--level tertingginya sejak Juni 2021. Kendati demikian, aktivitas manufaktur China masih berada di zona ekspansi atau di atas 50.
Ketiga, tidak hanya di Indonesia dan China, akan ada banyak data PMI Manufaktur yang akan dirilis hari ini, seperti di Australia, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Jerman, Uni Eropa, sampai AS.
Ambil contoh, di Negeri Paman Sam, akan ada 2 jenis data PMI Manufaktur, yakni yang dirilis oleh Markit Economics dan Institute for Supply Management (ISM).
Berdasarkan konsensus Tradingeconomics, PMI Manufaktur per November untuk kedua data tersebut akan sama-sama naik masing-masing menjadi 59,1 (sebelumnya 58,4) dan 61 (sebelumnya 60,8).
Keempat, di samping soal data PMI, investor juga akan mencerna data tenaga kerja AS versi ADP Research Institute per November 2021.
Menurut prediksi analis, akan ada tambahan 580.000 pos kerja baru pada November. Namun, konsensus Tradingeconomics memberikan angka yang lebih kecil, yakni sebanyak 520.000 tenaga kerja baru.
Sebelumnya, berdasarkan data ADP, pekerjaan sektor swasta meningkat 571.000 pada Oktober 2021, naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 523.000 pos kerja.
Sebagai gambaran, laporan tenaga kerja ADP memberikan gambaran bulanan tentang kondisi ketenagakerjaan sektor swasta non-pertanian A.S. berdasarkan data penggajian transaksional aktual.
Selain itu, kelima, investor juga akan mengamati data perubahan stok minyak mentah AS per 26 November versi American Petroleum Institute (API)--yang terdiri dari hampir 600 perusahaan minyak--dan stok minyak mentah & bensin versi badan pemerintah AS Energy Information Administration (EIA).
Konsensus Tradingeconomics sepakat bahwa inventori atau stok bensin AS per 26 November akan bertambah 1,267 juta barel, setelah berkurang sejak awal Oktober lalu. Sementara, inventori minyak mentah AS akan berkurang 1,667 juta barel per 26 November, usai bertambah 1,017 juta barel pada 19 November 2021.
Adapun data dari API sudah dirilis pada Rabu (1/12) pagi, 04.30 WIB. Melansir situs Oilprice.com, per Minggu ini, API memperkirakan persediaan untuk minyak mentah turun 747.000 barel, di bawah ekspektasi analis sebesar 1,667 juta barel.
Dengan ini, persediaan minyak mentah AS telah turun sekitar 57 juta barel sejak awal tahun.
Pada minggu sebelumnya, API melaporkan peningkatan persediaan minyak sebesar 2,307 juta barel.
Harga minyak--seperti dijelaskan pada halaman sebelumnya-- turun tajam pada Selasa kemarin menjelang rilis data di tengah kekhawatiran baru bahwa varian baru omicron covid akan sekali lagi mengurangi permintaan minyak.
Tidak ketinggalan, kelima, sentimen soal pengurangan pembelian obligasi bulanan atau tapering off The Fed AS masih akan menjadi perhatian pasar.
Pada Selasa, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa bank sentral dapat meningkatkan upayanya untuk meningkatkan ekonomi untuk 'memerangi' meningkatnya tekanan inflasi.
Dalam pidato di hadapan komite Senat, Kepala Fed tersebut mengatakan, bank sentral akan mengurangi laju pembelian obligasi bulanan lebih cepat daripada jadwal US$15 miliar per bulan yang diumumkan awal bulan ini.
Powell mengatakan dia masalah itu akan dibahas pada pertemuan Desember.
"Pada titik ini, ekonomi sangat kuat dan tekanan inflasi lebih tinggi, dan oleh karena itu, menurut pandangan saya, mempertimbangkan untuk mengakhiri pembelian aset kami [tapering off]... mungkin beberapa bulan lebih cepat," kata Powell, dilansir CNBC International.
"Saya berharap bahwa kita akan membahasnya pada pertemuan kita yang akan datang," imbuh Powell.
Dengan demikian, komentar Powell di atas menunjukkan bahwa fokus The Fed kini telah berubah untuk memerangi inflasi dan dampak negatifnya ketimbang potensi gangguan dalam kegiatan ekonomi akibat adanya varian baru Covid.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Stok minyak mentah API AS (04.30 WIB)
PMI manufaktur Australia (05.00 WIB)
Pertumbuhan PDB Australia (07.30 WIB)
PMI manufaktur Jepang, Korea Selatan dan Indonesia (07.30 WIB)
Tingkat inflasi Indonesia per November (11.00 WIB)
Penjualan ritel Jerman (14.00 WIB)
PMI manufaktur Spanyol, Italia, Prancis, Jerman, Uni Eropa, dan Britania Raya (15.15 WIB - 16.30 WIB)
Data ketenagakerjaan AS versi ADP November (20.15 WIB)
PMI manufaktur AS (22.00 WIB)
Data stok minyak mentah dan bensin AS versi EIA (22.30 WIB)
Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
Sumber: Berbagai sumber resmi, diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA