Tidak hanya di Indonesia, dan Benua Asia atau bahkan Eropa, Bursa saham Amerika Serikat (AS) juga terbanting pada penutupan perdagangan Jumat (26/11), dipicu kecemasan seputar munculnya varian baru virus Covid-19 di tengah jam transaksi yang berkurang separuh menyusul libur Thanksgiving.
Indeks Dow Jones Industrial Average drop 905 poin (-2,5%) ke 34.899,34 setelah sempat tenggelam hingga 1.000 poin ke titik terendah hariannya. S&P 500 drop 2,27% ke 4.594,62. Sementara itu, Nasdaq terpelanting 2,23% ke 15.491,66.
Alhasil, dalam sepekan, Dow Jones minus 1,97%, S&P 500 merosot 2,20%, dan Nasdaq anjlok 3,52%.
Koreksi terjadi setelah pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengingatkan soal risiko varian baru Covid-19 yang merebak di Afrika, yang disebut sebagai varian Omicron, sementara kasus Covid-19 di Eropa cenderung meningkat memasuki musim liburan akhir tahun.
Inggris untuk sementara menghentikan penerbangan dari dan ke enam negara Afrika terkait dengan varian tersebut. Dua kasus teridentifikasi di Hong Kong, dan satu kasus teridentifikasi di Belgia.
Harga obligasi pun meningkat setelah imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun tertekan 15 basis poin menjadi 1,49%. Artinya, pasar sedang memburu aset yang dinilai aman risiko ini karena munculnya risiko di perekonomian.
Indeks volatilitas Cboe, yang seringkali disebut sebagai indeks kecemasan pasar, menguat ke level 28 yang menjadi posisi tertingginya dalam 2 bulan terakhir. Harga kontrak berjangka minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) drop 12% ke bawah level US$ 70/barel.
Saham Chevron anjlok 2,3%. Saham emiten perjalanan pun tertekan, seperti Royal Caribbean yang anjlok 13,2%. Saham United Airlines dan American Airlines kompak terkapar sekitar 9%. Saham bank juga tertekan di antaranya Bank of America (-3,9%) dan Citigroup (-2,7%).
Namun sebaliknya, saham Moderna melesat lebih dari 20%, Pfizer tumbuh 6,1% dan Zoom Video bertumbuh lebih dari 5%. Sepanjang pekan ini, Dow Jones terhitung anjlok 3,5% sementara S&P 500 melemah 2,2% dan Nasdaq turun 2%.
"Jumat adalah hari setelah Thanksgiving-mungkin tak banyak trader berdagang dengan jam penutupan pasar lebih dini. Jadi, kemungkinan likuiditas yang lebih rendah memicu beberapa pembalikan," tutur analis BNY Mellon Investor Solutions Ajene Oden seperti dikutip CNBC International.
Sentimen Pasar dari Dalam Negeri
Untuk pekan ini, dari dalam negeri akan minim sentimen. Setidaknya, ada dua rilis data yang akan ditunggu oleh investor adalah soal inflasi November RI dan indeks PMI Manufaktur November yang sama-sama akan terbit pada Rabu (1/12).
Inflasi Indonesia per Oktober 2021 sebesar 1,66% secara tahunan (year on year/yoy). Ramalan pasar yang dihimpun Tradingeconomics menyebutkan, laju inflasi November 2021 sebesar 1,8%.
Kemudian, indeks PMI Manufaktur RI diramal akan naik menjadi 57,4 pada November, dari posisi Oktober lalu di 57,2.
Selain itu, yang bisa menjadi perhatian pelaku pasar domestik adalah kemungkinan diumumkannya diperbaharuinya pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Sebelum varian Omicron muncul, pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Indonesia relatif sudah sangat terkendali. Namun pemerintah tentu akan mengantisipasi kembali terjadinya lonjakan di akhir tahun ini, apalagi dengan sudah dekatnya libur Natal dan tahun Baru.
Pemerintah memang telah mengungkapkan akan melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 di seluruh Indonesia pada momen liburan Natal dan Tahun Baru. PPKM level 3 dijadwalkan mulai diberlakukan mulai dari tanggal 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022.
Tapi investor tetap harus memperhatikan pengumuman selanjutnya dari pemerintah, khususnya apabila pemerintah memutuskan untuk menaikkan level PPKM. Terlebih lagi, pemerintah juga baru saja resmi melarang pelaku perjalanan dari Afrika Selatan. Visa kunjungan dan visa tinggal terbatas juga ditangguhkan sementara bagi warga negara Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambique, Eswatini, dan Nigeria.
Sentimen Eksternal
Sementara itu dari luar negeri sentimen cukup banyak. Yang pertama dari Eropa yang bergelut mengatasi lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19), apalagi setelah ditemukannya kasus varian baru di benua biru tersebut.
Padahal aktivitas bisnis di seluruh kawasan Uni Eropa baru saja mengalami kebangkitan, hal ini terlihat dari hasil survei dan data yang dikumpulkan oleh IHS Markit. Indikator awal Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) di wilayah tersebut diprediksi naik untuk pertama kalinya dalam empat bulan di bulan November, menjadi 55,8 dibandingkan dengan posisi terendah enam bulan pada Oktober lalu di 54,2.
Sentimen eksternal kedua adalah terkait potensi ancaman dari penyebaran varian baru yang memaksa berbagai negara mulai membatasi kunjungan luar negeri, meskipun sebagian besar negara saat ini masih membatasi kedatangan dari beberapa negara Afrika bagian Selatan, kecuali Israel yang resmi menutup perbatasannya untuk kedatangan dari negara mana pun.
Tiga negara besar di daratan Eropa yaitu Inggris, Jerman dan Italia menyebutkan telah menemukan kasus terkait Omicron pada hari Sabtu lalu. Selain itu ada juga Hong Kong dan Belgia yang melaporkan kasus terkait Omicron di masing-masing negara.
BioNTech juga mengatakan pada hari Jumat bahwa pihaknya mengharapkan lebih banyak data tentang varian virus corona baru yang mengkhawatirkan yang terdeteksi di Afrika Selatan dalam waktu dua minggu untuk membantu menentukan apakah vaksinnya yang diproduksi dengan mitra Pfizer Inc harus dikerjakan ulang.
Pfizer dan BioNTech mengatakan bahwa jika perlu mereka berharap dapat mengirimkan vaksin baru yang disesuaikan dengan varian yang muncul dalam waktu sekitar 100 hari.
Ketakutan akan ancaman gelombang baru dari varian Omicron mampu membuat bursa-bursa utama Asia rontok berjamaah, dengan depresiasi terbesar dialami indeks Hang Seng Hong Kong yang turun nyaris 3% pada perdagangan Jumat (26/11) lalu.
Sentimen eksternal ketiga adalah terkait percepatan tapering yang mungkin akan dilaksanakan oleh The Fed.
Awal bulan ini The Fed memang telah mengumumkan untuk melakukan pengurangan US$ 15 miliar setiap bulan atas pembelian surat utang, dari total sebelumnya mencapai US$ 120 miliar per bulan.
Terbaru, kekhawatiran tentang inflasi mendominasi pertemuan The Fed November, dengan beberapa pembuat kebijakan menyarankan bahwa bank sentral harus bergerak lebih cepat dalam mengurangi program pembelian obligasi untuk memberikan fleksibilitas untuk menaikkan suku bunga lebih cepat jika diperlukan, berdasarkan risalah hasil pertemuan.
Inflasi telah meningkat selama setahun terakhir, memberikan tantangan bagi The Fed, yang bertanggung jawab untuk mempertahankan harga yang stabil dan mendorong lapangan kerja maksimum.
Inflasi telah naik salah satunya karena gangguan rantai pasokan, melonjaknya permintaan barang dan kenaikan upah telah mendorong harga lebih tinggi; pembuat kebijakan mencatat bahwa kenaikan harga sewa dan energi juga berperan.
Data yang dirilis pada hari Rabu (24/11) menunjukkan bahwa harga naik pada laju tercepat dalam tiga dekade karena konsumen dihadapkan pada harga yang lebih tinggi untuk gas dan makanan.
Tekanan dari pembuat kebijakan yang meminta agar inflasi dapat terkontrol dikatakan analis Goldman Sachs dalam catatan harian pada hari Kamis (25/11) dapat menjadikan Federal Reserve AS kemungkinan akan menggandakan laju pengurangan pembelian obligasi bulanannya mulai Januari 2022 menjadi $30 miliar.
Meskipun kalender tapering dipercepat, Goldman mengharapkan The Fed mulai menaikkan suku bunga hanya dari Juni sebanyak tiga kali pada tahun 2022. Bank investasi AS adalah salah satu dari beberapa bank yang baru-baru ini menaikkan ekspektasi kenaikan suku bunga mereka untuk tahun 2022 menjadi tiga, dari semula dua.
Terakhir investor juga perlu mencermati perkembangan harga komoditas, khususnya batu bara, CPO dan minyak mentah.
Akhir pekan ini harga minyak AS jenis West Texas Intermediate (WTI) per barelnya juga anjlok US$ 10,24, atau 13,06%, menjadi US$ 68,15 pada Jumat (26/11) waktu AS dan merupakan salah satu penurunan tertajam sejak penutupan ekonomi global tahun lalu yang menyebabkan harga minyak berubah negatif untuk pertama kalinya di seluruh AS.
Harga minyak mentah Brent juga ikut turun US$ 9,50, atau 11,55%, menjadi US$ 72,72 per barel akibat dari kekhawatiran terhadap pasar tentang kemungkinan pembatasan perjalanan global akibat kemunculan varian baru.
Penurunan perjalanan dan potensi lockdown baru dapat menekan permintaan, tepat ketika pasokan akan meningkat.
OPEC+ sedang memantau perkembangan varian virus corona baru, sumber Reuters mengatakan pada hari Jumat, dengan beberapa menyatakan kekhawatiran bahwa hal itu dapat memperburuk prospek pasar minyak kurang dari seminggu sebelum pertemuan untuk menetapkan kebijakan.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, sudah menghadapi pelepasan stok minyak yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mencoba menurunkan harga. Namun, sebuah sumber mengatakan Rusia, anggota utama OPEC+, belum khawatir tentang varian virus.
Sebelumnya, OPEC+ telah menolak seruan AS untuk berbuat lebih banyak untuk menurunkan harga minyak. Pertemuan minggu depan akan membahas output Januari.
Selanjutnya, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) anjlok 2,97% di pekan ini, setelah pekan lalu sempat mengalami kenaikan tipis. Meski demikian, sepanjang tahun ini harga CPO melesat lebih dari 30%.
Kontrak berjangka minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives diperkirakan akan diperdagangkan lebih rendah minggu depan di tengah kekhawatiran atas varian baru COVID-19 di Afrika Selatan yang mengurangi sentimen pasar.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Penjualan eceran Jepang November (06.50 WIB)
Laba perusahaan Australia (07.30 WIB)
Kredit konsumen Bank of England (16.30 WIB)
Keyakinan konsumen Final Uni Eropa November (17.00 WIB)
Laju Inflasi Jerman November (20.00 WIB)
Penjualan rumah tertunda AS per Oktober (22.00 WIB)
Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
Sumber: Berbagai sumber resmi, diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA