
Waspada Gan! Inflasi AS Overheat, The Fed Bisa Geber Tapering

Wall Street yang kembali ditutup tak kompak berpeluang membuat pasar menjadi kurang bergairah. Apalagi sentimennya fokus pada inflasi yang masih saja belum menunjukkan tanda-tanda bakal melandai.
Dari pasar komoditas, harga energi masih terpantau menguat. Harga minyak stagnan namun untuk jenis Brent sudah kembali ke atas US$ 80/barel setelah sebelumnya drop signifikan.
Sementara itu harga gas alam dan batu bara memang masih berada jauh di bawah level tertingginya sepanjang masa yang berhasil dicatatkan pada Oktober lalu. Namun harga gas kembali menyentuh US$ 5/mmbtu sedangkan uptren harga batu bara berlanjut.
Kemarin (24/11/2021) harga kontrak batu bara termal acuan global Newcastle melesat 3,67% dan ditutup di US$ 183,5/ton. Kenaikan harga batu bara dan gas bakal menjadi sentimen positif yang sifatnya sektoral. Artinya peluang kenaikan harga saham yang berbasis komoditas tersebut untuk hari ini masih terbuka.
Selain batu bara dan gas serta minyak pasar juga menyoroti harga timah. Rencana Presiden RI Jokowi untuk menyetop keran ekspor barang tambang mentah ke luar negeri termasuk salah satunya adalah timah membuat harga barang tambang tersebut melesat.
Keputusan tersebut diambil karena Indonesia telah terlalu lama menjual komoditas mentah, yang membuat negara itu kehilangan pendapatan ekspor lebih besar dan pekerjaan di industri manufaktur.
Saat ini, ekspor bulanan batangan timah di Indonesia rata-rata sekitar 6.000 metric ton (mt), dan ekspor tahunan mencapai sekitar 70.000-80.000 mt. Permintaan dunia akan timah batangan saat ini sekitar 340.000 mt pada tahun 2021.
Jika ekspor batangan timah dilarang pada tahun 2024, pasokan global di luar Indonesia dinilai tidak akan dapat menutupi kekosongan pasokan yang ditinggalkan. Sehingga, gap pasokan pasar timah dunia berpotensi meningkat secara signifikan. Ini untuk skenario jangka panjang.
Namun ketika harga komoditas terutama energi belum mau melandai, itu berarti inflasi kemungkinan akan tetap tinggi dan kebijakan moneter kontraktif bisa jadi bakal ditempuh oleh berbagai bank sentral dunia terutama The Fed.
Tapering yang agresif serta kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari perkiraan bakal menimbulkan shock di pasar. Hal ini harus diantisipasi oleh pemangku kebijakan di negara lain, termasuk Indonesia.
Dari dalam negeri semua mata tertuju pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI). Acara yang dihelat kemarin itu menjadi pusat perhatian pasar karena di sanalah bank sentral RI akan memberikan semacam guidance untuk arah kebijakannya ke depan.
BI sendiri sampai saat ini masih mengambil stance longgar. Fokus utama BI lebih ke pemulihan ekonomi lewat penurunan suku bunga kredit dan kebijakan makroprudensial longar, sinergi kebijakan moneter dan fiskal hingga injeksi likuiditas ke sistem keuangan.
"Kebijakan suku bunga rendah tetap rendah dipertahankan sampai terdapat indikasi awal kenaikan inflasi," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, Rabu (24/11/2021).
Itu clue dari MH Thamrin. Namun banyak analis dan pelaku pasar yang sebenarnya mengantisipasi kenaikan inflasi tahun depan. Kenaikan harga minyak mentah dan membaiknya mobilitas publik bakal menjadi pendorongnya.
Stance kebijakan moneter akomodatif yang tetap berhati-hati serta komunikasi yang jelas ala BI setidaknya bisa menjaga confidence investor.
Halaman 4>>
(trp/trp)