Newsletter

Kegalauan Masih Terasa di Pasar, Mampukah IHSG Rekor Lagi?

Putra, CNBC Indonesia
23 November 2021 06:12
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja aset keuangan Tanah Air cenderung tak kompak pada perdagangan awal pekan ini. Senin (22/11/2021), indeks saham ditutup menguat tipis, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) variatif dan rupiah melemah tipis melawan dolar AS.

Setelah mengalami pergerakan yang cukup volatile, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya berhasil finish di zona hijau dengan penguatan 0,05% di level 6.723,39 yang merupakan level penutupan tertinggi sepanjang sejarah baru. Salah satu yang menyita perhatian pelaku pasar adalah debut saham anak usaha BUMN telekomunikasi yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) yang mengecewakan.

Setelah berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 18 triliun melalui mekanisme penawaran perdana saham (IPO), harga saham MTEL malah anjlok 4,38% setelah diobral asing nyaris Rp 300 miliar. Saham induk usaha MTEL yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) juga ikut ambles 2,56%.

Setali tiga uang, saham TLKM juga dilepas asing dengan nilai besar hampir Rp 100 miliar kemarin. Untuk kasus TLKM harap dimaklumi karena pekan lalu saham holding telekomunikasi ini naik signifikan hingga 7,44% sebelum MTEL listing.

Koreksi saham TLKM merupakan cerminan bahwa investor mulai cash out. Ini merealisasikan keuntungan dari kenaikan harga yang tinggi dalam waktu singkat.

Bagaimanapun juga kenaikan IHSG walau tipis patut disyukuri, mengingat indeks terbenam di zona merah di sepanjang perdagangan dan baru diangkat satu jam terakhir sebelum lonceng penutupan perdagangan berbunyi.

Beralih ke pasar obligasi pemerintah, harga aset pendapatan tetap berisiko rendah ini cenderung bervariasi. Yield SBN untuk tenor 1, 5, 20 dan 25 tahun cenderung melemah yang mengindikasikan adanya kenaikan harga.

Yield tenor pendek yaitu 1 dan 5 tahun melemah paling signifikan dengan penurunan yield masing-masing 3,1 basis poin (bps) dan 4,7 bps. Sedangkan untuk SBN acuan tenor 15 tahun, yield-nya cenderung stagnan.

Sedangkan yield SBN untuk tenor 3, 10, 20 dan 30 tahun cenderung mengalami kenaikan. Kenaikan yield tertinggi dialami oleh SBN acuan tenor 3 tahun yang naik 12,4 bps. Sedangkan untuk yield SBN tenor 10 tahun naik 1,3 bps menjadi 6,19%.

Nasib kurang mujur justru dialami rupiah. Mata uang Tanah Air tersebut harus berakhir melemah 0,07% di hadapan greenback. Di pasar spot rupiah dihargai Rp 14.245/US$ di akhir perdagangan. Namun pelemahan rupiah masih terbilang kecil.

Pergerakan rupiah juga tak jauh-jauh dari level Rp 14.200/US$ hingga Rp 14.300/US$. Pengaruh faktor fundamental masih menjadi penjaga bagi rupiah. Surplus neraca dagang yang tinggi membuat transaksi berjalan RI mencatatkan surplus US$ 4,5 miliar atau setara dengan 1,5% PDB.

Selama ini yang menjadi momok bagi kestabilan rupiah adalah transaksi berjalan yang defisit (CAD). Tidak hanya defisit, CAD juga cenderung besar sehingga membuat rupiah cenderung terdepresiasi.

Halaman 2>>

Setelah mengalami awal pekan yang kurang memuaskan akibat sentimen lonjakan kasus Covid-19 yang tinggi di Eropa, kinerja Wall Street kembali kurang memuaskan di hari kedua perdagangan pekan ini.

Indeks S&P 500 melemah 0,32%. Hanya Indeks Dow Jones yang rebound, itupun penguatannya tipis sebesar 0,05%. Saham-saham teknologi yang sebelumnya hijau harus jatuh ke zona pesakitan.

Nasdaq Composite yang terkenal tech-heavy dini hari tadi justru ambrol. Hal ini dikarenakan indeks dengan bobot saham teknologi yang besar tersebut sudah menguat di awal pekan.

Sebelumnya, pasar keuangan AS juga menanti apakah ketua bank sentral The Federal Reserves yakni Jerome Powell akan dinominasikan kembali untuk memimpin otoritas moneter paling powerful di dunia tersebut.

Jay Powell begitu sapaan akrab pria berusia 68 tahun mantan bos firma investasi tersebut akhirnya dinominasikan kembali sebagai ketua The Fed oleh Presiden Joe Biden. Sementara itu Lael Breinard yang menjadi pesaing terkuat Powell dinominasikan oleh Gedung Putih sebagai Wakil Ketua.

Selanjutnya Powell dan Brainard harus mendapat restu terlebih dahulu dari Senat yang saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat (partainya Joe Biden). Meskipun saat ini suara Senat AS masih terpecah sehingga membuat risiko ketidakpastian tetap membayangi pasar.

Di bawah kepemimpinan Biden, ekonomi AS berhasil pulih dengan sangat cepat di saat pandemi Covid-19 melanda. Pasar saham pun berkali-kali mencetak rekor all time high barunya. Yield obligasi pemerintah AS berhasil ditekan sehingga tetap berada di level yang rendah dan borrowing cost menurun membuat bangkitnya perekonomian AS juga diikuti dengan perbaikan pasar tenaga kerjanya.

Namun konsekuensi dari kebijakan moneter ultra longgar dan ekspansif a la The Fed yang menginjeksi likuiditas ke sistem keunagan Paman Sam juga menimbulkan kenaikan inflasi. Tantangan The Fed saat ini adalah mengendalikan inflasi.

Lonjakan harga yang terjadi di AS yang tercermin dari kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS hingga 6,2% year on year (yoy) bulan lalu memantik kecemasan para pelaku pasar. Inflasi sudah berada jauh dari target sasaran bank sentral di 2%.

Pasar kini mulai mengantisipasi bahwa The Fed bisa saja lebih agresif dari yang diperkirakan dengan menaikkan suku bunga acuan (Federal Fund Rates/FFR) hingga 3x tahun depan guna menjinakkan setan inflasi yang terus menghantui perekonomian.

Inflasi yang tinggi adalah momok bagi seluruh pelaku ekonomi. Bagi pengambil kebijakan inflasi yang tinggi bakal membuat output perekonomian menjadi maksimal.

Bagi konsumen, inflasi yang tinggi berarti melemahnya daya beli. Sementara bagi investor dan pelaku usaha, tingginya inflasi akan menggerus marjin laba.

Halaman 3>>

Tidak kompaknya Wall Street yang tercermin dari pergerakan indeks yang variatif bisa menjadi katalis negatif untuk bursa saham Asia, termasuk Indonesia tentunya.

Namun selain perlu mencermati kinerja Bursa Saham New York, investor juga patut untuk mencermati berbagai sentimen lainnya.

Sentimen eksternal yang masih patut diperhatikan adalah perkembangan Covid-19 di Eropa. Peningkatan signifikan kasus harian infeksi Covid-19 di Benua Biru yang dibarengi dengan lockdown nasional di Austria membuat harga minyak mentah ambrol.

Baik kontrak minyak mentah jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI), keduanya ambrol dan turun ke bawah level psikologis US$ 80/barel.

Harga minyak mentah memang bangkit. Namun tekanan akibat kenaikan kasus Covid-19 masih membayangi. Hal ini terlihat dari harga minyak yang masih di bawah US$ 80/barel.

Perlu diketahui, minyak mentah merupakan input utama bagi perekonomian dan masuk ke dalam kategori aset berisiko. Pergerakan harga minyak cenderung berkorelasi positif dengan harga aset berisiko lain seperti saham. Penguatan harga minyak mentah dunia membuka ruang harga saham untuk menguat.

Namun di sisi lain harga minyak mentah yang terus naik bisa membuat inflasi semakin tinggi dan tak terkendali yang berujung menjadi risiko untuk aset-aset keuangan lain. Ini yang patut diwaspadai investor untuk jangka menengah.

Dari dalam negeri, rilis data makroekonomi berupa jumlah uang beredar (M2) dan aksi korporasi bakal mewarnai perdagangan. Selama ini, likuiditas di perekonomian cenderung berlimpah. Namun tekanan inflasi masih rendah sehingga turut menjadi sentimen positif untuk aset keuangan dalam negeri.

Berlanjutnya tren pasokan uang beredar yang tumbuh positif bisa menjadi katalis positif lain jika inflasi belum benar-benar pulih.

Kemudian soal aksi korporasi, jelang akhir tahun banyak perusahaan yang justru mengantre untuk menjadi perusahaan publik. Setidaknya ada 14 perusahaan yang berada di tahap bookbuilding (12) dan penawaran umum (2).

Jika mengacu pada data e-ipo bursa, maka target dana yang diraup oleh 14 perusahaan yang menjajaki IPO tersebut mencapai Rp 11 triliun hingga Rp 14 triliun. Tentu saja bukan nominal yang kecil. Apalagi jika melihat kasus MTEL yang sudah menyedot likuiditas di pasar sebesar Rp 18 triliun.

Artinya investor perlu benar-benar mempertimbangkan apakah likuiditas di pasar tersebut mencukupi untuk memfasilitas IPO jumbo perusahaan-perusahaan yang ingin menyandang status 'Tbk' tersebut.

Apalagi jika melihat tahun depan bakal ramai raksasa teknologi yang didominasi oleh startup unicorn dan decacorn seperti GoTo, Traveloka, SiCepat dan lainnya yang sudah mengantre untuk IPO.

Daya serap pasar yang menurun akan meningkatkan risiko bagi investor yang memburu saham-saham IPO dan berorientasi jangka pendek. Oleh sebab itu investor perlu memilah-milah mana perusahaan yang bakal dibeli lewat skema penawaran perdana.

Halaman 4>>

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis Data Indeks Keyakinan Konsumen Korea Selatan bulan November 2021 (04.00 WIB)
  • Rilis Data Indeks PMI Manufaktur, Jasa dan Komposit Australia bulan November 2021 (05.00 WIB)
  • Rilis Data Pasokan Uang Beredar (M2) Indonesia bulan Oktober 2021 (10.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (Oktober 2021, YoY)

1,66%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,82% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp) Next Article Investor Berdebar Menanti Rapat The Fed, IHSG Rawan Terkoreksi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular