Waspadai Krisis Properti China, Bagaimana Pasar Hari Ini?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan Indonesia pada pekan lalu cenderung mengecewakan. Di mana pasar saham dan pasar mata uang dalam negeri tertekan, sedangkan pasar obligasi pemerintah mengalami kenaikan imbal hasil dan pelemahan harga.
Dari pasar saham dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,15% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada perdagangan Jumat (5/11/2021), IHSG ditutup turun tipis 0,07% ke level 6.581,79.
Nilai transaksi pada pekan lalu tercatat mencapai Rp 55,93 triliun. Investor asing masih melakukan aksi beli bersih (net buy) pada pekan lalu, tetapi angkanya kembali mengalami penurunan. Data pasar mencatat net buy asing pekan lalu mencapai Rp 607,92 miliar di pasar reguler sementara pekan sebelumnya tercatat sebesar Rp 743 miliar.
Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, kinerja rupiah pada pekan lalu juga terpantau kurang menggembirakan, di mana mata uang Garuda makin menjauhi level psikologis Rp 14.000/US$.
Menurut data Refinitiv, rupiah merosot 1,13% ke posisi Rp 14.325/US$ secara point-to-point pada pekan lalu. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS lebih parah dari pekan sebelumnya yang tercatat melemah 0,32%.
Sementara itu, pergerakan pasar SBN pada pekan lalu juga cenderung negatif, di mana mayoritas harga SBN terpantau melemah. Ini ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield).
Mengacu pada data Refinitiv, hanya SBN bertenor 5 dan 10 tahun yang mengalami penguatan harga dan penurunan yield-nya. Yield SBN bertenor 5 tahun turun sebesar 0,4 basis poin ke level 4,852%.
Untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara melemah 3,9 bp ke level 6,169% pada pekan lalu. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pasar keuangan Tanah Air yang cenderung berkinerja negatif pada pekan lalu disebabkan karena pelaku pasar cenderung merespons negatif dari data ekonomi RI pada kuartal ketiga tahun 2021 yang kembali melambat.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh 3,51% secara tahunan (year-on-year/yoy) di kuartal III-2021. Produk Domestik Bruto (PDB) RI tumbuh lebih rendah dari perkiraan pasar di 3,62% (yoy).
Adanya implementasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejalan dengan serangan virus corona (Covid-19) gelombang II di bulan Juli-Agustus 2021 membuat output perekonomian Tanah Air melambat.
Sementara dari luar negeri, yakni dari Amerika Serikat (AS), pengumuman pengurangan pembelian obligasi atau tapering oleh bank sentral AS (Federal Reserves/The Fed) juga turut mempengaruhi sikap pelaku pasar, meskipun hanya berpengaruh sangat kecil ke pasar keuangan dalam negeri.
Normalisasi kebijakan moneter AS berupa pengurangan laju injeksi likuiditas sebesar US$ 15 miliar per bulan di AS tersebut resmi diumumkan dan bakal dilakukan mulai bulan ini.
Tak ada reaksi negatif di pasar terkait kebijakan tersebut karena memang tidak ada kejutan dari tapering. Semuanya sudah diperkirakan dan diantisipasi pelaku pasar.
(chd/sef)