Dari pasar saham dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,15% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada perdagangan Jumat (5/11/2021), IHSG ditutup turun tipis 0,07% ke level 6.581,79.
Nilai transaksi pada pekan lalu tercatat mencapai Rp 55,93 triliun. Investor asing masih melakukan aksi beli bersih (net buy) pada pekan lalu, tetapi angkanya kembali mengalami penurunan. Data pasar mencatat net buy asing pekan lalu mencapai Rp 607,92 miliar di pasar reguler sementara pekan sebelumnya tercatat sebesar Rp 743 miliar.
Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, kinerja rupiah pada pekan lalu juga terpantau kurang menggembirakan, di mana mata uang Garuda makin menjauhi level psikologis Rp 14.000/US$.
Sementara itu, pergerakan pasar SBN pada pekan lalu juga cenderung negatif, di mana mayoritas harga SBN terpantau melemah. Ini ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield).
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street kembali mencatatkan kinerja positifnya pada pekan lalu. Bahkan, tiga indeks utama di Wall Street berhasil mencetak rekot tertinggi barunya pada pekan lalu.
Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,15%, S&P 500 melonjak 1,82%, dan Nasdaq Composite terbang 2,41%.
Pada Jumat (5/11/2021) pekan lalu, ketiga indeks utama di Wall Street tersebut juga ditutup cerah. Dow Jones menguat 0,56% ke level 36.327,949, S&P 500 bertambah 0,37% ke 4.697,57, dan Nasdaq tumbuh 0,2% ke 15.971,59. Ketiga indeks utama Wall Street kembali mencetak rekor tertinggi barunya pada akhir pekan lalu.
Pekan lalu, sentimen yang mewarnai pasar Negeri Paman Sam adalah kebijakan pengurangan pembelian obligasi atau tapering oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Pada Kamis (4/11/2021) dini hari waktu Indonesia, Ketua The Fed, Jerome Powell memutuskan untuk mulai mengurangi pembelian surat berharga atau tapering off senilai US$ 15 miliar.
Sejak tahun lalu, The Fed memborong surat berharga di pasar senilai US$ 120 miliar setiap bulannya untuk merangsang perekonomian Negeri Paman Sam yang terpuruk akibat serangan pandemi virus corona (Covid-19).
Kini perekonomian AS mulai pulih, tekanan inflasi kian terasa karena peningkatan permintaan. The Fed pun memutuskan sudah saatnya mengurangi dosis stimulus.
Apabila pembelian surat berharga oleh The Fed berkurang US$ 15 miliar setiap bulannya, maka program ini akan selesai dalam delapan bulan.
Di lain sisi, kebangkitan ekonomi Negeri Adidaya semakin nyata dari data ketenagakerjaan terbaru. Pada pekan yang berakhir 30 Oktober 2021, jumlah klaim tunjangan pengangguran tercatat 269.000. Turun dibandingkan pekan sebelumnya yang sebanyak 283.000 dan lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 275.000.
Klaim tunjangan pengangguran menyentuh titik terendah sejak Maret 2020. Ini berarti pasar tenaga kerja AS mulai pulih seperti masa sebelum pandemi.
Masih dari data ketenagakerjaan AS, Data slip gaji karyawan swasta (di luar sektor pertanian) tercatat 531.000 atau naik 450.000 sepanjang Oktober. Ekonomi AS pada September mempekerjakan 194.000 tenaga kerja baru, atau jauh di bawah proyeksi analis yang sebelumnya memprediksi angka 500.000.
"Angka slip gaji menjadi lebih signifikan, karena menjadi bulan pertama di tengah terhentinya stimulus berupa klaim tunjangan pengangguran dari bank sentral AS [Federal Reserve/The Fed] sementara kesehatan publik terus membaik dan permintaan tenaga kerja menguat," tutur analis Goldman Sachs Chris Hussey dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.
Hal ini semakin menguatkan bahwa langkah The Fed yang mulai melakukan tapering pada bulan ini dinilai sudah tepat jika dilihat dari data ketenagakerjaan yang kembali tumbuh.
Meskipun likuiditas di pasar keuangan AS kedepannya tidak lagi berlimpah, tetapi pelaku pasar tidak mau ambil pusing dari hal tersebut dan kemungkinan efek dari tapering tidak akan separah pada tahun 2013-2015 silam.
Hal ini karena komunikasi The Fed berjalan dengan baik dan pengumuman tapering ini juga sudah diberitahukan sejak beberapa bulan lalu, sehingga pasar punya waktu untuk menyesuaikan diri.
"Pelaku pasar sudah lama memasukkan faktor tapering dalam perhitungan (priced-in). Sebab, The Fed sudah lama melakukan komunikasi dan menyampaikan rencana mereka berbulan-bulan lalu," kata Danielle DiMartino Booth, CEO Quill Intelligence yang berbasis di Texas (AS), seperti dikutip dari Reuters, Kamis (4/11/2021).
Di sisi lain, kabar positif juga datang dari pengembang obat Covid-19, di mana Pfizer mengumumkan bahwa uji klinis pilnya untuk mengobati Covid-19 menunjukkan pengurangan 89% risiko rawat inap atau kematian pasien dewasa yang berisiko tinggi.
Mengutip Briefing.com, pengobatan Pfizer diklaim berbeda dari perawatan saat ini yang membutuhkan infus dan harus dilengkapi fasilitas kesehatan.
"Berita seperti ini... membantu investor dari sudut pandang psikologis, menanamkan kepercayaan pada prospek berpotensi segera meninggalkan pandemi," kata Briefing.com, dikutip AFP, Sabtu (6/11/2021).
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati beberapa sentimen, di mana yang pertama adalah keputusan DPR AS untuk meloloskan Rancangan Undang-undang (RUU) Infrastruktur.
Salah satu isi aturan tersebut adalah persyaratan pelaporan pajak mata uang kripto. Hal ini jelas menjadi sentimen negatif untuk pasar token kripto.
Sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat AS (US House of Representatives) sepakat untuk meloloskan RUU infrastruktur bipartisan yang berisi persyaratan pelaporan pajak mata uang kripto yang oleh beberapa kalangan, khususnya pecinta kripto dianggap sebagai langkah kontroversial.
DPR AS mendukung RUU tersebut dengan setidaknya 218 setuju pada Jumat malam, memuluskan salah satu prioritas utama bagi pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
Senat awalnya meloloskan RUU tersebut pada bulan Agustus setelah anggota parlemen menolak segala upaya untuk mengubah ketentuan terkait kripto.
RUU tersebut akan memberikan dana US$ 550 miliar atau setara dengan Rp 7.865 triliun (kurs Rp 14.300/US$) untuk investasi federal baru dalam infrastruktur Amerika selama 5 tahun, menyentuh segala aspek mulai dari jembatan dan jalan hingga sistem broadband, air, dan energi.
Selain itu pelaku pasar juga masih perlu mencermati perkembangan kasus gagal bayar (default) surat utang emiten properti di China.
Otoritas Bursa setempat memutuskan untuk menghentikan perdagangan saham developer properti, Kaisa Holdings akibat gagal bayarnya kupon obligasi ke investor lokal.
Berdasarkan catatan Reuters, Kaisa memiliki utang sebesar US$ 3,2 miliar yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan mendatang.
Sementara itu dalam waktu dekat Kaisa memiliki utang senilai US$ 400 juta yang jatuh tempo pada 7 Desember nanti. Ditambah lagi Kaisa juga memiliki kewajiban untuk membayar kupon senilai US$ 59 juta pada pekan depan tepatnya pada 11 November 2021.
Dari pasar komoditas, harga energi seperti minyak, batu bara dan gas alam naik cukup signifikan di akhir perdagangan minggu ini. Penyebabnya masih sama, kecemasan investor akan supply and demand gap di pasar yang belum mereda.
Harga komoditas terutama yang masih tetap tinggi dikhawatirkan bakal memicu inflasi akan tetap berada di atas level sasaran target bank sentral hingga 2022.
Dalam jangka pendek, kenaikan harga komoditas terutama batu bara yang melesat 10% lebih sepekan dapat membuat harga saham-saham emiten tambang batu hitam dalam negeri mendapatkan tenaga untuk menguat.
Namun untuk jangka yang lebih panjang ketakutan akan setan inflasi bisa memicu reli harga emas. Harga emas kembali melesat 1% lebih pekan ini dan menyentuh level US$ 1.816/troy ons.
Adanya antisipasi inflasi tinggi turut direspons pelaku pasar. Berdasarkan data Commodity Futures Trading Commission (CFTC), posisi net long (beli bersih) trader untuk kontrak berjangka COMEX naik signifikan di bulan Oktober mencapai 701 ton dibandingkan dengan 537 ton di akhir September.
Terakhir, faktor yang perlu diperhitungkan investor adalah perkembangan pandemi. Di dalam negeri kondisi pandemi terus membaik. Tren kasus infeksi harian konsisten di bawah angka 1.000 dan di minggu ini saja tambahan kasus baru turun 5,4%.
Namun di negara Eropa, kenaikan kasus infeksi Covid-19 kembali terjadi. Reuters melaporkan bahwa kasus infeksi Covid-19 di Eropa naik 6% secara mingguan di awal November.
Di Benua Biru setidaknya ada tambahan 1,8 juta kasus baru. Pada saat yang sama angka kematian juga meningkat 12% secara mingguan.
Meskipun ketakutan akan inflasi dan bahkan stagflasi masih menghantui pasar, harga saham dan obligasi pemerintah AS masih lanjut naik. Di akhir perdagangan Jumat (5/11), tiga indeks saham Paman Sam kompak menguat lebih dari 0,2%.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Â Â Â Â Â Rilis data cadangan devisa Jepang periode Oktober 2021 (06:50 WIB),
- Â Â Â Â Â Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (14:00 WIB),
- Â Â Â Â Â Rilis data cadangan devisa Singapura periode Oktober 2021 (16:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | 5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021) | 0,8% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020) | US$ 0,4 miliar |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA