IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi & Wall Street Ambles Lagi, IHSG?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali ditutup beragam pada perdagangan Selasa (12/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil melesat dan mendekati level psikologis 6.500, sementara nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS).
IHSG ditutup menguat 0,41 % ke level 6.486,27, dengan nilai transaksi di akhir perdagangan tembus lebih dari Rp 19,049 triliun. Sementara, net buy asing mencapai Rp 1,25 triliun.
Sementara, pada Senin waktu AS, Wall Street ditutup ambles di awal pekan. Indeks Dow Jones Industrial melemah 0,72%. Sementara itu S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing terkoreksi lebih dari 0,6%.
Sepanjang hari, ada berbagai sentimen yang bakal mewarnai perdagangan dan patut dicermati investor. Pertama, soal perkembangan krisis likuiditas yang dialami raksasa properti China, Evergrande.
Pemegang obligasi luar negeri Evergrande masih menyimak dan bersiap untuk kabar buruk soal pembayaran kupon obligasi perusahaan senilai US$ 148 juta yang jatuh pada Senin.
Kedua, adalah soal krisis energi yang sampai saat ini belum reda. Krisis energi kini disebut sudah mulai merambah ke AS.
Di tengah banyaknya sentimen global yang cenderung negatif, sebenarnya ada juga sentimen positif yang datang dari dalam negeri.
Penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada Senin (11/10) turun cukup drastis. Konfirmasi kasus positif Covid-19 hanya bertambah 620 kasus. Jumlah ini mirip yang terjadi pada awal pandemi lalu sekitar Juni 2020.
Sementara, rupiah mengakhiri perdagangan di pasar spot di Rp 14.220/US$, melemah 0,07% dibandingkan dengan penutupan perdagangan Senin.
Kecuali di awal Oktober, ketika sempat ke atas Rp 14.300/US$, rupiah sebenarnya bergerak dalam rentang perdagangan di kisaran Rp 14.170/US$ hingga US$ 14.275/US$. Sejak awal September, rupiah selalu bergerak dalam rentang tersebut, atau disebut sideways.
Pergerakan tersebut sebenarnya menunjukkan sentimen terhadap rupiah cukup bagus, tetapi pelaku pasar juga menimbang-nimbang kemana arah dolar AS merespon tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang akan dilakukan bank sentral AS (The Fed) di tahun ini.
Tapering pasti akan dilakukan, yang pengumumannya diperkirakan akan dilakukan bulan depan, dan eksekusi pertama di bulan Desember.
Para pejabat The Fed termasuk sang ketua Jerome Powell sudah sepakat untuk melakukan tapering di tahun ini, tetapi masih ada perbedaan pendapat kapan suku bunga akan dinaikkan, apakah akhir tahun depan atau di tahun 2023.
Sementara itu, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) berbalik menguat pada perdagangan Selasa kemarin, di tengah sentimen negatif di pasar keuangan global--seperti krisis energi hingga kasus Evergrande di atas--yang menekan pergerakan pasar saham Asia dan AS.
Mayoritas investor kembali memburu SBN pada Selaa, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 10 dan 20 tahun yang masih dilepas oleh investor dan mengalami kenaikan yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 0,9 basis poin (bp) ke level 6,372%. Sedangkan untuk yield SBN berjatuh tempo 20 tahun naik 3,3 bp ke level 7,23. Sementara itu, yield SBN dengan tenor 25 tahun cenderung stagnan di level 7,189% pada perdagangan Selasa.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
(adf/adf)