Newsletter

IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi & Wall Street Ambles Lagi, IHSG?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
13 October 2021 06:30
Gedung kantor pusat Dana Moneter Internasional IMF
Foto: Gedung kantor pusat Dana Moneter Internasional (IMF) (REUTERS/Yuri Gripas)

Hari ini, investor akan menyimak respons pasar terkait sejumlah sentimen, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pertama, masih soal perkembangan krisis likuiditas raksasa properti Negeri Tirai Bambu China, Evergrande.

Melansir Reuters, Selasa (12/10), China Evergrande Group pada hari Selasa kembali melewatkan pembayaran obligasi untuk kali ketiga dalam tiga minggu terakhir.

Hal ini tentu semakin memperbesar kekhawatiran pasar atas risiko penularan (contagion risk) yang melibatkan pengembang properti lainnya seiring kewajiban pembayaran utang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.

Menurut catatan Reuters, beberapa pemegang obligasi mengatakan mereka tidak menerima pembayaran kupon senilai total US$ 148 juta untuk notes Evergrande per April 2022, April 2023 dan April 2024 yang jatuh tempo pada pukul 04.00 GMT (waktu Greenwich) pada hari Selasa.

Dengan demikian, ini menyusul dua pembayaran kupon obligasi lainnya yang tak dibayarkan pada bulan lalu.

Adapun sebanyak US$ 92,3 miliar obligasi yang diterbitkan oleh Evergrande akan jatuh tempo pada tahun depan, menurut data Refinitiv.

"Kami memprediksi lebih banyak default ke depan jika masalah likuiditas tidak membaik secara nyata," kata broker CGS-CIMB dalam sebuah catatan, seraya menambahkan bahwa pengembang dengan peringkat kredit yang lebih rendah mengalami kesulitan dalam pembiayaan ulang kredit (refinancing) saat ini.

Kedua, sentimen yang beraroma negatif juga, yakni soal proyeksi pelemahan ekonomi global yang dikemukakan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Mengutip Reuters, Selasa (12/10), IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini menjadi 5,9%, dari perhitungan sebelumnya 6,0% pada Juli, karena penyebaran virus Covid-19 varian delta.

IMF menilai, dampak penyebaran Covid-19 varian delta telah menciptakan gangguan rantai pasokan yang terus-menerus dan tekanan harga sehingga menghambat pemulihan ekonomi global dari pagebluk.

Aktivitas manufaktur global telah dihantam oleh kekurangan komponen utama seperti chip semikonduktor, aktivitas pelabuhan yang terhambat dan kurangnya kontainer kargo, dan krisis tenaga kerja karena rantai pasokan global.

Namun, IMF tetap memperkiraan pertumbuhan global 2022 akan tumbuh sebesar 4,9%.

IMF pun memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi AS pada 2021 menjadi 6,0%, dari 7,0% pada Juli. Ini merupakan level yang dianggap sebagai laju terkuat sejak 1984.

Kemudian, IMF juga memangkas pertumbuhan ekonomi China tahun 2021 sebesar 0,1 poin menjadi 8,0%, di tengah pengurangan pengeluaran investasi publik yang lebih cepat dari perkiraan. Adapun perkiraan pertumbuhan ekonomi India tidak berubah di level 9,5%, tetapi prospek di negara-negara Asia berkembang lainnya berkurang seiring memburuknya pandemi.

Lebih lanjut, IMF memangkas proyeksi ekonomi sebesar 1,4 poin untuk kelompok "ASEAN-5" Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Ketiga, China juga akan merilis neraca perdagangan mereka per September. Neraca perdagangan China diprediksi sebesar US$ 47 miliar, turun dari posisi sebulan sebelumnya sebesar US$ 58,3 miliar.

Menurut proyeksi Tradingeconomics, ekspor dan impor Negeri Panda ini diprediksi masih tumbuh di angka yang sama yakni 21%. Jika realisasinya meleset jauh, pasar bakal bereaksi negatif karena China saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi kedua di dunia.

Keempat, investor juga akan mencermati data inflasi tahunan AS per September 2021. Tradingeconomics meramal, inflasi tahunan AS per September berada di 5,3% atau sama dengan posisi Agustus lalu.

Sebelumnya, inflasi AS mencapai level tertinggi selama 13 tahun terakhir sebesar 5,4% pada bulan Juni dan Juli.

Sementara, laju inflasi inti tahunan diprediksi sebesar 4%, sama dengan posisi Agustus 2021.

Saat ini, pejabat bank sentral AS terus mencermati ekspektasi inflasi di tengah mereka sedang mengevaluasi apakah tekanan harga yang dipicu oleh pandemi virus corona (Covid-19) akan berlalu atau memiliki efek yang lebih tahan lama pada perekonomian AS.

Inflasi AS yang meninggi akan menjadi salah satu pedoman utama The Fed untuk mulai melakukan pengurangan pembelian aset atau tapering off yang mungkin bisa dimulai pada akhir tahun ini.

Tidak ketinggalan, kelima, pelaku pasar juga akan menyimak sentimen lainnya soal The Fed yang diperkirakan akan merilis risalah dari pertemuan kebijakan terakhirnya (FOMC) pada hari Rabu, di mana para pelaku pasar akan mencari petunjuk tentang kapan bank sentral AS tersebut akan mulai mengurangi program pembelian obligasi besar-besaran alias tapering.

Sentimen Domestik

Keenam, dari domestik, Bank Indonesia (BI) akan merilis data Survei Kegiatan Dunia Usaha kuartal III 2021.

Sebelumnya, BI melaporkan kegiatan dunia usaha pada kuartal II-2021 mengalami akselerasi. Bank sentral Indonesia tersebut memperkirakan, pada kuartal III-2021, ada risiko besar yaitu kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Selain rilis soal kegiatan dunia usaha, BI juga akan mempublikasikan melaporkan aktivitas industri pengolahan atau manufaktur meningkat pada kuartal II-2021.

Pada kuartal II-2021, Prompt Manufacturing Index-BI (PMI-BI) tercatat 51,45%. Naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 50,01% dan kuartal II tahun lalu yaitu 28,55%.

Namun, untuk PMI-BI kuartal ketiga BI berpotensi melambat pada triwulan III 2021 dengan prakiraan angka PMI-BI sebesar 49,89% seiring adanya PPKM Darurat.

Seperti PMI manufaktur versi IHS Markit, PMI-BI juga menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika sudah di atas 50, maka artinya industriawan sedang dalam fase ekspansi.

Ketujuh, seiring pemulihan ekonomi yang terus berjalan, pemerintah memproyeksi defisit anggaran tahun ini turun dari proyeksi awal. Defisit pada APBN 2021 dipatok hanya 5,59% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Padahal, sebelumnya defisit pada APBN 2021 ditetapkan 5,7%. Namun, karena kasus Covid-19 yang terus melonjak sejak akhir Juni lalu maka pada Agustus 2021, outlook defisit melebar menjadi 5,82% terhadap PDB atau Rp 961,5 triliun.

Saat ini, saat kasus pandemi yang turun signifikan maka defisit diperkecil dari sebelumnya. Bahkan lebih kecil dari yang ditetapkan dalam APBN 2021.

"Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021)," tulis Kementerian yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (12/10/2021).

Sementara itu, defisit dipatok lebih kecil lagi menjadi 4,85% atau Rp 868 triliun pada APBN 2022 yang telah disetujui untuk disahkan oleh DPR RI.

(adf/adf)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular