
Wall Street 'Kebakaran'! Ambles Serempak, IHSG Piye?

Terdapat sejumlah sentimen utama dari luar negeri yang masih mewarnai pergerakan pasar finansial global, termasuk Indonesia.
Pertama, soal perkembangan krisis likuiditas yang dialami raksasa properti China, China Evergrande. Saat ini, pemegang obligasi luar negeri Evergrande masih akan menyimak dan bersiap untuk kabar buruk soal pembayaran kupon obligasi perusahaan senilai US$ 148 juta yang jatuh pada Senin.
Namun, harapan para pemegang obligasi luar negeri untuk mendapat pembayaran semi-tahunan untuk obligasi luar negeri yang jatuh tempo pada April 2022, April 2023 dan April 2024 tampaknya harus disimpan dalam-dalam lantaran Evergrande saat ini lebih memprioritaskan kreditur dalam negeri.
Melansir Reuters, Evergrande--yang memiliki kewajiban lebih dari US$ 300 miliar--sendiri tampaknya akan kembali melewati batas jatuh tempo pembayaran kupon yang jatuh pada Senin tengah malam waktu New York (AS), setelah sebelumnya dua kali melewati jadwal pembayaran kupon obligasi pada bulan lalu.
Kedua, soal krisis energi yang masih mengeram di sejumlah negara, seperti Inggris, China hingga mulai merambah AS.
Krisis energi di Britania Raya semakin serius. Akibat melonjaknya harga gas, banyak produsen yang menggunakan banyak energi, seperti industri baja, kaca, keramik hingga kertas, terancam menghentikan produksi mereka.
Harga gas telah meningkat 400% tahun ini di Eropa karena stok yang rendah dan tingginya permintaan. Ini memberikan tekanan khusus pada industri padat energi di negeri Ratu Elizabeth itu.
Para pemimpin industri memperingatkan pemerintah untuk mengambil tindakan terkait hal ini. Bahkan, pembicaraan dilakukan dengan Menteri Bisnis Kwasi Kwarteng akhir pekan kemarin meski belum ada solusi segera.
Kemudian, di China, saat ini provinsi dengan ekonomi terbesar di wilayah timur laut semakin kekurangan listrik.
Peringatan kurangnya listrik muncul meskipun ada upaya pemerintah untuk meningkatkan pasokan batu bara, serta mengelola penggunaan listrik dalam krisis energi pasca-pandemi yang melanda beberapa negara, termasuk China.
Provinsi Liaoning China mengeluarkan peringatan kekurangan daya tingkat tertinggi kedua pada Senin (11/10). Ini jadi peringatan kelima dalam dua minggu terakhir. Mereka juga memperingatkan kekurangan listrik bisa mencapai hampir 5 gigawatt (GW).
Liaoning memiliki ekonomi terbesar dan mengkonsumsi daya paling besar dari tiga provinsi yang membentuk kawasan industri sabuk karat (rust-belt) China. Wilayah ini mengalami pemadaman listrik yang meluas sejak pertengahan September.
Menurut catatan CNBC Indonesia, Negeri Adidaya AS pun mulai dihinggapi kecemasan soal krisis energi. Hal ini terlihat dari persediaan gas untuk musim dingin yang terbatas di negara adidaya itu.
Chief Executive Officer Xcoal Energy & Resources LLC, Ernie Thrasher, mengatakan beberapa perusahaan utilitas saat ini cemas kekurangan bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini. Hal itu bisa memicu pemadaman.
"Utilitas khawatir aset yang mereka miliki tidak bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup," kata Thrasher dalam sebuah wawancara sebagaimana ditulis Bloomberg.
Data Ketenagakerjaan di Inggris dan AS
Selain itu, investor juga akan menyimak sejumlah data ketenagakerjaan yang penting di Britania Raya pada pukul 13.00 WIB. Badan statistik Britania Raya akan mempublikasikan data penerima tunjangan pengangguran (Claimant Count Change), data perubahan pekerjaan, hingga tingkat pengangguran.
Tradingeconomics memprediksi, jumlah penerima tunjangan pengangguran akan berkurang 46.000, dari sebelumnya pada Agustus 2021 turun 58.600 yang merupakan penurunan kali keenam secara beruntun. Claimant Change berguna juga untuk menyajikan data jumlah orang yang menganggur di Inggris.
Sementara, konsensus pasar memprediksi, tingkat pengangguran Inggris akan turun menjadi 4,5% per Agustus, dari sebelumnya 4,6% pada Juli. Dengan demikian, tingkat pengangguran di Inggris cenderung menurun sejak Mei 2021.
Beralih ke Negeri Paman Sam AS, pada 21.00 WIB dan 22.00 WIB, akan ada rilis dua data penting, yakni mengenai data pembukaan lapangan kerja per Agustus dan ekspektasi inflasi konsumen per September.
Konsensus pasar mengestimasi, jumlah lowongan pekerjaan di AS per Agustus akan mencapai 10,925 juta. Sebelumnya, Biro Statistik Ketenagakerjaan AS mencatat, pada Juli 2021 jumlah lowongan pekerjaan AS mencapai rekor tertinggi sejak Desember 2000, yakni 10,934 juta, melebihi ekspektasi pasar yang sebesar 10 juta. Hal tersebut terjadi menunjukkan adanya kendala pasokan tenaga kerja di tengah banyak perusahaan sulit menemukan calon karyawan.
Kemudian, selang satu jam, akan ada data ekspektasi inflasi yang dirilis Federal Reserve Bank alis The Fed wilayah New York. Tradingeconomics memprediksi, ekspektasi inflasi konsumen akan naik menjadi 5,3%, dari sebelumnya 5,2% pada Agustus lalu.
Saat ini, pejabat bank sentral AS terus mencermati ekspektasi inflasi di tengah mereka sedang mengevaluasi apakah tekanan harga yang dipicu oleh pandemi virus corona (Covid-19) akan berlalu atau memiliki efek yang lebih tahan lama pada perekonomian AS.
Inflasi AS yang meninggi akan menjadi salah satu pedoman utama The Fed untuk mulai melakukan pengurangan pembelian aset atau tapering off yang mungkin bisa dimulai pada akhir tahun ini.
Namun, data ekonomi makro lainnya yang telah dirilis Jumat pekan lalu malah menunjukkan adanya perlambatan ekonomi.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan September perekonomian Negeri Paman Sam mampu menyerap 194.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sangat jauh di bawah hasil survei Reuters sebanyak 500.000 tenaga kerja.
Dengan rilis data tersebut, peluang kenaikan suku bunga pada tahun depan kembali dipertanyakan pelaku pasar. Sebab, ketua The Fed, Jerome Powell, sebelumnya mengatakan perlu kemajuan lebih lanjut di pasar tenaga kerja untuk menaikkan suku bunga. Meski, memang, tapering tetap akan dilakukan di tahun ini.
Kasus Baru Covid-19 RI Turun Drastis
Sementara, ada kabar baik dari dalam negeri. Penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada Senin (11/10) turun cukup drastis. Konfirmasi kasus positif Covid-19 hanya bertambah 620 kasus. Jumlah ini mirip yang terjadi pada awal pandemi lalu sekitar Juni 2020.
Dalam data resmi yang dikutip, Senin (11/10), kasus positif tambah 620 menjadi 4.228.552, kemudian kasus aktif berkurang 1.889 menjadi 22.541. Lalu, kasus sembuh bertambah 2.444 menjadi 4.063.295. Terakhir, kasus meninggal bertambah 65 menjadi 142.716
(adf/adf)