Newsletter

Selangkah Lagi Menuju Level 6.500, IHSG Kuat Nanjak Gak?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
11 October 2021 06:01
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pekan yang luar biasa dengan 'selangkah' lagi menyentuh level psikologis 6.500 di tengah adanya aliran dana asing lebih dari Rp 10 triliun dan sejumlah sentimen positif.

Setali tiga uang, nilai tukar rupiah pun bisa berbuat banyak di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) selama seminggu lalu.

Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG berhasil melesat 4,06% ke posisi 6.481,77 selama sepekan lalu (4-8 Oktober) dengan total nilai transaksi mencapai Rp 89,73 triliun.

Di tengah kenaikan IHSG, asing melakukan beli bersih Rp 10,31 triliun di pasar reguler dan beli bersih Rp 360,26 miliar di pasar negosiasi dan tunai.

Indeks saham sektor barang konsumen non-siklikal memimpin indeks sektoral lainnya, yakni sebesar 6,58%. Kemudian, kedua, indeks saham energi turut mendorong IHSG dengan menguat 4,87% dalam sepekan.

Beberapa sentimen positif yang mewarnai IHSG selama sepekan mayoritas berasal dari domestik.

Pertama, terkait reli harga komoditas yang turut mendorong harga saham produsennya, misalnya saham batu bara, migas, hingga sawit.

Kenaikan harga energi tersebut dipicu oleh adanya krisis energi yang melanda berbagai negara akibat kelangkaan pasokan gas.

Dengan harga gas yang naik terus, perburuan terhadap sumber-sumber energi primer pun menggila. Bahkan batu bara yang sempat 'dicuekin' kini kembali dilirik.

Kedua, sikap optimisme investor juga didukung oleh data dari cadangan devisa (cadev) RI yang kembali melonjak pada periode September 2021.

Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa RI pada periode September 2021 tercatat sebesar US$ 146,9 miliar, melesat US$ 2,1 miliar dari Agustus 2021 dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," sebut keterangan tertulis BI.

Di samping sentimen positif, sentimen negatif yang turut mewarnai pergerakan IHSG selama sepekan, misalnya, datang dari Negeri Tirai Bambu China.

Investor saat ini masih mencermati perkembangan krisis utang pengembang properti China. Setelah Evergrande, ada dua perusahaan properti China yang kini menjadi pantauan pelaku pasar.

Mereka adalah Fantasia Holdings dan Sinic Holdings. Khusus Fantasia sudah mengalami gagal bayar (default), sementara Sinic berpotensi default.

Sementara, mata uang rupiah berhasil menguat di hadapan dolar AS selama sepekan lalu, didorong oleh sejumlah sentimen positif dari dalam negeri.

Menurut data Refinitiv, nilai tukar rupiah terapresiasi 0,59% ke posisi Rp 14.220 di pasar spot selama seminggu.

Beberapa sentimen utama yang mendorong kenaikan rupiah terhadap greenback AS berasal dari domestik.

Adapun sentimen-sentimen tersebut, seperti dari kenaikan harga komoditas andalan ekspor Indonesia, misalnya minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), aliran dana asing di pasar saham, serta data cadangan devisa yang mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) alias Wall Street kompak melemah pada perdagangan Jumat (8/10/2021) waktu setempat.

Merosotnya bursa saham AS terjadi di tengah data lapangan kerja per September yang kurang memuaskan. Selain itu, investor tampaknya masih memperkirakan Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) akan mulai mengurangi pembelian aset alias tapering off pada tahun ini.

Indeks Dow Jones turun 8,69 poin menjadi 34.746,25. S&P 500 melemah sekitar 0,2% menjadi 4.391,34. Sementara, indeks sarat saham teknologi Nasdaq Composite tergerus 0,5% menjadi 14.579,54.

Adapun selama sepekan, indeks S&P 500 naik 0,8%, Dow bertambah 1,2% dan Nasdaq menguat tipis 0,1%.

Saham Comcast Corp jatuh setelah Wells Fargo memangkas target harga pada perusahaan media. Sementara, Charter Communications Inc jatuh setelah Wells Fargo menurunkan peringkat operator kabel itu menjadi "underweight" dari sebelumnya "overweight".

Kedua perusahaan termasuk di antara saham pemberat terbesar di indeks S&P 500 dan Nasdaq.

Kemudian, indeks real estat dan utilitas menjadi yang berkinerja paling buruk di antara 11 indeks sektor S&P 500, masing-masing turun 1,1% dan 0,7%.

Indeks sektor energi S&P 500 melonjak 3,1%, seiring lonjakan harga minyak lebih dari 4% pada minggu ini di tengah krisis energi global yang telah mendorong harga minyak ke level tertinggi sejak 2014.

Seturut dengan itu, saham Chevron dan Exxon Mobil menguat lebih dari 2% dan termasuk di antara perusahaan yang memberikan kenaikan terbesar pada indeks S&P 500.

Data pemerintah menunjukkan jumlah lapangan kerja baru (di luar sektor pertanian) di AS hanya bertambah 194.000 pada September, atau jauh dari ekspektasi dalam survei Reuters di angka 500.000. Realisasi itu juga lebih buruk dari angka Agustus (versi revisi) yang sebesar 366.000, atau lebih tinggi dari pembacaan awal sebanyak 235.000.

Angka tersebut menjadi yang terendah dalam sembilan bulan terakhir di tengah perekrutan turun di sekolah dan beberapa bisnis kekurangan pekerja. Tingkat pengangguran AS tercatat turun menjadi 4,8% pada September dari 5,2% pada Agustus dan pendapatan rata-rata per jam naik 0,6%, lebih dari yang diramalkan.

"Saya pikir Federal Reserve (The Fed) menjelaskan dengan sangat jelas bahwa mereka tidak memerlukan laporan pekerjaan blockbuster untuk mulai melakukan tapering pada bulan November," kata Kathy Lien, Managing Director di BK Asset Management di New York, kepada Reuters, dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (9/10/2021).

Kathy melanjutkan, menurutnya, The Fed akan tetap di jalurnya alias bakal tetap melakukan tapering mulai akhir tahun ini.

Musim pelaporan kinerja keuangan kuartal ketiga akan dimulai minggu ini, dengan JPMorgan Chase dan bank-bank besar lainnya di antara yang pertama merilis hasil rapor keuangan. Saat ini, investor berfokus pada masalah rantai pasokan global dan kekurangan tenaga kerja yang dialami perusahaan Negeri Paman Sam.

Mengacu pada data Refinitiv, rata-rata analis memperkirakan laba per saham di indeks yang penuh saham blue chip (saham unggulan) S&P 500 untuk kuartal ini naik hampir 30%,

"Saya pikir ini akan menjadi musim pendapatan (perusahaan) yang tidak pasti," kata Liz Young, kepala strategi investasi di SoFi di New York.

"Jika masalah rantai pasokan menaikkan biaya, perusahaan dengan kekuatan harga yang kuat dapat melewati kenaikan biaya tersebut. Namun, Anda tidak dapat mengatasi kekurangan tenaga kerja jika Anda tidak bisa menemukan pekerja untuk direkrut."

Selain itu, ketidakpastian seputar plafon utang AS memang telah menjadi hambatan bagi pasar saat ini, tetapi risiko lain tetap ada, termasuk percepatan inflasi dan kenaikan suku bunga. Imbal hasil US Treasury acuan tenor 10 tahun berada di 1,57% pada hari Kamis, dan UBS memprediksi akan naik menjadi 1,8% pada akhir tahun.

Selama pekan ini, ada beberapa agenda dan risiko yang perlu disimak dan diwaspadai.

Pertama, agenda yang mesti dipantau investor adalah angka penjualan ritel nasional per Agustus yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) pada hari ini, Senin. sebelumnya pada Juli, penjualan ritel nasional tercatat turun 2,9%. Jika penurunan berlanjut, maka risk selera mengambil risiko (appetite investor) berpeluang terganggu. Saham ritel patut dicermati pada hari pertama pekan depan.

Selanjutnya sentimen mayor kedua bakal muncul dari Amerika Serikat (AS) yang akan merilis ekspektasi inflasi September. Menurut konsensus Tradingeconomics, inflasi September bakal di angka 5,3% atau meningkat dibandingkan dengan inflasi Agustus sebesar 5,2%.

Jika inflasi tersebut terkonfirmasi masih tinggi, maka proyeksi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengenai inflasi yang "keras kepala" bakal terlihat di depan mata, dan berpeluang mendorong bank sentral terkuat di dunia ini mempercepat kebijakan tapering (pengurangan stimulus moneter ke pasar).

Sentimen ketiga bakal berganti ke China, yang akan merilis neraca perdagangan mereka per September. Neraca perdagangan China diprediksi sebesar US$ 47 miliar, turun dari posisi sebulan sebelumnya sebesar US$ 58,3 miliar.

Menurut proyeksi Tradingeconomics, ekspor dan impor Negeri Panda ini diprediksi masih tumbuh di angka yang sama yakni 21%. Jika realisasinya meleset jauh, pasar bakal bereaksi negatif karena China saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi kedua di dunia.

Selanjutnya, keempat, pada Kamis, China bakal merilis inflasi per September yang diprediksi naik 0,8% secara bulanan dan 0,1% secara tahunan. Keduanya sama seperti angka inflasi pada Agustus. Kemungkinan tidak akan ada kejutan karena Negeri Tirai Bambu dikenal kuat menjaga inflasi.

Pada hari yang sama, AS akan merilis klaim tunjangan pengangguran mingguan, menjadi sentimen mayor keempat yang perlu diperhatikan. Angka klaim tunjangan pengangguran baru ini diekspektasikan membaik ke angka 315.000 jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya sebanyak 326.000 klaim.

Kemudian, data stok minyak mentah dan minyak olahan AS versi Energy Information Agency (EIA) juga perlu dipantau, untuk mengetahui apakah stok di AS berkurang drastis yang mengindikasikan meningkatnya permintaan jelang musim dingin. Sentimen kelima ini akan memberi gambaran apakah reli harga minyak dan batu bara bakal terus berlangsung dalam jangka menengah.

Terakhir, sentimen keenam akan muncul pada Jumat, di mana Indonesia akan merilis neraca perdagangan September, yang diprediksi bakal berujung pada angka US$ 3,9 miliar, atau melemah dari neraca perdagangan bulan Agustus sebesar US$ 4,7 miliar.

Namun, ada satu agenda korporasi yang patut diperhatikan pekan depan, yakni pembayaran kewajiban obligasi Evergrande senilai US$ 150 juta. Saat ini belum ada komunikasi maupun itikad baik dari pihak Evergrande untuk menyelesaikan persoalan utang tersebut. Jika situasi memburuk, pasar dipastikan tersapu gelombang koreksi jangka pendek.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Survei penjualan eceran di Indonesia per Agustus 2021 (11.00 WIB)

  • Tingkat pengangguran di Turki per Agustus (14.00 WIB)

  • Produksi industri di Italia pada Agustus (15.00 WIB)

  • Indeks keyakinan usaha Afrika Selatan pada Agustus (16.30 WIB)

 

Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:

  • RUPSLB PT Sumber Energi Andalan Tbk/ITMA (10.00 WIB)

  • RUPSLB PT Buana Lintas Lautan Tbk/BULL (10.00 WIB)

  • Cum date dividen tunai PT Astra Otoparts Tbk/AUTO

  • Cum date dividen tunai PT Astra Agro Lestari Tbk/AALI

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular