
Dalam Cadangan Devisa yang Sehat Terdapat Rupiah yang Kuat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup tidak kompak pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, tetapi nilai tukar rupiah mengalami depresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kemarin, IHSG menyelesaikan hari di posisi 6.205,41. Naik 0.75% dari hari sebelumnya,
Perdagangan berlangsung semarak dengan frekuensi mencapai 1,89 juta kali transaksi. Terdapat 28,44 miliar unit saham yang diperdagangkan dengan nilai total Rp 8,02 triliun.
Investor asing membukukan beli bersih (net buy) senilai Rp 857.47 miliar di pasar reguler dan negosiasi. Ini membuat nilai beli bersih investor asing sepanjang 2021 menjadi Rp 19,04 triliun.
Saat aksi borong terjadi di pasar saham, sepertinya tidak demikian d pasar obligasi pemerintah. Imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) seri acuan tenor 10 tahun naik 1,4 basis poin (bps) menjadi 6,289%.
Yield dan harga obligasi memiliki hubungan berbanding terbalik. Saat yield naik, harga obligasi turun, menandakan terjadi tekanan jual.
Kemungkinan arus modal di pasar surat utang ini yang membuat rupiah melemah. Kala penutupan pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 14.340 di mana rupiah melemah 0,21%.
Putus sudah rantai penguatan rupiah yang sebelumnya terjadi selama enam hari beruntun. Dalam enam hari tersebut, apresiasi mata uang Tanah Air mencapai 1,24%.
Halaman Selanjutnya --> Data Tenaga Kerja Kinclong, Wall Street Rekor!
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama finis di jalur hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite naik masing-masing 0,78%, 0,6%, dan 0,78%. Ketiganya mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah
Investor di Wall Street menyambut gembira rilis data ketenagakerjaan terbaru di Negeri Paman Sam. Pada pekan yang berakhir 31 Juli 2021, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan klaim tunjangan pengangguran turun 14.000 menjadi 385.000.
Pelaku pasar lega karena sejauh ini dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), terutama penyebaran varian delta yang lebih menular, belum membuat pasar tenaga kerja terpukul. Misalnya di Negara Bagian Florida, salah satu wilayah yang mengalami lonjakan kasus positif tertinggi akhir-akhir ini, klaim tunjangan pengangguran malah turun.
"Data ini dikumpulkan saat terjadi peningkatan kasus positif akibat penyebaran virus corona varian delta. Sejauh ini peningkatan kasus belum menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif. Sepertinya ekonomi sudah lebih siap dalam menghadapi gelombang serangan infeksi terbaru ini," tutur Robert Frick, Corporate Economist di Navy Federal Credit Union yang berbasis di Virginia, seperri dikutip dari Reuters.
Berdasarkan survei Challenger, Gray and Christmas, dunia usaha AS melakukan PHK terhadap 18.942 pekerja pada Juli 2021. Turun 93% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sekaligus menjad yang terendah sejak Juni 2020.
Sepanjang Januari-Juli 2021, PHK terjadi terhadap 231.603 pekerja. Turun 87,5% yoy dan menjadi yang terendah pada periode Januari-Juli sepanjang sejarah pencatatan.
Data ketenagakerjaan terbaru ini memberi konfirmasi bahwa pemulihan ekonomi Negeri Adidaya masih berada di jalur yang benar. Permintaan terus meningkat sehingga dunia usaha merespons dengan menggenjot produksi dan tidak banyak melakukan PHK.
Artinya, prospek laba emiten di Wall Street bakal cerah. Kondisi keuangan perusahaan yang semakin sehat ini membuat investor percaya diri dan melakukan aksi borong.
"Laporan keuangan emiten adalah faktor penting uang membuat pasar tetap bergairah," ujar Greg Bassuk, CEO AXA Investments yang berbasis di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang positif. Hijaunya Wall Street bisa menjadi penyemangat pelaku pasar di Asia untuk mencapai hal yang sama.
Sentimen kedua, investor patut waspada dengan kemungkinan penguatan dolar AS lebih lanjut. Pasalnya, para pejabat teras di bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) semakin terang-terangan menyebut sudah saatnya mengurangi 'dosis' stimulus moneter.
Hingga saat ini, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega masih mempertahankan kebijakan ultra-longgar untuk merangsang perekonomian yang terpukul oleh pandemi virus corona. Suku bunga acuan tetap rendah dekat dengan 0%, dan pembelian aset (quantitative easing) senilai US$ 120 miliar perbulan masih dilakukan.
Namun dengan pemulihan ekonomi yang semakin terlihat, salah satunya dari data ketenagakerjaan yang sudah disinggung sebelumnya, sejumlah pejabat The Fed merasa sudah saatnya untuk memikirkan pengurangan stimulus moneter.
"Anda duduk di sini dan melihat inflasi sudah jauh di atas target dan pasar ketenagakerjaan terus membaik menuju level pra-pandemi. Menurut saya, ini terdengar seperti kami harus bersiap," kata Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dala wawancara bersama Washington Post.
Clarida memperkirakan The Fed akan mulai mengurangi quantitative easing pada akhir tahun ini. Namun suku bunga acuan mungkin masih akan bertahan rendah hingga tercapai kondisi penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).
"Saya menilai kondisi untuk menaikkan suku bunga acuan baru akan tercapai pada akhir 2022. Jadi normalisasi kebijakan pada 2023 adalah sesuatu yang konsisten dengan target kami," lanjut Clarida.
Sebelumnya, Presiden The Fed Dallas Robet Kaplan juga berpendapat bahwa pengurangan quantitative easing bisa dilakukan dengan segera. Demikian pula menurut James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Pernyataan dari para pejabat The Fed itu membuat pasar semakin yakin bahwa The Fed akan mulai mengendurkan pedal gas lebih awal dari perkiraan semula. Semakin dekat dengan akhir 2021, The Fed diperkirakan bakal terus mengomunikasikan rencana pengurangan quantitative easing sebelum mulai melakukannya pada awal tahun depan.
Pengurangan quantitative easing akan membuat pasokan dolar AS lebih terbatas, tidak tumpah-ruah seperti sekarang. Saat pasokan dolar AS berkurang, maka nilai tukarnya akan cenderung menguat.
Investor pun bersiap-siap mengoleksi dolar AS, mumpung pasokannya masih berlimpah. Peningkatan permintaan terhadap dolar AS membuat mata uang Negeri Stars and Stripes mengalami apresiasi. Pada pukul 02:51 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,3%.
Perkembangan ini membuat rupiah tidak diuntungkan. Jika penguatan dolar AS terus bertahan, maka bukan tidak mungkin rupiah kembali finis di jalur merah.
Akan tetapi, risiko pelemahan rupiah bisa tertutup oleh sentimen ketiga yaitu rilis data cadangan devisa. Hari ini, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan posisi cadangan devisa per akhir Juli 2021.
Pada Juni 2021, cadangan devisa tercatat US$ 137,09 miliar. Trading Economics memperkirakan cadangan devisa bakal naik menjadi US$ 138 miliar per akhir bulan lalu.
Salah satu faktor pendongkrak cadangan devisa adalah penerbitan surat utang pemerintah dalam mata uang asing. Pada 28 Juli 2021, pemerintah mengumumkan penjualan SUN dalam denominasi dolar AS senilai US$ 1,65 milar plus denominasi Euro sebanyak EUR 500 juta.
Cadangan devisa yang mumpuni akan membuat BI punya modal kuat dalam ketika melakukan stabilisasi nilai tukar saat dibutuhkan. Investor bisa tenang, karena BI punya 'amunisi' yang cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Konferensi pers perkembangan ekonomi terkini oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (tentatif).
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode Juli 2021 (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT SLJ Global Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (14:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Bumi Resources Minerals Tbk (14:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Sidomulyo Selaras Tbk (14:00 WIB).
- Rilis data penciptaan lapangan kerja non-pertanian AS periode Juli 2021 (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2021 YoY) | 7,07% |
Inflasi (Juli 2021 YoY) | 1,52% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q I-2021) | -0,4% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q I-2021) | US$ 4,1 miliar |
Cadangan Devisa (Juni 2021) | US$ 137,093 miliar |
Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Wall Street Tinggi, Batu Bara Reli, Bagaimana IHSG Hari Ini?
