Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang terpuruk di bulan Juli, khususnya di pekan terakhir. Sayangnya, rupiah gagal memanfaatkan momen tersebut, dan hanya mencatat penguatan 0,24% sepanjang bulan Juli.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi melambat akibat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 membuat rupiah sulit untuk menguat, dan masih akan membebani rupiah di bulan Agustus. Khususnya jika PPKM level 4 masih diperpanjang, dan tanpa adanya pelonggaran. Meski demikian, pada perdagangan pertama Agustus, Senin (2/8/2021), rupiah mampu menguat 0,28% ke Rp 14.420/US$.
PPKM level 4 yang sebelumnya bernama PPKM Darurat sudah berlangsung sejak 3 hingga 25 Juli, kemudian diperpanjang hingga hari ini (2/8/2021) dengan beberapa pelonggaran.
Namun, hingga sore ini belum ada pengumuman lebih lanjut PPKM level 4 akan diperpanjang tanpa pelonggaran, atau dengan pelonggaran, atau dihentikan.
Tanda-tanda pelambatan ekonomi Indonesia sudah terlihat dari sektor manufaktur yang mengalami kontraksi.
ISH Markit melaporkan aktivitas manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) merosot ke level 40,1 dari sebelumnya 53,4. Ini merupakan kali pertama PMI manufaktur mengalami kontraksi setelah sebelumnya berekspansi dalam 8 bulan beruntun.
Industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia dari sisi lapangan usaha. Tahun lalu, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB adalah 19,88%. Sehingga kontraksi sektor manufaktur tentunya akan berdampak pada pelambatan pertumbuhan PDB.
Bank Indonesia (BI) juga sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini.
"Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 menjadi 3,5-4,3% dari proyeksi sebelumnya 4,1-5,1%," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli 2021, Kamis (22/7/2021).
Titik tengah dari proyeksi baru itu, lanjut Perry, adalah 3,9%. Menurut Perry, masih ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi 2021 lebih tinggi dari titik tengah tersebut.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbarunya juga memangkas proyeksi PDB Indonesia menjadi 3,9%. Dibandingkan proyeksi bulan April sebesar 4,3%.
Di luar PPKM level 4, perkembangan isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS (The Fed) juga akan memberikan dampak signifikan ke pergerakan rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Isu Yang Berkembang, Tidak Ada Tapering di Tahun Ini
Sebelum pekan terakhir Juli, spekulasi The Fed akan melalukan tapering masih cukup kuat. Tetapi, kini spekulasi tersebut meredup, khususnya setelah rilis data pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS yang lebih rendah dari prediksi.
Departemen Perdagangan AS melaporkan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 6,5% di kuartal II, sedikit lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya 6,3%, tetapi jauh di bawah estimasi Dow Jones sebesar 8,4%.
Namun, pada hari Jumat, inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) di bulan Juni dilaporkan melesat 3,5% (year-on-year/YoY), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,4% YoY, tetapi di bawah hasil polling Reuters sebesar 3,7%.
Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun Juli 1991.
Inflasi PCE yang merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, rilis yang lebih rendah dari ekspektasi, plus PDB yang juga lebih rendah dari prediksi membuat spekulasi tapering tidak akan dilakukan di tahun ini semakin menguat.
Kepala ekonom Bank of America, Michelle Meyer memprediksi The Fed akan mengumumkan rencana tapering di akhir tahun ini, tetapi tidak menutup kemungkinan di bulan September. Dan tapering resmi dimulai di awal tahun depan.
"Saya pikir The Fed masih mungkin mengumumkan rencana tapering di bulan September, tergantung dari data tenaga kerja. Jika sangat kuat, maka saya pikir Powell akan memberikan lebih banyak detail pada bulan September," kata Meyer.
Selain tapering, pelaku pasar juga melihat peluang The Fed menaikkan suku bunga pada tahun depan cukup tinggi, meski masih belum mampu menjadi suara mayoritas.
 Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Berdasarkan data dari FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat ada peluang sebesar 38,4% suku bunga akan dinaikkan 25 basis poin pada Desember 2022, sementara probabilitas suku bunga tetap dipertahankan sebesar masih lebih tinggi sebesar 48,6%.
Artinya, pasar saat ini melihat kemungkinan The Fed belum akan menaikkan suku bunga pada tahun depan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Peluang Rupiah ke Rp 14.350/US$
Secara teknikal, rupiah sukses break out batas bawah pola Rectangle di Rp 14.450/US$.
Pola tersebut sudah terbentuk sejak akhir Juni lalu, artinya selama 1 bulan rupiah bergerak di dalam Rectangle, sehingga penembusan salah satu batasnya menjadi penting menentukan kemana rupiah melangkah.
 Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Batas atas pola tersebut berada di kisaran Rp 14.550/US$, artinya ada jarak Rp 100 dari batas bawah. Jika rupiah mampu bertahan di bawahnya, maka ada peluang penguatan sebesar Rp 100 dari batas bawah, atau ke Rp 14.350/US$.
Meski demikian, rupiah akan menghadapi support kuat di Rp 14.400/U$ yang berada di kisaran rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA 50), juga dekat dengan MA 100.
Kemampuan menembus support tersebut akan memperbesar peluang rupiah ke Rp 14.350/US$, bahkan tidak menutup kemungkinan ke Rp 14.300/US$.
Namun jika kembali ke atas Rp 14.450/US$, rupiah akan kembali bergerak sideways dalam pola Rectangle.
TIM RISET CNBC INDONESIA