Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil naik di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat Jawa-Bali dan lonjakan kasus harian Covid-19 di Indonesia yang beberapa kali mencatatkan rekor tertinggi.
Selain IHSG, harga Surat Berharga Negara (SBN) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) juga menguat selama sepekan.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG menguat tiga kali dan ambles dua kali dalam periode 12-16 Juli 2021. Alhasil, dalam seminggu IHSG naik 0,54% ke posisi 6.072,510.
Nilai kapitalisasi pasar Bursa meningkat 0,20% menjadi Rp7.202,257 triliun dari Rp7.187,639 triliun pada pekan sebelumnya. Selain itu, perubahan sebesar 11,27% terjadi pada rata-rata nilai transaksi harian IHSG menjadi Rp10,47 triliun dari Rp11,80 triliun pada pekan sebelumnya.
Selama seminggu, investor asing juga berbondong-bondong masuk ke bursa Tanah Air dengan catatan beli bersih (net buy) di pasar reguler sebesar Rp 1,39 triliun. Asing juga melakukan net buy di pasar negosiasi dan tunai sebesar Rp 501,43 miliar.
Pada Selasa (13/7/2021) dan Rabu (14/7/2021) IHSG sempat anjlok secara berturut-turut 1,09% dan 0,55% seiring beredar kabar di kalangan pelaku pasar bahwa market maker atau bandar saham sedang melepas saham-saham digital dan teknologi yang selama ini sudah naik tinggi pekan lalu.
Pelemahan tersebut akhirnya berhasil dibayar tuntas dengan penguatan pada Kamis (14/7/2021) dan Jumat (16/7/2021). Pada Kamis, IHSG sukses melesat 1,13%, kembali ke level psikologis 6.000, ke posisi 6.046,75 seiring adanya kabar positif dari China dan Amerika Serikat (AS).
China membawa kabar positif dengan merilis pertumbuhan ekonomi kuartal kedua sebesar 7,9%, atau mendekati konsensus pasar yang dihimpun Reuters sebesar 8,1%.
Sementara, dari Negeri Paman Sam, bos bank sentral (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell menyatakan belum akan mengubah kebijakan moneternya menjadi ketat, dan memperkirakan inflasi akan melandai.
Penguatan IHSG berlanjut pada Jumat ketika ditutup menguat 0,43% ke level 6.072,51 pada perdagangan akhir pekan. Di tengah kenaikan IHSG pada hari itu, terpantau investor asing membeli bersih Rp 629 miliar di pasar reguler.
Harga obligasi pemerintah Indonesia sepanjang perdagangan pekan lalu menguat, sebagaimana terlihat dari pergerakan imbal hasilnya (yield) yang rata-rata melemah 5,75 basis poin (bp).
Imbal hasil SBN bertenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar tertekan hingga 11,7 bp ke 6,437%, dari posisi akhir pekan lalu 6,554%. Imbal hasil bergerak berlawanan dari harga sehingga pelemahan yield mengindikasikan harga surat utang yang naik.
Pelemahan harga (penguatan yield) sepanjang pekan ini tercatat hanya terjadi pada obligasi pemerintah bertenor 25 tahun. Sebaliknya, penguatan harga paling drastis, karena diburu pemodal, terjadi pada obligasi bertenor 20 tahun yang mengalami koreksi yield hingga 13,5%.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaku pasar cenderung memborong obligasi pemerintah sepanjang pekan lalu, karena mereka membutuhkan aset lindung nilai (hedging) lebih besar di tengah ketakpastian ekonomi akibat naiknya terus kasus Covid-19 di Indonesia.
Kemudian, kendati mencetak pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS), dalam sepekan nilai tukar rupiah masih mampu membukukan penguatan berkat kinerja positif di dua hari pertama.
Pada akhir perdagangan Senin (12/7/2021) lalu, mata uang Garuda berada di Rp 14.490/US$ atau menguat 0,24%. Setelah melanjutkan penguatan pada Selasa sebesar 0,19%, nilai tukar rupiah 'loyo' pada tiga hari berikutnya. Pada Jumat (16/7/2021) kemarin, rupiah melemah 0,1% di Rp 14.495/US$.
Sepanjang pekan, rupiah sukses menguat 0,21% setelah menguat tipis 0,03% minggu lalu.
Meski kasus Covid-19 di Tanah Air makin mengerikan, tetapi rupiah melemah tipis-tipis dalam tiga hari terakhir, dan bertahan di bawah Rp 14.500/US$. Nampaknya pelaku pasar sudah mengantisipasi kemungkinan perpanjangan PPKM Darurat.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street kompak melemah pada sepanjang pekan lalu, di tengah kekhawatiran investor soal lonjakan kasus Covid-19 seiring mengganasnya penularan virus Corona varian Delta.
Dalam sepekan, indeks Dow Jones Industrial Average ambles 0,52% ke posisi 34.687,852, kemudian indeks S&P 500 anjlok 0,97% ke 4.327,110. Indeks yang sarat saham teknologi Nasdaq juga merosot 1,87% ke posisi 14.427,240.
Sementara pada Jumat (16/7), ketiga indeks bursa AS ambles secara bersamaan, dengan indeks Dow Jones menjadi yang paling anjlok, yakni 0,86%, kemudian indeks S&P 500 terjungkal 0,76%, dan indeks Nasdaq juga melorot 0,80%.
Saham-saham teknologi raksasa, seperti Amazon dan Apple yang turun lebih 1% menjadi pemberat indeks ini. Selain itu, saham Nvidia anjlok 4,2%.
Indeks sektor teknologi S&P juga tergerus hampir 1%. Berbeda, indeks sektor utilitas S&P naik 1%, sementara indeks real estat S&P menguat tipis 0,1%.
Kemudian, saham Moderna Inc melonjak 10,3% ke rekor tertinggi setelah Indeks S&P Dow Jones mengatakan produsen obat tersebut akan bergabung dengan indeks S&P 500 pada awal perdagangan pada 21 Juli, menggantikan saham Alexion Pharmaceuticals.
Berbeda dengan saham Moderna, saham Didi Global Inc melorot 3,2% setelah China mengirim pejabat negara dari setidaknya tujuh departemen ke 'markas' sang raksasa penyedia jasa ride-hailing untuk tinjauan keamanan siber.
Melansir Reuters, pada Kamis lalu, Los Angeles County mengatakan akan menerapkan kembali kewajiban memakai masker pada akhir pekan ini. Pada Jumat, pejabat kesehatan masyarakat mengatakan kasus virus corona AS naik 70% dari minggu sebelumnya, dengan angka kematian naik 26%.
"Covid mulai mempengaruhi pasar, ironisnya, untuk pertama kalinya sejak musim panas lalu, ketika perdagangan dibuka kembali," kata Jake Dollarhide, CEO Longbow Asset Management di Tulsa, Oklahoma.
Sepanjang minggu, kekhawatiran investor tentang lonjakan inflasi baru-baru ini diimbangi dengan jaminan dari Ketua bank sentral AS alias The Fed Jerome Powell bahwa lonjakan harga yang terjadi bersifat sementara.
Selain Powell, Menteri Keuangan AS Janet Yellen juga membantu menyeimbangkan sentimen pasar setelah menyatakan bahwa inflasi tinggi kemungkinan akan melandai dalam beberapa bulan tetapi sikap kehati-hatian masih harus dipertahankan dalam menyikapinya.
"Saya tak mengatakan bahwa ini adalah fenomena berumur 1 bulan. Namun menurut saya dalam jangka menengah kita akan melihat pelemahan inflasi kembali ke level normal," kata Yellen.
Sepanjang pekan depan, investor akan mengamati sejumlah laporan pendapatan kuartal kedua perusahaan-perusahaan besar, seperti laporan dari Netflix, Johnson & Johnson, Verizon Communications, AT&T dan Intel.
Sebelumnya, data dari Departemen Perdagangan menunjukkan penjualan ritel per Juni di AS dilaporkan tumbuh 0,6% secara bulanan, atau terbalik 180 derajat dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan 0,4%. Jika penjualan otomotif dikeluarkan, maka pertumbuhan penjualan ritel mencapai 1,3% atau jauh lebih baik dari ekspektasi pasar sebesar 0,4%.
Sepanjang pekan ini, beberapa data dan agenda nasional dan global telah menanti. Beberapa indikator ekonomi dari AS kemungkinan meniupkan aroma kecemasan, sehingga pelaku pasar perlu bermain lebih aman. Harga komoditas pun berpeluang bergejolak.
Sentimen pertama yang bakal menjadi perhatian investor pekan ini adalah hasil pertemuan forum OPEC+ pada Minggu (18/7/2021) malam yang mencapai kesepakatan untuk meningkatkan pasokan minyak mulai Agustus untuk 'mendinginkan' harga yang telah naik ke level tertinggi selama lebih dari 2 tahun seiring ekonomi global yang mulai pulih dari pandemi virus corona (Covid-19).
Dengan ini, produksi minyak secara keseluruhan akan meningkat 2 juta barel per hari atau 400.000 barel per hari setiap bulan hingga Desember 2021.
OPEC+ terdiri dari negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC), Rusia dan sekutunya. Mereka tahun lalu sepakat memangkas produksi minyak 9,7 juta barel/hari hingga akhir 2022, tetapi kini faktanya hanya di angka 5,8 juta bph karena perekonomian mulai dibuka dan permintaan minyak dunia meningkat.
"Kami senang dengan kesepakatan itu," kata Menteri Energi UEA Suhail bin Mohammed al-Mazroui dalam konferensi pers dilansir dari Reuters, Minggu (18/7). Adapun Menteri energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, menolak menjawab pertanyaan tentang bagaimana kompromi itu dicapai.
OPEC+ telah setuju untuk memperpanjang perjanjian mereka hingga akhir 2022 dari tanggal yang direncanakan sebelumnya pada April 2022, sebagai antisipasi jika pemulihan global terhenti karena adanya varian virus baru.
Kesepakatan peningkatan produksi minyak ini bisa membuat harga minyak dunia terkoreksi hari ini. Selain itu, para investor juga akan menyimak dampaknya terhadap saham-saham emiten minyak dan gas (migas).
Pada Selasa lusa, bursa nasional akan libur memperingati Hari Raya Idul Adha. Namun, pelaku pasar harus tetap memasang telinga terhadap sentimen kedua, yakni pengumuman berlanjut-tidaknya kebijakan PPKM Darurat.
Pada Minggu (18/7/2021) lalu, Kementerian Kesehatan menyatakan angka kasus positif Covid-19 di Indonesia bertambah sebanyak 44.721 atau menurun dibandingkan dengan penambahan kasus kemarin sebanyak 51.952 kasus. Dengan demikian, akumulasi kasus positif secara nasional mencapai 2.877.476.
Jumlah pasien yang sembuh bertambah sebanyak 29.264 orang, sehingga secara akumulasi tingkat kesembuhan dialami oleh 2.261.658 orang. Angka kematian pun relatif flat, sebanyak 1.093 jiwa, dibandingkan dengan angka kematian kemarin sebanyak 1.091 jiwa.
Artinya, PPKM Darurat belum efektif menekan penyebaran virus Corona, karena target kasus baru Covid-19 yang dipatok pemerintah sebanyak 10.000/hari masih jauh panggang dari api.
Selanjutnya, sentimen ketiga yang patut dicermati adalah fenomena atau misteri pelemahan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun. Yield US Treasury acuan pasar itu turun di 1,3003% (Jumat lalu), yang berarti harga meningkat.
Fenomena ini agak aneh karena dalam kondisi normal, inflasi tinggi memicu kenaikan yield sebagai konsekuensi aksi jual di pasar SBN. Namun, tatkala inflasi AS per Juni mencapai 5,4% secara tahunan, menjadi kenaikan tertinggi dalam 13 tahun terakhir, pelaku pasar malah memborong SBN.
Hal ini mengindikasikan mereka sedang mengkhawatirkan sesuatu, sehingga aset dengan premi risiko tinggi seperti saham dihindari dan mengoleksi SBN yang imbal hasilnya lebih kecil dari inflasi. Berbarengan dengan pelemahan yield US Treasury, indeks S&P 500 pekan lalu anjlok nyaris 1% sementara Dow Jones melemah 0,5%. Nasdaq juga drop, sebesar 1,9%.
Jika imbal hasil terus turun, pelaku pasar akan melakukan aksi jual di bursa saham Wall Street, yang aroma kepanikannya juga akan mendorong investor di seluruh dunia melakukan penjualan, sembari memantau keadaan.
Perhatikan juga sentimen keempat dari rilis data minyak Energy Information Administration (EIA) yang akan dirilis di AS Rabu nanti. Dalam rilis sebelumnya, stok bensin meningkat 1 juta barel, sementara stok minyak mentah turun 7.9 miliar. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas kilang semakin meningkat.
Jika terindikasi stok minyak mentah dan BBM menumpuk, ada potensi koreksi lanjutan di saham energi karena mengindikasikan aktivitas transportasi belum pulih. Harap dicatat, 89% penyerapan minyak di negara berekonomi terbesar dunia ini terjadi di sektor transportasi.
Pada Kamis, Bank Indonesia (BI) menjadi sumber sentimen kelima, dengan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang salah satu keputusan utamanya adalah penentuan suku bunga acuan, apakah akan dipertahankan di level sekarang sebesar 3,5% atau diubah. Sejauh ini, Tradingeconomics memproyeksikan BI masih bermain aman di angka 3,5% itu.
Sentimen mayor terakhir muncul dari AS, dengan rilis data klaim tunjangan pengangguran baru pada Kamis waktu setempat, yang akan mempengaruhi sentimen bursa di Indonesia pada Jumat. Polling Reuters memperkirakan klaim tunjangan pengangguran sepekan ini akan berada di angka 350.000 unit, atau sedikit lebih baik dari posisi sepekan lalu sebesar 382.500 klaim.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Keyakinan Konsumen Turki (14.00 WIB)
Output Konstruksi Uni Eropa (16.00 WIB)
Indeks Pasar Perumahan NAHB AS (21.00 WIB)
Berikut agenda emiten yang akan berlangsung hari ini:
RUPST PT Multipolar Tbk /MLPL (10.00 WIB)
RUPST & RUPSLB PT Yelooo Integra Datanet Tbk/YELO (14.00 WIB)
RUPST PT Surya Semesta Internusa Tbk/SSIA (14/00 WIB)
Di bawah ini sejumlah indikator perekonomian nasional: