Newsletter

Indonesia Juara Dunia Kasus Corona, Nasib IHSG Gimana?

Putra, CNBC Indonesia
12 July 2021 06:10
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)berhasil mencatatkan kinerja positif pekan ini. Meski tertatih-tatih, IHSG mampu menguat secara mingguan.

Sepanjang pekan ini, IHSG mencatatkan kenaikan 0,28% secara point-to-point. Memulai pekan di 6.023,01, IHSG finish di 6.039,84.

Seiring dengan bursa pasar modal, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga bergerak menguat sepanjang pekan. Namun penguatan rupiah tipis saja.

Sepanjang minggu, rupiah menguat 0,03% secara point-to-point terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot. Mengawali pekan di Rp 14.530/US$, rupiah berakhir di Rp 14.525/US$.

Sepanjang minggu kemarin, jumlah pasien positif bertambah 226.974 orang. Ini adalah rekor penambahan kasus mingguan sejak pasien pertama diumumkan pada 1 Maret 2020.

Sementara itu dari AS, bank sentral The Federal Reserve/The Fed berkomitmen untuk terus melanjutkan kebijakan moneter ultra-longgar. Ini akan berlangsung  sampai terdapat tanda yang jelas bahwa perekonomian Negeri Paman Sam sudah pulih betul dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Dalam notula rapat (minutes of meeting) The Fed edisi Juni 2021, terungkap bahwa para peserta rapat sepakat bahwa ekonomi Negeri Paman Sam belum pulih betul dari dampak page bluk virus corona.

Jika sudah ada tanda-tanda yang jelas bahwa laju inflasi terakselerasi secara konsisten, maka The Fed akan baru akan bertindak.

"Para peserta rapat merasa bahwa pandemi masih membawa ketidakpastian. Oleh karena itu, dibutuhkan kesabaran untuk mengubah kebijakan. Namun memang sebagian besar peserta rapat menilai sudah ada risiko inflasi yang mengarah ke atas sehingga The Fed perlu bersiap untuk melakukan tindakan jika risiko itu terwujud," tulis notula itu.

"Secara umum, para peserta rapat sepakat bahwa pengurangan pembelian aset (quantitative easing), jika sudah diperlukan, membutuhkan perencanaan yang matang. Salah satunya adalah ketika target-target yang dicanangkan Komite sudah tercapai."

The Fed yang sepertinya kurang hawkish membuat laju penguatan dolar AS tertahan. Tanpa sentimen pengetatan kebijakan (tapering off) berarti suku bunga tetap akan rendah sehingga imbalan berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik.

Halaman 2>>

Bursa saham Amerika Serikat (AS) berhasil menguat pada perdagangan pekan ini setelah terselamatkan di hari terakhir perdagangan pekan lalu. Di mana tiga indeks acuan Paman Sam melesat hingga 1%.

Pada Sabtu (10/7/2021) dini hari waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) finis di 34.870,16 atau naik 1,3% dari posisi penutupan hari sebelumnya. Sementara S&P 500 ditutup di 4.369,55 (1,13%) dan Nasdaq Composite di 14.701,92 (0,98%).

Kenaikan ini menyelamatkan muka bursa Wall Street setelah sempat ambrol di tengah pekan. Sepanjang pekan lalu, DJIA membukukan kenaikan 0,24% secara point-to-point. Sedangkan S&P 500 dan Nasdaq bertambah masing-masing 0,4% dan 0,43%.

Wall Street sempat tertekan karena aksi jual massal (sell-off) karena pelaku pasar cemas akan pandemi virus corona yang kembali mengganas di berbagai negara sehingga membuat prospek perekonomian dunia menjadi penuh tanda tanya.

Namun hari ini, harga aset yang sudah murah gara-gara sell-off kemarin membuat investor kembali bernafsu dan melakukan aksi borong.

"Dalam hal penyebaran virus corona, AS agak berbeda dibandingkan negara-negara lain, relatif lebih terlindungi. Sampai kapan seperti ini, tidak ada yang tahu. Sampai narasinya berubah, AS adalah pasar dengan likuiditas melimpah dan suku bunga rendah," kata Jake Dollarhide, CEO Longbow Asset Management yang berbasis di Oklahoma, seperti dikutip dari Reuters.

Selain itu, investor di Wall Street bergairah menyambut musim laporan keuangan (earnings season) yang akan segera tiba. Konsensus yang dihimpun Refinitiv memperkirakan laba bersih emiten di S&P 500 akan tumbuh rata-rata 65,8% pada kuartal II-2021 dibandingkan periode yang sama kuartal sebelumnya (year-on-year/yoy). Naik dibandingkan pertumbuhan kuartal I-2021 yang sebesar 54% yoy.

Ini karena faktor basis yang rendah (low base effect), kuartal II-2020 adalah periode kelam bagi AS dan Wall Street. Setahun lalu, pandemi virus corona sedang ganas-ganasnya yang membuat pemerintah AS terpaksa menerapkan karantina wilayah (lockdown). Ekonomi AS tumbuh negatif (kontraksi), demikian pula pendapatan dan laba emiten di Wall Street.

Untuk pekan ini, investor masih akan memperhatikan berberapa sentimen baik dari dalam dan luar negeri.

Dari dalam negeri tentunya tak lain dan tak bukan masih mengenai rilis pertambahan kasus Covid-19 harian RI yang pekan lalu terus menerus mencetak rekor bahkan hingga menduduki ranking pertama pertambahan kasus Covid-19 global.

Per Minggu (11/7/2021) pukul 12.00 WIB, kasus harian bertambah 36.197. Dengan demikian, kasus Covid-19 di Indonesia menembus 2,5 juta atau tepatnya 2.527.203. Angka ini lagi-lagi menjadikan Indonesia memimpin kenaikan kasus Covid-19 global di posisi wahid mengalahkan India di tempat kedua dengan catatan kenaikan 35.276 kasus per hari. 

Selanjutnya di hari Kamis akan dirilis data neraca dagang bulan Juni dimana diprediksikan akan ada kenaikan surplus neraca dagang dari posisi bulan lalu di angka US$ 2,3 miliar menjadi US$ 4,7 miliar.

Tidak lupa di akhir pekan, Jumat akan ada rilis data penjualan ritel di bulan Mei yang menunjukkan perbaikan dari bulan April dimana penjualan ritel terangkat 23% dibanding bulan lalu di angka 15,6%.

Di pasar modal acuan global Wall Street, pekan depan akan menjadi pekan yang sibuk karena perusahaan-perusahaan raksasa akan merilis laporan keuangan kuartal keduanya.

Perusahaan-perusahaan raksasa yang siap merilis laporang keuanganya pekan depan termasuk, PepsiCo, JP Morgan, Goldman Sachs, Wells Fargo, Bank od America, Citi, hingga maskapai penerbangan Delta Airlines.

Dari rilis data makro, Paman Sam akan menanti rilis data inflasi bulan Juni yang tentunya ditunggu oleh para pelaku pasar di seantero dunia karena rilis data ini biasanya akan menjadi acuan The Fed untuk mengurangi quantitative easing dan menaikkan suku bunga apabila ekonomi terlalu overheat. Analis memprediksi inflasi AS masih akan berada tak jauh berbeda dari posisi bulan May 5% yakni 4,9%.

Rilis data global lain termasuk inflasi bulan Juni Britania Raya, keputusan suku bunga bank sentral Jepang, angka penjualan ritel bulan Mei di AS.

 

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Order Permesinan Jepang Periode May 2021 (6:50 WIB)
  • Tingkat Pengangguran Turki Periode Mei 2021 (14:00 WIB)
  • Inflasi India Periode Juni 2021 (19:00 WIB)
  • Produksi Industri India Periode Mei 2021 (19:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular