
Tapering Masih Jauh Bung! BI Aman, Pasar Bakal Ambil Peluang

Usai pengumuman kebijakan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) pada dini hari tadi, kini giliran Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan arah kebijakan moneter ke depannya terkait dengan kebijakan suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate/7DR3).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan akan dipertahankan di level 3,5%. Sebanyak 13 institusi keuangan terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut dan tidak ada yang memiliki proyeksi yang berbeda.
Di tengah ketakpastian arah kebijakan moneter global ke depan, maka yang terpenting untuk dilakukan adalah memperkuat posisi yang sedang dipertahankan. Bersikap agresif dengan maju bakal memicu risiko besar, demikian pula bersikap defensif alias mundur. Oleh karenanya, pasar tidak perlu berekspektasi akan ada "kebijakan liar" yang bakal diambil Kantor Thamrin.
Sepanjang pandemi, BI 7-Day Reverse Repo Rate yang kala itu masih berada di 5% sudah terpangkas menjadi 3,5%, atau terendah dalam sejarah suku bunga acuan Indonesia. Artinya, BI sudah memotong suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bp).
Sampai saat ini dampaknya terhadap perekonomian belum terlihat, dalam arti masih ada tekanan pertumbuhan ekonomi seperti yang terlihat pada kuartal I-2021, di mana Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih terkontraksi 0,74%. Oleh karena itu, bakal terlalu dini jika bank sentral menaikkan suku bunga acuan.
Sebaliknya, memangkas suku bunga acuan juga bakal berdampak buruk terhadap pergerakan Mata Uang Garuda karena secara psikologis membuat pemodal global kurang tertarik untuk mengoleksi obligasi di Tanah Air.
Yang patut dicari pelaku pasar nasional hari ini adalah kepastian apakah akan ada tekanan pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) di tengah konstalasi perekonomian era pandemi saat ini. Itulah faktor utama yang bisa memperburuk sentimen pelaku pasar.
Berharap ekonomi membaik dalam jangka pendek adalah utopis, mengingat kasus Covid-19 masih bertambah. Oleh karenanya, selera mengambil risiko (risk appetite) dengan mengoleksi saham hanya akan muncul didorong sentimen parsial terkait dengan kabar korporasi, plus sentimen yang mendukung.
Sejauh ini, kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tak mengarahkan terbentuknya energi capital outflow, sebagaimana Ketua The Fed Jerome Powell bilang bahwa terlalu dini mengambil kebijakan pengetatan moneter maupun pengurangan pembelian obligasi (tapering).
"Anda bisa menganggap rapat yang kami jalankan tadi sebagai rapat yang 'membahas tentang apa yang bakal dibahas'... dalam rapat selanjutnya, Komite [Pasar Terbuka Federal] akan terus mengkaji kemajuan ekonomi ke arah sasaran kami," tutur Powell.
Bahkan sekalipun akan ada perubahan arah kebijakan, lanjut dia, bank sentral terkuat sedunia tersebut akan "memberikan pemberitahuan dini sebelum mengumumkan kebijakan apapun yang terkait dengan perubahan pembelian [surat berharga di pasar]."
Koreksi yang terjadi di Wall Street dipicu ketakpuasan pelaku pasar melihat bahwa bank sentral ternyata bakal mempercepat kenaikan suku bunga acuan pada 2023. Meski sebenarnya timeline tersebut masih panjang, tetapi mereka memilih merealisasikan keuntungan. Isunya bukan pada ekonomi yang buyar, atau tapering, melainkan pada perubahan sikap The Fed.
Jadi, ada peluang investor masih bakal nyaman bertransaksi di bursa saham nasional, dengan mengoleksi saham-saham unggulan yang sempat tertekan. Namun, horizon jangka pendek masih akan dominan.
(ags/ags)