
Inflasi AS Tembus 5%, Wall Street Ijo, IHSG-Rupiah Ikutan?

Sentimen pasar hari ini bakal didominasi oleh data dari luar negeri. Dari dalam negeri, akan ada gelaran rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) dari sejumlah emiten (lihat halaman 4).
Selanjutnya, pada pukul 13.00 WIB, akan ada rilis data harga grosir bulanan dan tahunan Jerman periode Mei.
Harga grosir di Jerman meningkat 7,2 persen secara tahunan pada April 2021, kenaikan terbesar sejak Maret 2011, menyusul lonjakan 4,4 persen pada bulan sebelumnya. Secara bulanan, harga grosir naik 1,1 persen, turun dari kenaikan 1,7 persen di bulan Maret.
Pasar meramal, harga grosir April akan sebesar 0,6% secara bulanan dan 8,4% secara tahunan.
Pada jam yang sama, dari Negeri Ratu Elizabeth II, Britania Raya, Kantor Statistik Nasional (ONS) akan merilis data neraca dagang per April 2021. Pasar memprediksi Britania Raya akan mengalami defisit dagang £ 3,2 miliar, lebih tinggi dari defisit bulan Maret. Sebelumnya defisit perdagangan Inggris naik menjadi £ 2,0 miliar pada Maret 2021 dari defisit £ 0,9 miliar di bulan sebelumnya.
Tidak ketinggalan, pelaku pasar juga akan mencerna hasil rilis data inflasi AS yang diumumkan pada Kamis malam, yang tetap membuat Wall Street semringah.
Seperti dijelaskan pada halaman sebelumnya, dalam rentang 12 bulan hingga Mei, IHK AS meningkat 5,0%. Ini merupakan peningkatan secara tahunan terbesar sejak Agustus 2008, dan berada di atas kenaikan 4,2% pada bulan April.
Menurut analis, lonjakan ini sebagian mencerminkan low base effect, di mana pada musim semi lalu angkanya jauh lebih rendah. Ini berarti, perubahan angka sedikit saja pada perhitungan terbaru bisa menghasilkan presentase pertumbuhan yang signifikan. Analis memperkirakan low base effect ini akan turun pada bulan Juni.
"Saya pikir ada banyak orang yang menahan diri, yang ingin melihat angka inflasi yang lebih panas," kata Jim Cramer dari CNBC di program "Squawk on the Street."
"Sekarang mereka berkata, 'Oke, sekarang sudah selesai. Mari kita beli.' Karena mereka sedang berada di pinggir lapangan dan mereka ingin masuk," imbuhnya.
Kekhawatiran lonjakan inflasi telah menjadi sentimen negatif bagi pasar saham pada bulan lalu, seiring investor khawatir lonjakan harga akan menaikkan biaya bagi perusahaan, memicu kenaikan suku bunga dan menyebabkan the Fed menghapus kebijakan uang longgarnya alias easy money policy.
"CPI ini tidak akan mengubah narasi secara dramatis, dan masih ada indikasi bahwa momentum inflasi akan mereda dalam beberapa bulan mendatang," jelas Adam Crisafulli, pendiri Vital Knowledge.
The Fed sebelumnya telah memperkirakan bahwa kenaikan inflasi tidak akan terjadi secara permanen, karena hanya ditopang oleh stimulus. Pasar terbelah antara mereka yang meyakini kebijakan moneter AS segera berbalik, sementara lainnya memprediksi masih ada waktu untuk mempertahankan kebijakan tersebut.
(adf/adf)