
'Hantu' Taper Tantrum Terus Bergentayangan, IHSG Ambles Lagi?

Dari pasar domestik, para investor bakal menantikan rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) oleh BI pukul 10.00 WIB. Dalam Survei Konsumen edisi IKK April 2021 berada di 101,5. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 93,4.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Kalau sudah di atas 100, maka artinya berada di zona optimistis, konsumen pede dalam memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan ke depan.
Menurut catatan BI, IKK April 2021 merupakan angka optimisme pertama kali sejak IKK masuk zona pesimis pada April tahun lalu.
IKK adalah salah satu indikator mula (leading indicator) yang berguna untuk 'menerawang' arah perekonomian ke depan. Jadi apabila IKK mulai kembali positif, ini bisa menjadi indikasi prospek ekonomi ke depan bakal membaik.
Kemudian, beralih ke Negeri Kanguru Australia, para investor akan menunggu rilis indeks keyakinan konsumen bulan Juni yang dirilis oleh Westpac-Melbourne Institute pada 07.30 WIB. Indeks Sentimen Konsumen turun 4,7% secara bulanan (month-on-month/mom) menjadi 113,1 pada Mei 2021 dari level tertinggi sebelas tahun di 118,8 pada April.
Koreksi ini merupakan reaksi kekecewaan terhadap anggaran pemerintah federal. "Penurunan juga mungkin mewakili beberapa kekecewaan terhadap Anggaran Federal karena Anggaran yang sangat murah hati masih tidak dapat melebihi harapan masyarakat yang luar biasa," kata kepala ekonom Westpac, Bill Evans.
Pasar memprediksi indeks keyakinan konsumen Australia bulan Juni akan berada di posisi 114, naik tipis dari Mei.
Selang satu jam kemudian, pasar juga akan mengamati tingkat inflasi tahunan Negeri Tirai Bambu China per Mei.
Tingkat inflasi tahunan China melonjak menjadi 0,9% pada April 2021 dari 0,4% sebulan sebelumnya dan meleset dari ekspektasi analis yang sebesar 1,0%. Ini merupakan nilai tertinggi sejak September 2020.
Adapun konsensus pasar memprediksi tingkat inflasi China pada bulan Mei akan naik 1,6% secara yoy.
Selanjutnya, pada pukul 13.00 WIB, akan ada rilis neraca dagang Jerman pada April 2021. Analis meramal, surplus dagang Jerman pada April akan mencapai € 12,5 miliar.
Pada Maret, surplus dagang Jerman melebar menjadi € 20,5 miliar dari € 17,2 miliar periode yang sama tahun lalu lalu. Ini adalah surplus perdagangan tertinggi sejak Oktober 2019, seiring ekspor dan impor mencapai rekor tertinggi di tengah banyak negara di Eropa mulai melonggarkan kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat pada Maret.
Pada pekan ini, perhatian pelaku pasar akan banyak tersedot pada rilis data laju inflasi Amerika Serikat (AS) per bulan Mei. Pada April tingkat inflasi Negeri Paman Sam melonjak menjadi 4,2%, dari 2,6% pada Maret.
Apabila tingkat inflasi Negeri Paman Sam kembali naik, investor khawatir hal tersebut akan mendorong bank sentral AS, The Fed, untuk mulai menaikkan tingkat suku bunga dan memicu taper tantrum.
Isu pengetatan alias tapering off memang mulai bertebaran setelah perekonomian AS semakin sehat. Pemulihan setelah dihantam pandemi virus corona (Covid-19), pemulihan ekonomi negeri adi daya berlangsung begitu cepat.
Bukan tidak mungkin, pengurangan quantitative easing (QE) berada di depan mata. Namun, BI masih melihat situasi yang saat ini dihadapi masih bersifat dinamis.
Otoritas moneter Tanah Air memperkirakan Jerome Powell Cs akan mengumumkan fase tapering off paling cepat pada Agustus, yakni kala pertemuan Jackson Hole Symposium.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Hariyadi Ramelan mengaku cukup optimistis dampak dari tapering off Fed tidak akan sebesar pengaruhnya seperti 2013 - 2015.
Salah satu indikator yang menjadi perhatian bank sentral adalah porsi kepemilikan asing terhadap surat utang negara yang sudah turun. Hal tersebut, memang selama ini membuat perekonomian domestik cukup rentan.
Berdasarkan catatan BI, kepemilikan asing terhadap surat utang negara saat ini sudah berada di angka 23%. Ini berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan asing terhadap surat utang pada 2013 yang mencapai 38%.
Selain itu, BI merasa fundamental perekonomian domestik pun masih kuat tercermin dari defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang terjaga, inflasi yang terkendali, serta cadangan devisa yang mumpuni.
Asal tahu saja, tapering off merupakan kebijakan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS. Ketika hal tersebut dilakukan, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke Negeri Paman Sam. Hal tersebut dapat memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum.
Menelisik ke belakang, Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering QE yang dilakukan sejak krisis finansial global 2008. Kala itu taper tantrum memukul banyak mata uang, termasuk rupiah yang menjadi salah satu korbannya yang melemah lebih dari 50%.
IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
(adf/adf)