
Bitcoin Lagi Tertekan, Apa Kabar Bursa Saham Hari Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,14% (69,39 poin) dari 6.086,26 ke 6.016,864 pada Jumat pekan lalu (24/4/2021) di tengah kebijakan larangan dan pembatasan mudik. Hari ini, pasar masih akan mencermati kebijakan perpajakan di Amerika Serikat (AS) dan rilis kinerja emiten lokal maupun global.
Sempat terlempar ke level psikologis 5.900, IHSG akhirnya menguat pada Kamis pekan lalu setelah pemerintah mengubah nada kebijakannya, dari 'larangan mudik' menjadi 'pengetatan mudik'.
Hal ini wajar saja karena puasa dan lebaran secara historis menjadi momentum pendorong konsumsi masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang 57% Produk Domestik Brutonya (PDB) berasal dari belanja rumah tangga, naik-turunnya tingkat konsumsi masyarakat bakal menentukan laju pertumbuhan nasional.
Bank Indonesia (BI) dalam beberapa kesempatan menyebutkan rutinitas mudik per tahun membantu perputaran uang minimal Rp 150 triliun ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Kebutuhan uang beredar selalu meningkat menjelang dua momen penting umat Islam tersebut.
Sementara itu, rupiah berhasil menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini, setelah terkoreksi selama delapan pekan beruntun. Normalisasi imbal hasil (yield) US Treasury menjadi pembalik situasi.
Mata Uang Garuda bertengger di level 14.520 per dolar AS, atau melemah 0,03% secara harian pada Jumat (24/4/2021) pekan lalu tetapi terhitung menguat 0,27% dalam seminggu. Namun pemicunya lebih karena dolar yang melemah dan bukan rupiah yang digdaya.
Pada Jumat, indeks dolar AS turun 0,5% ke 90,86 berada di dekat level terendah sejak awal Maret. Sepanjang pekan ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut melemah 0,6%, dan sepanjang April merosot 2,5%.
Artinya, mereka tak akan memperketat kebijakan moneter dan terus menggelontorkan dana US$ 120 miliar per bulan untuk membeli obligasi di pasar (quantitative easing/QE). Dus, pasokan uang beredar masih akan berlebih sehingga secara teoritis dolar AS pun melemah di pasar.
Kondisi tersebut membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun-yang menjadi acuan di pasar-bergerak di kisaran 1,56% pada Jumat. Sebelumnya, yield tertinggi tahun ini dicapai pada Maret sebesar 1,77% yang memicu tekanan pada rupiah karena investor global menarik dananya (capital outflow) untuk dibelikan obligasi pemerintah AS.
Dengan melandainya yield, kekhawatiran capital outflow pun berkurang dan investor global kembali betah menitipkan dananya di instrumen keuangan negara berkembang termasuk Indonesia. Akibatnya, harga obligasi nasional pun sepanjang pekan ini melesat. Penguatan harga terutama menimpa surat utang jangka panjang yang turun hingga melewati level psikologis 7%.
Semua Surat Berharga Negara (SBN) pekan lalu mencatatkan kenaikan harga secara mingguan yang terlihat dari penurunan yield mereka, rata-rata sebesar 5,95%. Obligasi pemerintah tenor 30 tahun mencetak koreksi yield terbesar, yakni 9,6 basis poin (bp) menjadi 6,973%. Itu merupakan level terendahnya sejak 12 Maret lalu sebesar 6,95%.
Dari dalam negeri, faktor pendorong anjloknya imbal hasil obligasi adalah kebijakan pengetatan mudik. Kebijakan ini berpeluang menghilangkan momentum kenaikan konsumsi masyarakat, yang menyumbang 57% ekonomi nasional, sehingga pemodal merasa perlu menitipkan dananya di aset aman karena ada risiko pemulihan ekonomi Indonesia bakal tersendat oleh kebijakan itu.
Yield bergerak berkebalikan dari harga obligasi, sehingga koreksi imbal hasil mengindikasikan harga surat utang yang meninggi, demikian juga sebaliknya. Perhitungan imbal hasil dilakukan dalam basis poin yang setara dengan 1/100 dari 1%.
Dow Jones tertekan 0,5% atau sekitar 156 poin sepanjang pekan lalu, ke level 34.043,49. sementara itu, S&P 500 melemah 0,13% menjadi 4.180,17. Nasdag melemah 35,3 poin atau 0,25% ke level 14.016,81.
Koreksi sepekan itu terjadi setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan rencana kenaikan Pajak Penghasian (PPh) atas keuntungan transaksi atau capital gain di pasar modal menjadi 43,4%.
Bloomberg melaporkan bahwa kenaikan itu bakal berlaku berjenjang. Untuk mereka yang mendapatkan keuntungan transaksi senilai US$ 1juta atau lebih, bakal dikenakan pajak 39,6%. Reuters dan The New York Times juga memberitakan hal yang sama.
Namun, rencana tersebut kemungkinan akan terbentur persetujuan di Kongres, dengan peluang kenaikan masih bisa terjadi tetapi dalam tingkat yang lebih kecil.
"Kami berharap Kongres akan menyetujui versi kenaikan yang sudah dikurangi... Kami berharap Kongres akan berakhir pada angka kenaikan yang lebih moderat sekitar 28%," tutur Goldman Sachs dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.
Koreksi sepekan kemarin terjadi di tengah rilis kinerja emiten kelas kakap di bursa AS. Sejauh ini, sebanyak 84% dari 25% perusahaan konstituen S&P 500 yang teah merilis kinerja kuartal I-2021 melaporkan kinerja positif dengan 77% di antaranya membukukan pendapatan di atas estimasi pasar.
Angka 84% tersebut sejauh ini menjadi yang tertinggi sejak tahun 2008, ketika FactSet pertama kali melakukan penghitungan kinerja keuangan emiten.
UBS memperkirakan kebijakan tersebut semestinya tak berdampak sistemik terhadap transaksi pasar mengingat investor domestik perorangan, yang bakal terkena pajak tersebut, hanya menyumbang 25% transaksi harian di Wall Street.
Sebanyak 75% sisanya disumbang oleh investor institusi seperti dana pensiun, dana abadi, dan investor asing yang tak menjadi objek pajak yang disasar kebijakan baru tersebut.
Pagi ini, kontrak berjangka (futures) indeks Dow Jones naik 3 poin dari nilai wajarnya, sementara S&P 500 dan Nasdaq melemah kurang dari 0,1%. Pelaku pasar masih akan memantau rilis kinerja emiten unggulan di Wall Street di antaranya Tesla pada hari ini.
Selanjutnya ada rilis Microsoft, Alphabet (induk usaha Google), AMD dan Starbucks pada Selasa, diikuti Boeing, Ford Motor, Apple, dan Facebook pada Rabu. Pada Kamis giliran Amazon yang merilis kinerja keuangannya per kuartal I-2021, diakhiri dengan rilis Exxon Mobil, Chevron, dan Colgate pada Jumat.
Rencana Biden menaikkan pajak atas capital gain menjadi 39,6% masih akan membayangi pergerakan pasar saham di Amerika Serikat (AS), termasuk juga pasar mata uang kripto. Kebijakan pajak tersebut bakal membuat beban potongan pajak yang dinikmati seperlima investor individu terkaya AS terpangkas rata-rata hingga 20% lebih.
Rencana tersebut telah membuat bursa saham AS tertekan pekan lalu, demikian juga dengan bursa mata uang kripto yang lagi naik daun. Tekanan terutama terlihat di pasar mata uang digital tersebut, setelah nilai pasarnya merosot US$200 miliar dalam sepekan atau setara dengan Rp 2.900 triliun.
Koreksi ini wajar terjadi karena sepanjang tahun berjalan saja, harga Bitcoin telah melesat 66% sementara Ethereum melambung hingga lebih dari 200%. Harga Bitcoin pada Sabtu pekan lalu anjlok 15,1% menjadi US$ 49.254,75 . Artinya, dalam sepekan ini harga mata uang kripto terpopuler ini drop US$ 11.608/keping, atau setara Rp 168,5 juta.
Posisi harga tersebut kian jauh dari level tertinggi sepanjang masanya pada 13 Maret 2021 sebesar US$ 61.606,06 (Rp 895,6 juta). Sementara itu, Ethereum juga anjlok 5,2% ke level US$ 2.234,56 per unit, setelah pada Sabtu pekan lalu berada di level US$ 2.392,52 /unit.
"Bagi investor ritel yang baru masuk, strateginya tetap sama yakni jangan taruh seluruh telur di satu keranjang dan tempatkan sedikit dari portofolio anda ke mata uang kripto... Tak peduli anda kaum garis keras yang percaya pada mata uang kripto atau tidak, diversifikasi adalah kunci," tutur Eric Demuth, CEO broker mata uang digital Bitpanda, pada CNBC International.
Koreksi mata uang kripto berlawanan arah dengan harga obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang menguat, di mana imbal hasilnya (yang bergerak berlawanan arah dari harga) terus melemah hingga ke level 1,5%, meninggalkan level tertingginya tahun ini sebesar 1,77%.
Pelaku pasar memborong surat utang di tengah kenaikan kasus Covid-19 di beberapa negara, untuk melindungi risiko tertundanya pemulihan ekonomi dunia. Di sisi lain, harga emas dunia yang juga merupakan aset lindung nilai paling asli (bukan ngadi-ngadi) menguat 0,64% sepekan ini ke level US$ 1.787,75 per troy ons.
Para investor meyakini bahwa mata uang kripto menjadi aset alternatif untuk melindungi nilai (hedging) kekayaan mereka dari gerusan inflasi. Namun, volatilitasnya sangat tinggi karena suplai yang terbatas dan minimnya basis fundamental yang melandasi naik-turunnya harga.
Koreksi sepekan lalu membuktikan bahwa posisi mata uang digital tersebut belum sepenuhnya bisa disejajarkan dengan aset lindung nilai yang lebih senior. Hal ini memberikan peluang bagi investor untuk mengurangi portofolionya di Bitcoin cs dan kembali memburu high risk high return lainnya seperti saham.
Tren serupa kemungkinan terlihat pada perdagangan di bursa nasional pagi ini, sembari menunggu kabar positif dari kinerja emiten dan kebijakan baru pemerintah untuk menggenjot perekonomian.
Berikut beberapa agenda korporasi dan data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Penjualan motor (tentatif)
- RUPST PT Prodia Widyahusada Tbk (09:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Moment of Truth! Siap-siap Simak Rilis Inflasi AS