Newsletter

Alamak! Wall Street Lagi Loyo, Rupiah-IHSG Bisa Ngegas?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
07 April 2021 06:21
Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham domestik dan nilai tukar rupiah berhasil menguat tetapi harga obligasi pemerintah mayoritas justru melemah di perdagangan kemarin, Selasa (6/4/2021).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses membuat investor happy karena berhasil finish di zona hijau dengan apresiasi 0,54% ke 6.002,77. Sayang apresiasi tidak dibarengi dengan aksi beli oleh investor asing. 

Di pasar reguler net sell asing mencapai Rp 200 miliar. Tercatat 301 saham mengalami kenaikan nilai kapitalisasi pasar. Sebanyak 186 saham terkoreksi dan sisanya 159 saham stagnan. 

Setali tiga uang, nilai tukar rupiah juga menguat walau tipis. Di hadapan dolar AS rupiah naik 0,07% ke Rp 14.500/US$. Genap dua hari perdagangan pekan ini mata uang Tanah Air tersebut berhasil menguat. 

Beralih ke instrumen pendapatan tetap. Harga Surat Berharga Negara (SBN) cenderung melemah yang tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield). Mayoritas SBN harganya naik kecuali untuk tenor 1 tahun dan 20 tahun. 

Hasil lelang surat berharga syariah negara (SBSN) atau Sukuk Negara kembali tak memenuhi target yang sudah ditetapkan kemarin. 

Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menetapkan nilai nominal Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang dimenangkan dalam lelang kemarin sebesar Rp 7,34 triliun, lebih rendah dari target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun.

Dalam proses lelang tersebut, permintaan investor yang masuk kembali turun, yakni Rp 14,6 triliun. Adapun jumlah permintaan investor yang masuk pada lelang sebelumnya yang digelar pada tanggal 23 Maret lalu sebesar Rp 17,2 triliun.

Minat investor terutama asing terhadap aset-aset keuangan dalam negeri cenderung menurun. Kenaikan imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang tembus 1,75% sebelum akhirnya turun. 

Hal ini memicu terjadinya outflow dari pasar finansial RI. Di pasar saham terjadi aksi jual bersih mencapai Rp 4,28 triliun sebulan terakhir. Kepemilikan SBN oleh investor asing juga drop Rp 20 triliun sepanjang Maret.

Beralih ke barat, tiga indeks saham acuan global di Bursa New York kompak melenggang ke zona merah di akhir perdagangan. Indeks Dow Jones Industrial memimpin pelemahan dengan koreksi 0,29%. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing turun 0,1% dan 0,05%. 

Penurunan harga saham Paman Sam terjadi ketika yield obligasi negara tenor 10 tahun yang sepanjang kuartal pertama menjadi momok bagi pelaku pasar saham lanjut menurun. Kini yield nominal berada di 1,65%. 

Presiden Federal Reserve Cleveland Loretta Mester kepada CNBC International menyatakan bahwa dia tidak khawatir melihat perkembangan di pasar surat uang pemerintah. "Menurut saya imbal hasil obligasi yang meninggi bisa dipahami dalam konteks perbaikan outlook ekonomi."

Penurunan ini menunjukkan koreksi yang sehat mengingat sebelumnya indeks S&P 500 sempat menyentuh level tertingginya sepanjang sejarah. Pada perdagangan pertama minggu ini, Wall Street berhasil ditutup dengan ceria.

Data tenaga kerja AS yang menunjukkan penurunan angka pengangguran dan melonjaknya indikator aktivitas sektor jasa di tengah semakin kencangnya program vaksinasi menjadi katalis positif bagi aset berisiko seperti ekuitas. 

Kini fokus investor tertuju pada proposal Biden untuk menggelontorkan anggaran senilai US$ 2 triliun guna pembangunan infrastruktur. Meski kedua partai politik sepakat membangun jalan dan jembatan, tetapi masih ada perbedaan pandangan mengenai nilai total dan pendanaannya.

Biden juga menyatakan bahwa dirinya tak khawatir untuk menaikkan pajak korporasi sebesar 28% yang menjadi sumber pendanaan proyek tersebut. Namun demikian Senator Partai Demokrat Joe Manchin menyatakan penolakan keras atas rencana tersebut.

Di saat pasar saham didera koreksi, indeks dolar yang mengukur posisi greenback di hadapan mata uang lain juga ambles 0,34%. Indeks dolar yang sebelumnya sempat menyentuh level 93 kini berada di 92 atau turun 1 poin.

Berakhirnya Wall Street di zona merah tentu bukanlah kabar yang baik bagi pasar keuangan Asia yang bakal buka pada pagi ini terutama untuk kelas aset berupa saham yang meski berbeda secara geografis tetapi memiliki korelasi positif. 

Hanya saja penurunan yield dan indeks dolar diharapkan dapat memantik terjadinya aliran dana asing ke pasar negara berkembang dan Asia seperti Indonesia. Adanya inflow ini berpeluang membuat harga surat utang pemerintah naik dan mata uangnya ikut diuntungkan. 

Sentimen positif untuk pasar keuangan Asia juga didukung dengan kenaikan angka PMI sektor jasa Negeri Panda. Angka PMI jasa China naik dari 51,5 di bulan Februari menjadi 54,3 bulan lalu. 

Data-data ekonomi yang positif juga membuat harga minyak mentah global ikut terkerek naik. Minyak dan saham sejatinya cenderung punya korelasi yang positif kendati lemah. Artinya kenaikan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi aset-aset berisiko.

Rilis data ekonomi sektor jasa juga akan mewarnai perdagangan hari ini. Apabila data menunjukkan bahwa sektor jasa kian bergeliat maka ini akan menjadi sentimen positif bagi pasar saham. 

Di dalam negeri sentimen penggerak pasar hari ini datang dari rilis data cadangan devisa. Posisi cadangan devisa pada akhir Februari sebesar US$ 138,8 miliar, naik US$ 800 juta dibandingkan dengan posisi akhir Januari lalu.

Posisi cadev di bulan Februari lalu merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, mematahkan rekor sebelumnya US$ 138 miliar yang dicapai pada bulan Januari lalu. Artinya dalam 2 bulan pertama tahun ini, cadev Indonesia terus mencetak rekor tertinggi.

Peningkatan cadev berarti BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah saat mengalami gejolak, sehingga akan direspon positif oleh pasar. Untuk sementara waktu pasar finansial nasional masih akan bergerak dengan volatilitas tinggi. Apalagi di tengah adanya ramalan penguatan dolar AS. 

Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.

Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.

Rupiah memang layak waspada, sebab survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 58% ahli strategi valas memprediksi mata uang emerging market akan tertekan melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data transaksi berjalan Korea Selatan bulan Februari (06.00 WIB)
  2. Rilis data posisi cadangan devisa Jepang bulan Maret (06.50 WIB)
  3. Rilis data posisi cadangan devisa Indonesia bulan Maret (10.00 WIB)
  4. Pengumuman kebijakan moneter suku bunga acuan India (11.30 WIB)
  5. Rilis data PMI Jasa India bulan Maret (12.00 WIB)
  6. Rilis data PMI Jasa zona Euro bulan Februari (14.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article Hari Pembuktian Akhirnya Tiba: IHSG Rekor Apa Tekor?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular