
Wall Street Bawa Kabar Baik, Bisakah Seberangi Atlantik?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam pada perdagangan Rabu (31/3/2021) kemarin, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kembali melemah pada perdagangan kemarin, sedangkan untuk SBN, imbal hasil (yield) ditutup beragam.
IHSG ditutup ambles 1,42% ke level 5.985,52 pada perdagangan kemarin. Data perdagangan mencatat sebanyak 118 saham menguat, 396 saham melemah, dan sisanya 120 saham flat.
Nilai transaksi bursa pada perdagangan kemarin kembali naik mencapai Rp 12,2 triliun. Namun, investor asing membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 1,1 miliar di seluruh pasar.
Saham-saham perbankan big cap masih menjadi incaran aksi jual investor asing, di mana asing melakukan penjualan bersih di saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 461 miliar, kemudian di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp 450 miliar dan di saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp 92 miliar.
Sementara itu, bursa saham Asia mayoritas melemah pada perdagangan kemarin. Sementara, IHSG menduduki posisi ketiga dari indeks saham Asia yang melemah parah kemarin. Sedangkan di posisi pertama dipegang oleh indeks saham Malaysia dan di posisi kedua ada indeks saham Filipina.
Hanya indeks saham Thailand yang ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Sedangkan indeks KOSPI Korea Selatan yang sebelumnya sempat menguat, namun pada penutupan berakhir melemah.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Rabu (31/3/2021).
Sedangkan, nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (31/3/2021), dan mencatat pelemahan dalam 3 hari beruntun. Rupiah terpuruk di saat mayoritas mata uang utama Asia menguat melawan dolar AS.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 14.470/US$. Setelahnya rupiah langsung merosot 0,66% ke Rp 14.565/US$.
Selepas tengah hari, rupiah berhasil memangkas pelemahan dan berakhir di Rp 14.520/US$, melemah 0,35%.
Dengan pelemahan tersebut, hingga pukul 15:13 WIB, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Selain rupiah ada yen Jepang dan baht Thailand yang melemah melawan dolar AS.
Sementara mata uang lainnya menguat. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Adapun di pasar obligasi pemerintah Indonesia, harga obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) kembali beragam pada hari ini, di mana SBN acuan untuk tenor 10 tahun, 15 tahun, dan 30 tahun mengalami pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield), sedangkan sisanya mengalami penguatan harga dan penurunan yield.
Adapun untuk yield SBN tenor 10 dengan seri FR0087 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali naik sebesar 2 basis poin (bp) ke level 6,814%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Koreksi di pasar keuangan dalam negeri terjadi menyusul kombinasi tiga sentimen negatif dari dalam dan luar negeri yang menyergap pasar keuangan RI secara bersamaan.
Untuk pasar saham RI (IHSG) salah satu sentimen negatifnya adalah terkait wacana pengurangan investasi saham dan reksa dana BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).
Diketahui BPJS merupakan salah satu investor institusi raksasa sehingga apabila porsi investasi dikerdilkan berpotensi adanya arus uang keluar dari pasar modal dalam jumlah yang lumayan.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengungkapkan rencana pengurangan investasi tersebut dalam rapat dengar pendapat bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR.
Langkah ini dilakukan dalam rangka Asset Matching Liabilities (ALMA) Jaminan Hari Tua (JHT). Ada tiga strategi yang disampaikan BP Jamsostek.
"Pertama, strategi investasi dengan melakukan perubahan dari saham dan reksa dana ke obligasi dan investasi langsung sehingga bobot instrumen saham dan reksa dana semakin kecil," jelas Anggoro, Selasa (30/3/2021).
Namun, sentimen negatif yang membuat pasar saham RI dan rupiah memburuk, serta pasar obligasi yang beragam adalah terkait capital outflow pada hari ini, seiring dari kenaikan yield obligasi pemerintah AS yang masih terjadi pada hari ini.
Di pasar saham, investor asing melakukan aksi jual bersih lebih dari Rp 1 triliun, yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,4%.
Sementara itu di pasar obligasi juga kemungkinan terjadi hal yang sama, terlihat dari kenaikan yield.
Naiknya kembali yield obligasi (Treasury) AS menjadi pemicu capital outflow di pasar obligasi.
Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya naik.
Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street mayoritas ditutup di zona hijau pada perdagangan Rabu (31/2/2021) waktu setempat, karena investor beralih kembali ke saham teknologi sembari menimbang rencana belanja infrastruktur besar Presiden Joe Biden.
S&P 500 berakhir menguat 0,36% ke level 3.972,89, setelah sempat melompat 0,9% di perdagangan intraday. Sedangkan Nasdaq Composite yang berteknologi tinggi melonjak 1,54% ke 13.246,87, didorong oleh melesatnya saham Apple, Microsoft, dan Facebook sebesar 1,6% dan Tesla yang meroket hingga dari 5%.
Sementara itu, Dow Jones Industrial Average melemah 0,26%, ke level 32.981,55.
Dow dan S&P 500 masing-masing melesat 6,6% dan 4,3% sepanjang Maret 2021 dan mencatatkan kinerja terbaik mereka sejak November. Sementara di kuartal pertama tahun 2021, Dow dan S&P 500 masing-masing meroket 7,8% dan 5,8%.
Nasdaq relatif berkinerja buruk karena saham teknologi sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga, di mana investor saham teknologi bergantung pada pinjaman yang murah untuk berinvestasi dalam pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.
Sepanjang Maret 2021, indeks saham benchmark teknologi tersebut menguat 0,4%. Sedangkan pada kuartal pertama tahun ini, Nasdaq sudah melesat hingga 2,8%.
Presiden Joe Biden resmi meluncurkan paket infrastruktur lebih dari US$ 2 triliun pada Rabu (31/3/2021) waktu setempat, karena pemerintahannya mengalihkan fokusnya untuk memperkuat ekonomi pasca pandemi.
Rencana yang diuraikan Biden pada hari Rabu mencakup sekitar US$ 2 triliun untuk pengeluaran selama delapan tahun dan untuk mendanai paket tersebut, Biden akan menaikkan tarif pajak perusahaan menjadi 28%.
Ketika ia berbicara di hadapan serikat pekerja di Pittsburgh, Biden menyebutnya sebagai visi untuk menciptakan "ekonomi yang paling kuat, paling tangguh, dan inovatif di dunia" dan jutaan "pekerjaan dengan gaji yang baik".
Gedung Putih mengatakan kenaikan pajak perusahaan yang dikombinasikan dengan langkah-langkah yang dirancang untuk menghentikan pengurangan laba, akan mendanai rencana infrastruktur tersebut dalam 15 tahun.
"Investor 'menjual berita' tentang rencana infrastruktur Presiden Biden dan menjauhkan diri dari penerima manfaat dari rencana tersebut, seperti sektor energi, material, industri dan teknologi yang telah 'diuntungkan' dari pandemi," kata Chris Hussey, seorang direktur pelaksana di Goldman Sachs, dikutip dari CNBC International.
"RUU itu sebagian besar sejalan dengan ekspektasi dan dipenuhi dengan ketidakpedulian oleh pasar saham yang mungkin telah memperdagangkan pengeluaran ini selama berminggu-minggu." tambahnya.
Hal itu membuat saham siklus, seperti saham energi, material, keuangan dan industri semuanya mencatatkan kerugian pada Rabu.
Beberapa investor khawatir tentang dampak negatif dari pajak perusahaan yang lebih tinggi dan kenaikan inflasi di tengah stimulus fiskal yang masif.
"Stimulus ekonomi tidak lagi 100% bermanfaat bagi pelaku pasar," kata Tom Essaye, founder Sevens Report, dalam sebuah catatan.
Di lain sisi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) cenderung stagnan di level 1,73% pada perdagangan kemarin, setelah sempat naik ke level tertingginya selama 14 bulan terakhir sebesar 1,77%.
Yield Treasury telah meningkat tahun ini, di tengah program vaksinasi Covid-19 yang gencar dilakukan dan optimisme pasar terhadap pemulihan ekonomi yang semakin nyata.
Dari data ketenagakerjaan, ADP mencatat ada 517.000 penyerapan tenaga kerja baru di sektor swasta, atau menjadi yang terbaik sejak September 2020. Angka tersebut melonjak dari posisi Februari yang berada di angka 176.000 meski sedikit di bawah estimasi Dow Jones sebesar 525.000.
Data resmi tenaga kerja Maret bakal dirilis pada Jumat, di mana ekonom dalam survei Dow Jones memperkirakan ada tambahan 630.000 pos kerja baru pada Maret, dan angka pengangguran anjlok menjadi 6% dari sebelumnya 6,2%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) akhirnya kembali ditutup menguat, walaupun untuk indeks Dow Jones masih melemah pada perdagangan kemarin, sehingga hal ini dapat menjadi perhatian pelaku pasar dalam negeri.
Penguatan Wall Street tak lain didukung oleh kenaikan saham teknologi yang kembali terjadi pada perdagangan kemarin.
Selain itu, pasar juga patut mencermati peluncuran paket stimulus infrastrukur senilai US$ 2 triliun lebih, yang berdampak pada kenaikan tarif pajak korporasi AS menjadi 28%.
Pelaku psar juga perlu mencermati pergerakan yield Treasury yang kembali menurun pada perdagangan Rabu waktu AS.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) cenderung stagnan di level 1,73% pada perdagangan kemarin, setelah sempat naik ke level tertingginya selama 14 bulan terakhir sebesar 1,77%.
Pelaku pasar juga perlu mencermati data ketenagakerjaan AS, di mana ADP mencatat ada 517.000 penyerapan tenaga kerja baru di sektor swasta, atau menjadi yang terbaik sejak September 2020. Angka tersebut melonjak dari posisi Februari yang berada di angka 176.000 meski sedikit di bawah estimasi Dow Jones sebesar 525.000.
Namun, data resmi tenaga kerja Maret akan dirilis pada Jumat, di mana ekonom dalam survei Dow Jones memperkirakan ada tambahan 630.000 pos kerja baru pada Maret, dan angka pengangguran anjlok menjadi 6% dari sebelumnya 6,2%.
Dari rilis data ekonomi lainnya, hari ini di beberapa negara akan merilis data indeks manajer pembelian (Purchasing Manager' Index/PMI) manufaktur versi Markit pada periode Maret 2021.
Adapun negara-negara yang akan merilis data PMI manufakturnya antara lain Australia, Korea Selatan, China (versi Caixin/Markit), Zona Euro, Inggris, dan AS.
Sementara di dalam negeri, rilis data ekonomi pada hari ini adalah data PMI manufaktur Markit periode Maret 2021 dan data inflasi periode Maret 2021.
Laju inflasi Indonesia pada Maret 2021 diperkirakan terakselerasi dibandingkan bulan sebelumnya. Tanda permintaan dan daya beli masyarakat mulai bergeliat?
Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Maret 2021 pada 1 April 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,145%.
Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diproyeksi 1,42%. Lalu inflasi inti tahunan 'diramal' di 1,4% (YoY).
Insitusi | Inflasi MtM (%) | Inflasi YoY (%) | Inflasi Inti YoY (%) |
Citi | 0.15 | 1.43 | 1.45 |
ING | - | 1.4 | - |
Trimegah Sekuritas | 0.1 | 1.38 | - |
Standard Chartered | 0.16 | 1.44 | 1.31 |
Bank Permata | 0.15 | 1.43 | 1.38 |
CIMB Niaga | 0.16 | 1.44 | 1.39 |
Bank Danamon | 0.08 | 1.36 | 1.35 |
Danareksa Research Institute | 0.15 | 1.44 | 1.4 |
Bank Mandiri | 0.12 | 1.4 | 1.5 |
BCA | 0.14 | 1.42 | 1.44 |
Maybank Indonesia | 0.07 | 1.35 | 1.46 |
MEDIAN | 0.145 | 1.42 | 1.4 |
Jika ini terwujud, maka laju inflasi akan mengalami percepatan. Pada Februari 2021, inflasi bulanan berada di 0,1% dan tahunan 1,38%. Namun inflasi inti masih melambat karena bulan lalu adalah 1,53% YoY.
Oleh karena itu, belum bisa disimpulkan bahwa daya beli rakyat sudah pulih. Pasalnya daya beli tercermin dari inflasi inti, yang sepertinya masih melambat.
Inflasi inti berisi kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun, persisten. Jadi kalau harga yang 'bandel' saya bisa sampai turun, maka artinya permintaan memang lesu yang memaksa dunia usaha menurunkan harga.
Salah satu komoditas yang ada di 'keranjang' inflasi inti adalah emas perhiasan. Harga emas perhiasan mengikuti harga emas dunia.
Sejak akhir Februari 2021, harga emas dunia di pasar spot turun 1,66% point-to-point. Secara year-to-date (YTD), harga sang logam mulia sudah anjlok 10,13%.
Sayangnya konsumsi masyarakat memang belum pulih betul, masih lesu. Ini terlihat di data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI).
Pada Februari 2021, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di 85,8. Naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 84,9.
Namun IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Kalau masih di bawah 100, maka artinya konsumen masih belum yakin, belum optimistis, belum pede memandang perekonomian.
IKK dibagi menjadi dua sub-indeks besar yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). IKE pada Februari 2020 tercatat 65,1. Naik lumayan tajam dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 63 tetapi masih sangat jauh di bawah 100.
Sementara malah sedikit memburuk dari 106,7 pada Januari 2021 menjadi 106,5 pada bulan sesudahnya. "Ekspektasi konsumen terhadap penghasilan enam bulan ke depan pada Februari 2021 terpantau menguat. Meskipun ekspektasi terhadap ketersediaan lapangan kerja tidak sekuat bulan sebelumnya," tulis laporan BI.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Â Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Markit Australia periode Maret 2021 (06:00 WIB)
- Â Â Â Â Rilis data neraca perdagangan Korea Selatan periode Maret 2021 (07:00 WIB),
- Â Â Â Â Rilis data neraca perdagangan Australia periode Maret 2021 (07:30) WIB,
- Â Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Markit Indonesia periode Maret 2021 (07:30 WIB)
- Â Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Markit Korea Selatan periode Maret 2021 (07:30 WIB)
- Â Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Caixin (Markit) China periode Maret 2021 (08:45 WIB),
- Â Â Â Â Rilis data inflasi Indonesia periode Maret 2021 (11:00 WIB)
- Â Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Markit final Zona Euro periode Maret 2021 (15:00 WIB)
- Â Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Markit final Inggris periode Maret 2021 (15:30 WIB)
- Â Â Â Rilis data klaim pengangguran Amerika Serikat pada pekan yang berakhir tanggal 27 Maret 2021 (19:30 WIB)
- Â Â Â Rilis data Purchasing Manager' Index (PMI) manufaktur Markit final Amerika Serikat periode Maret 2021 (20:45 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (2020 YoY) | -2,07% |
Inflasi (Februari 2021, YoY) | 1,38% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2021) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2020) | 0,4% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2020) | US$ 2,6 miliar |
Cadangan Devisa (Februari 2021) | US$ 138,79 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
Â
(chd/chd) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?
