
Pesta Sudah Kelar Mas Bro, Waspadai Volatilitas Masih Tinggi!

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat lompat 11 basis poin menjadi 1,75%, tertinggi sejak Januari 2020, setelah Rapat Komite Terbuka Federal (Federal Open Committee Meeting/FOMC) usai dan menyuntikkan eforia di bursa saham nasional kemarin.
Pagi tadi, imbal hasil tersebut agak mereda, menjadi 1,706%. Akan tetapi bursa saham AS anjlok, menunjukkan bahwa pasar menilai kebijakan ekstra longgar memiliki efek ikutan yang berkonsekuensi besar juga.
Ketika stimulus dan moneter ekstra longgar dijalankan bersamaan dengan laju yang cepat dalam waktu lama, maka uang beredar akan meningkat baik di pasar maupun di sektor riil. Di sektor riil, jejaknya terlihat dari kenaikan inflasi AS (sebesar 1,7% per Februari) sementara di pasar jejaknya terlihat dari kenaikan imbal hasil obligasi acuan.
Ditambah dengan ekspektasi pemulihan ekonomi, aset berisiko seperti saham pun menjadi lebih menarik ketimbang surat utang. Aksi jual obligasi pun terjadi yang berujung pada kenaikan imbal hasil, dibarengi aksi beli saham di bursa AS dan bursa negara emerging market.
Hanya saja, semuanya tidak berjalan secara merata terhadap kelas aset yang sama. Sama-sama saham di Wall Street, investor mengubah strategi mereka, dengan menjual saham teknologi yang selama ini menguat dipacu sentimen pandemi, dan memburu saham siklikal terutama perbankan yang juga menikmati berkah imbal hasil tinggi.
Di negara emerging market, tak semua aset negara tersebut menjadi incaran investor global, terutama ketika yield di AS meninggi. Indonesia, sayangnya, menjadi salah satu negara yang terkena imbas konstalasi situasi seperti sekarang.
Bank Indonesia (BI) melaporkan aksi jual Surat Berharga Negara (SBN) oleh investor asing, dengan nilai mencapai Rp 19,6 triliun dalam sebulan terakhir. Bank sentral menyerap Rp 8,5 triliun di antaranya.
Besar kemungkinan dana hasil penjualan tersebut ditarik pemodal global untuk diinvestasikan ke SBN pemerintah AS yang diekspektasikan menjanjikan keuntungan lebih tinggi setelah bos The Fed Jerome Powell berjanji akan tetap "membiarkan" inflasi meninggi-yang sama artinya membiarkan yield menguat mengikutinya.
Jadi, mohon maaf Pak Pery, BI bakal kena getah keputusan The Fed yang ingin santuy meski indikator mesin ekonomi AS memanas. Ini akan menjadikan aset investasi di Indonesia dibayangi risiko capital outflow jika fundamental ekonomi belum membaik sementara vaksinasi berjalan lambat.
Untuk hari ini, sentimen dalam negeri masih terbatas, dan investor bakal dihadapkan pada pilihan untuk menahan aset dan dana tunai mereka terlebih dahulu, sembari memantau apakah aksi beli asing kemarin bakal berlanjut pada hari ini.
Sentimen terhitung sangat minim di perdagangan terakhir pekan ini, dengan kabar kurang meyakinkan dari pasar komoditas karena harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ambrol 3,6%, nikel drop 1,2%, sementara batu bara naik hanya 0,75%.
Siap-siap, volatilitas sepertinya masih bakal tinggi.
(ags/ags)