Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan nasional ceria pada perdagangan Kamis (18/3/2021), kecuali pasar obligasi yang masih senewen dengan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Di hari perdagangan terakhir pekan ini, volatilitas masih membayang.
Kemarin, rupiah berhasil menghentikan penurunan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, rupiah langsung melesat 0,52% ke level terkuat sepanjang hari pada Rp 14.350/US$.
Penguatan rupiah sempat terpangkas hingga tersisa 0,17%, sebelum kembali terakselerasi dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.390/US$, atau menguat 0,24%. Hingga pukul 15:07 WIB, ringgit Malaysia menjadi yang terbaik di Asia dengan penguatan 0,27%, diikuti rupiah.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung dibuka di jalur hijau, dan konsisten berada di sana hingga penutupan. Indeks acuan bursa nasional ini naik 70,6 poin atau 1,12% ke 6.347,829.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 11,3 triliun dan investor asing menyerbu saham nasional dengan pembelian bersih (net buy) senilai Rp 680,3 miliar di pasar reguler. Terpantau 239 saham melesat, 236 lain terkoreksi, dan 168 sisanya stagnan.
Penguatan terjadi setelah bank sentral AS memberikan outlook ekonomi yang cerah. Federal Reserve (The Fed) juga berjanji kebijakan uang longgar bakal dipertahankan hingga 2023, meski inflasi naik melewati level 2% yang selama ini jadi acuan untuk menilai bahwa mesin ekonomi mulai kepanasan (overheated).
Pada sesi pertama, reli tercatat di kisaran 0,9%. Selanjutnya pada sesi kedua, reli bertambah lagi setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan, sesuai dengan ekspektasi pasar.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75% dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan tersebut bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus memperkirakan tidak ada perubahan.
Namun sayangnya, yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali naik. Berdasarkan data World Government Bond, yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun naik 8,4 bp ke level 1,73%, yang merupakan rekor tertingginya sejak Januari 2020.
Kenaikan yield Treasury dapat memicu capital outflow di pasar obligasi Indonesia, sebab selisih dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Kini selisih (spread) antara Treasury tenor 10 tahun dengan SBN berjatuh tempo 10 tahun sebesar 511,7 bp.
Akibatnya, harga mayoritas obligasi pemerintah kembali ditutup melemah yang terlihat dari kenaikan yield-nya, kecuali untuk yang bertenor 5, 10, dan 20 tahun. Kenaikan yield tertinggi terjadi pada Surat Berharga Negara (SBN) tenor 1 tahun sebesar 1,5 basis poin ke 3,999%.
Namun yield SBN seri FR0087 tenor 10 tahun (yang merupakan acuan obligasi negara) turun sebesar 0,5 bp ke level 6,752%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Bursa Amerika Serikat (AS) pada Kamis terpelanting ke zona merah, menyusul aksi jual masif terhadap saham-saham teknologi di tengah kenaikan lagi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dan memburuknya angka pengangguran.
Dow Jones Industrial Average anjlok 153,1 poin (-0,5%) ke 32.862,3 sementara S&P 500 drop 58,7 poin (-1,48%) ke 3.915,46. Nasdaq bablas 409 poin (-3,02%) ke 13.116,17 dipicu koreksi saham teknologi.
Hal ini terjadi setelah yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun kembali lompat 11 basis poin menjadi 1,75%, menjadi yang tertinggi sejak Januari 2020 setelah Rapat Komite Terbuka Federal (Federal Open Committee Meeting/FOMC).
Sementara itu, yield obligasi pemerintah AS tenor 30 tahun naik 6 basis poin dan menembus 2,5% atau pertama kali sejak Agustus 2019. Kenaikan imbal hasil obligasi membuat emiten teknologi yang secara natural rajin menerbitkan obligasi menghadapi kenaikan beban.
"Risiko kenaikan imbal hasil terlalu cepat masih menjadi kunci kecemasan," tutur Craig Johnson, perencana pasar teknikal Piper Sandler, seperti dikutip CNBC International.
Di satu sisi, yield obligasi yang tinggi membuat kredit perbankan menjadi lebih menarik ketimbang emisi surat utang. Saham perbankan pun menguat seperti U.S. Bancorp (+3,3%), Wells Fargo (+2,4%), JPMorgan (+1,7%), dan Bank of America (+2,6%).
Namun sebaliknya, situasi itu menjadi kabar buruk bagi saham teknologi yang memang banyak menerbitkan obligasi. Saham Apple, Amazon, dan Netflix anjlok lebih dari 3%, mengekor Tesla yang ambruk 7%.
Secara indeks sektoral, saham-saham energi menjadi yang paling terpuruk, dengan koreksi indeks saham sektor energi sebesar 4,7%. Harga West Texas Intermediate (WTI) anjlok lebih dari 7% menjadi US$ 60/barel, menjadi koreksi 5 hari beruntun atau terburuk sejak September.
Klaim awal tunjangan pengangguran pekan lalu juga membagikan sentimen negatif karena ternyata lebih buruk dari ekspektasi. Ekonom dalam polling Dow Jones memperkirakan 700.000 klaim pengangguran pekan lalu, turun dari 712.000 sepekan sebelum itu. Namun faktanya, ada 770.000 penganggur baru.
Kabar buruk ini membenamkan kabar bagus dari rilis data indeks manufaktur Federal Reserve Philadelphia yang menunjukkan angka 51,8, atau jauh melampaui konsensus yang dikompilasi Dow Jones sebesar 22, dan merupakan level tertingginya sejak 1973.
Rilis data pengangguran itu seolah mengoreksi proyeksi The Fed yang optimistis dengan prediksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 6,5% pada 2021, inflasi 2,2% dan pengangguran yang turun menjadi 4,5% dari level saat ini 6,2%.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat lompat 11 basis poin menjadi 1,75%, tertinggi sejak Januari 2020, setelah Rapat Komite Terbuka Federal (Federal Open Committee Meeting/FOMC) usai dan menyuntikkan eforia di bursa saham nasional kemarin.
Pagi tadi, imbal hasil tersebut agak mereda, menjadi 1,706%. Akan tetapi bursa saham AS anjlok, menunjukkan bahwa pasar menilai kebijakan ekstra longgar memiliki efek ikutan yang berkonsekuensi besar juga.
Ketika stimulus dan moneter ekstra longgar dijalankan bersamaan dengan laju yang cepat dalam waktu lama, maka uang beredar akan meningkat baik di pasar maupun di sektor riil. Di sektor riil, jejaknya terlihat dari kenaikan inflasi AS (sebesar 1,7% per Februari) sementara di pasar jejaknya terlihat dari kenaikan imbal hasil obligasi acuan.
Ditambah dengan ekspektasi pemulihan ekonomi, aset berisiko seperti saham pun menjadi lebih menarik ketimbang surat utang. Aksi jual obligasi pun terjadi yang berujung pada kenaikan imbal hasil, dibarengi aksi beli saham di bursa AS dan bursa negara emerging market.
Hanya saja, semuanya tidak berjalan secara merata terhadap kelas aset yang sama. Sama-sama saham di Wall Street, investor mengubah strategi mereka, dengan menjual saham teknologi yang selama ini menguat dipacu sentimen pandemi, dan memburu saham siklikal terutama perbankan yang juga menikmati berkah imbal hasil tinggi.
Di negara emerging market, tak semua aset negara tersebut menjadi incaran investor global, terutama ketika yield di AS meninggi. Indonesia, sayangnya, menjadi salah satu negara yang terkena imbas konstalasi situasi seperti sekarang.
Bank Indonesia (BI) melaporkan aksi jual Surat Berharga Negara (SBN) oleh investor asing, dengan nilai mencapai Rp 19,6 triliun dalam sebulan terakhir. Bank sentral menyerap Rp 8,5 triliun di antaranya.
Besar kemungkinan dana hasil penjualan tersebut ditarik pemodal global untuk diinvestasikan ke SBN pemerintah AS yang diekspektasikan menjanjikan keuntungan lebih tinggi setelah bos The Fed Jerome Powell berjanji akan tetap "membiarkan" inflasi meninggi-yang sama artinya membiarkan yield menguat mengikutinya.
Jadi, mohon maaf Pak Pery, BI bakal kena getah keputusan The Fed yang ingin santuy meski indikator mesin ekonomi AS memanas. Ini akan menjadikan aset investasi di Indonesia dibayangi risiko capital outflow jika fundamental ekonomi belum membaik sementara vaksinasi berjalan lambat.
Untuk hari ini, sentimen dalam negeri masih terbatas, dan investor bakal dihadapkan pada pilihan untuk menahan aset dan dana tunai mereka terlebih dahulu, sembari memantau apakah aksi beli asing kemarin bakal berlanjut pada hari ini.
Sentimen terhitung sangat minim di perdagangan terakhir pekan ini, dengan kabar kurang meyakinkan dari pasar komoditas karena harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ambrol 3,6%, nikel drop 1,2%, sementara batu bara naik hanya 0,75%.
Siap-siap, volatilitas sepertinya masih bakal tinggi.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data penjualan mobil RI per Februari (tentatif)
- Inflasi Jepang (06:30 WIB)
- Suku bunga acuan Jepang (10:00 WIB)
Adapun sejumlah indikator perekonomian nasional meiputi:
Data dan Indikator Ekonomi Makro | Satuan | Nilai |
Pertumbuhan Ekonomi 2020 | % (yoy) | -2.07 |
Inflasi Februari 2021 | % (yoy) | 1.38 |
BI 7 Day Reverse Repo Rate Februari 2021 | % | 3.5 |
Surplus/Defisit Anggaran 2020 | % (PDB) | -5.17 |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan 2020 | % (PDB) | -0.4 |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia 2020 | US$ Miliar | 2.6 |
Cadangan Devisa Februari 2021 | US$ Miliar | 138.8 |
TIM RISET CNBC INDONESIA