Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan nasional kemarin kembali melemah sementara harga obligasi menguat, mengindikasikan investor sedang "cari aman". Hari ini, pelaku pasar masih menanti arah kebijakan moneter dunia.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona merah pada Selasa (16/3/2021), melemah 14,6 poin atau 0,23% ke 6.309,699. Investor asing kembali melakukan aksi jual di hari kedua perdagangan pekan ini, dengan nilai penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 247 miliar di pasar reguler.
Menurut data RTI, sebanyak 191 saham menguat, 293 tertekan dan 154 lainnya flat. Transaksi bursa kembali sepi dengan nilai transaksi bursa masih terbatas yakni sebesar Rp 11,1 triliun.
Tekanan juga menimpa rupiah yang melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) yang ditutup melemah 0,03% ke Rp 14.400/US$. Padahal, nyaris sepanjang perdagangan Mata Uang Garuda tersebut berada di zona hijau.
Melansir data Refinitiv, rupiah langsung menguat 0,1% begitu perdagangan dibuka. Sayangnya, penguatan tersebut terpangkas hingga tersisa 0,3% di Rp 14.390/US$. Rupiah berada di level tersebut hingga beberapa menit sebelum penutupan perdagangan.
Tekanan tersebut terjadi di tengah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury). Pergerakan tersebut menunjukkan besarnya pengaruh yield US Treasury terhadap rupiah.
Di tengah kondisi demikian, pelaku pasar cenderung memborong obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN), sehingga mayoritas SBN ditutup dengan penguatan harga. Ini menandakan bahwa aktivitas pembelian lebih dominan ketimbang penjualan.
Mayoritas SBN acuan dikoleksi oleh investor hari ini, ditandai dengan penurunan yield di hampir semua tenor SBN acuan, kecuali SBN acuan bertenor 3 tahun (FR0039) dan 15 tahun (FR0088).
Yield SBN seri FR0039 memimpin dengan naik 24,1 basis poin (bp) ke 5,357%. Yield SBN FR0088 menyusul dengan naik 1 bp ke 6,514% pada hari ini. Namun, yield SBN FR0087 yang merupakan acuan obligasi negara berbalik turun 1,1 bp ke level 6,747%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan Selasa (16/3/2021), menyusul berbaliknya pertumbuhan penjualan ritel Februari menjadi minus 3%. Namun, angka penjualan Januari direvisi naik menjadi sebesar 7,6% dari angka permulaannya sebesar 5,3%.
Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 129 poin (+0,4%) ke 32.825,95 sementara S&P 500 ditutup melemah 0,2% ke 3.962,71 setelah sempat menyentuh rekor tertinggi baru di tengah perdagangan. Nasdaq menguat sekitar 0,1% ke level 13.471,57.
Pelaku pasar khawatir imbal hasil (yield) obligasi pemerintah (US Treasury) bakal meninggi. Yield obligasi tenor 10 tahun tersebut bertengger di level 1,62%, sedikit menguat dibandingkan dengan posisi Senin pada 1,61%.
Oleh karenanya, mereka menanti kepastian kebijakan moneter dan proyeksi inflasi Federal Reserve (The Fed) yang menggelar Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Meeting Committee/FOMC), diikuti pidato singkat dari bos bank sentral AS Jerome Powell.
"Pasar akan sangat mudah terpengaruh oleh kata-kata yang ada," tutur Rick Rieder, Direktur Investasi Pasar Surat Utang BlackRock, sebagaimana dikutip CNBC International. "Jika dia tak berkata apa-apa, pasar akan terpengaruh. Jika dia banyak bicara, maka pasar akan tergerak."
Jika imbal hasil meningkat, maka ekspektasi kupon obligasi di pasar primer pun meningkat yang bakal memicu kenaikan beban pembiayaan bagi emiten obligasi dan menekan kinerja keuangannya. Saham teknologi paling tertekan karena sifat bisnis mereka yang rakus modal.
Namun dalam perdagangan kemarin, saham-saham raksasa teknologi cenderung menguat, seperti Apple dan Alphabet (induk usaha Google) yang kompak naik di kisaran 1,3% sementara Amazon tumbuh 0,3%.
Pada perdagangan Senin, indeks Dow Jones lompat 174 poin dan mencetak rekor tertinggi ke-14 sepanjang 2021, pada level 32.953,46. Sementara itu, indeks S&P 500 menguat 0,64% ke 3.968,94 yang merupakan level penutupan tertinggi yang ke-13 kali. Nasdaq menjadi satu-satunya indeks yang belum mencetak rekor tertinggi baru meski kemarin telah menguat 1,05%.
Menurut data Revinitif, Indonesia saat ini menjadi negara dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ketiga di antara negara-negara emerging market. Nilai utang terhadap PDB kita sebesar 39,4% dari PDB, mengekor China (56,5%) dan India (72,3%).
Krisis pandemi memaksa negara-negara di seluruh dunia untuk mengucurkan stimulus yang dibiayai dari APBN masing-masing. Sumber utamanya tentu saja berasal dari penerbitan surat utang, mengingat pendapatan pajak tertekan karena aktivitas bisnis yang melesu.
Dengan peningkatan emisi surat utang pemerintah, maka pasar obligasi di seluruh dunia pun mengalami efek crowding out, di mana melonjaknya pasokan surat utang di pasar berkonsekuensi pada kenaikan kupon agar bisa menarik investor untuk membelinya.
Bagi pemerintah, menaikkan kupon SBN tentu bukan hal yang sulit untuk dilakukan, karena bisa diatasi dengan strategi pembiayaan utang jangka panjang. Namun kondisi ini bakal membuat perusahaan swasta enggan menerbitkan surat utang, atau terpaksa menerbitkannya dengan kupon tinggi.
Kupon tinggi pada gilirannya memaksa perusahaan mengeluarkan lebih banyak kas per bulannya untuk men-service pembayaran bunga utang. Selain bisa menggerus profitabilitasnya, kenaikan kupon ini juga pada titik tertentu bisa berujung pada kenaikan harga produk barang/jasa ke konsumen.
Inilah yang membuat imbal hasil (yield) SBN AS (US Treasury) menjadi sorotan pemodal, terutama di tengah bayang-bayang berkurangnya dukungan bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk memasok likuiditas di pasar ketika ekonomi dinilai sudah pulih.
Ketika Federal Reserve (The Fed) mengurangi atau bahkan menghentikan program pembelian obligasi di pasar sekunder-yang dipatok senilai US$ 120 miliar per bulan, maka posisi tawar emiten obligasi bakal kian kecil.
Likuiditas yang tersedia di pasar surat utang menciut, sehingga mereka bakal meminta kupon yang lebih tinggi lagi untuk penerbitan obligasi di pasar primer. Apalagi, inflasi di AS saat ini sudah berada di kisaran 1,7%, atau jauh melambung dari posisi April tahun lalu (efek pandemi) yang berada di angaka 0,1%.
Hari ini, ketika yield SBN AS tenor 10 tahun berada di posisi 1,62% atau naik tipis dari posisi sehari sebelumnya 1,61%, pasar AS bereaksi beragam dengan koreksi di mayoritas saham unggulan, meski beberapa saham teknologi yang sudah terkena aksi jual masif pekan lalu masih menguat.
Di Indonesia, pasar surat utang pun cenderung mengikuti arah pergerakan US Treasury dengan kenaikan yield. Jika The Fed pada malam nanti mengirimkan sinyal bahwa program quantitave easing mereka direm lajunya, maka volatilitas berpeluang terjadi di pasar emerging market.
Kenaikan harga saham yang terjadi belakangan bakal dinilai terlalu mahal karena proyeksi laba emiten (earning per share/EPS) setahun ke depan yang tertekan ketika imbal hasil meningkat sementara tekanan pandemi masih menjadi tantangan bisnis mereka.
Oleh karenanya, wajar jika hari ini pelaku pasar memantau arah mana kebijakan The Fed akan dijalankan, dan bagaimana Bank Indonesia (BI) merespons dinamika situasi tersebut melalui bauran kebijakannya.
Nilai transaksi pasar kemungkinan masih akan terbatas, karena minimnya sentimen pada hari ini, smentara bank sentral masih menggelar rapatnya untuk menentukan kebijakan suku bunga acuan dan proyeksi inflasi mereka.
Sementara itu, saham komoditas cenderung tertekan hari ini seiring dengan koreksi harga komoditas baik CPO (-3%), batu bara (-0,7%), timah (-0,5%), maupun nikel (-0,5%). Emas masih menguat 0,1% membuka peluang pembelian spekulatif atas saham di sektor tersebut.
Kabar vaksinasi pun bakal kembali disorot, terutama terkait dengan percepatan program tersebut di tengah kabar mulai dekatnya masa kedaluwarsa vaksin yang sudah sampai di tangan pemerintah (Kementerian Kesehatan).
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data penjualan mobil RI per Februari (tentatif)
- Inflasi Uni Eropa per Februari (10:00 WIB)
- Pengajuan KPR baru AS (11:00 WIB)
- RUPSLB PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk (11:00 WIB)
- IMB perumahan AS per Februari (12:30 WIB)
- Data minyak EIA (02:30 WIB)
- Konpers suku bunga acuan Fed (18:00 WIB)
Adapun sejumlah indikator perekonomian nasional meiputi:
Data dan Indikator Ekonomi Makro | Satuan | Nilai |
Pertumbuhan Ekonomi 2020 | % (yoy) | -2.07 |
Inflasi Februari 2021 | % (yoy) | 1.38 |
BI 7 Day Reverse Repo Rate Februari 2021 | % | 3.5 |
Surplus/Defisit Anggaran 2020 | % (PDB) | -5.17 |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan 2020 | % (PDB) | -0.4 |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia 2020 | US$ Miliar | 2.6 |
Cadangan Devisa Februari 2021 | US$ Miliar | 138.8 |
TIM RISET CNBC INDONESIA