Newsletter

Digentayangi Kenaikan Yield, Semua Mata Tertuju pada The Fed!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 March 2021 06:56
US Treasury, Bond, Obligasi
Foto: US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)

Menurut data Revinitif, Indonesia saat ini menjadi negara dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ketiga di antara negara-negara emerging market. Nilai utang terhadap PDB kita sebesar 39,4% dari PDB, mengekor China (56,5%) dan India (72,3%).

Krisis pandemi memaksa negara-negara di seluruh dunia untuk mengucurkan stimulus yang dibiayai dari APBN masing-masing. Sumber utamanya tentu saja berasal dari penerbitan surat utang, mengingat pendapatan pajak tertekan karena aktivitas bisnis yang melesu.

Dengan peningkatan emisi surat utang pemerintah, maka pasar obligasi di seluruh dunia pun mengalami efek crowding out, di mana melonjaknya pasokan surat utang di pasar berkonsekuensi pada kenaikan kupon agar bisa menarik investor untuk membelinya.

Bagi pemerintah, menaikkan kupon SBN tentu bukan hal yang sulit untuk dilakukan, karena bisa diatasi dengan strategi pembiayaan utang jangka panjang. Namun kondisi ini bakal membuat perusahaan swasta enggan menerbitkan surat utang, atau terpaksa menerbitkannya dengan kupon tinggi.

Kupon tinggi pada gilirannya memaksa perusahaan mengeluarkan lebih banyak kas per bulannya untuk men-service pembayaran bunga utang. Selain bisa menggerus profitabilitasnya, kenaikan kupon ini juga pada titik tertentu bisa berujung pada kenaikan harga produk barang/jasa ke konsumen.

Inilah yang membuat imbal hasil (yield) SBN AS (US Treasury) menjadi sorotan pemodal, terutama di tengah bayang-bayang berkurangnya dukungan bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk memasok likuiditas di pasar ketika ekonomi dinilai sudah pulih.

Ketika Federal Reserve (The Fed) mengurangi atau bahkan menghentikan program pembelian obligasi di pasar sekunder-yang dipatok senilai US$ 120 miliar per bulan, maka posisi tawar emiten obligasi bakal kian kecil.

Likuiditas yang tersedia di pasar surat utang menciut, sehingga mereka bakal meminta kupon yang lebih tinggi lagi untuk penerbitan obligasi di pasar primer. Apalagi, inflasi di AS saat ini sudah berada di kisaran 1,7%, atau jauh melambung dari posisi April tahun lalu (efek pandemi) yang berada di angaka 0,1%.

Hari ini, ketika yield SBN AS tenor 10 tahun berada di posisi 1,62% atau naik tipis dari posisi sehari sebelumnya 1,61%, pasar AS bereaksi beragam dengan koreksi di mayoritas saham unggulan, meski beberapa saham teknologi yang sudah terkena aksi jual masif pekan lalu masih menguat.

Di Indonesia, pasar surat utang pun cenderung mengikuti arah pergerakan US Treasury dengan kenaikan yield. Jika The Fed pada malam nanti mengirimkan sinyal bahwa program quantitave easing mereka direm lajunya, maka volatilitas berpeluang terjadi di pasar emerging market.

Kenaikan harga saham yang terjadi belakangan bakal dinilai terlalu mahal karena proyeksi laba emiten (earning per share/EPS) setahun ke depan yang tertekan ketika imbal hasil meningkat sementara tekanan pandemi masih menjadi tantangan bisnis mereka.

Oleh karenanya, wajar jika hari ini pelaku pasar memantau arah mana kebijakan The Fed akan dijalankan, dan bagaimana Bank Indonesia (BI) merespons dinamika situasi tersebut melalui bauran kebijakannya.

Nilai transaksi pasar kemungkinan masih akan terbatas, karena minimnya sentimen pada hari ini, smentara bank sentral masih menggelar rapatnya untuk menentukan kebijakan suku bunga acuan dan proyeksi inflasi mereka.

Sementara itu, saham komoditas cenderung tertekan hari ini seiring dengan koreksi harga komoditas baik CPO (-3%), batu bara (-0,7%), timah (-0,5%), maupun nikel (-0,5%). Emas masih menguat 0,1% membuka peluang pembelian spekulatif atas saham di sektor tersebut.

Kabar vaksinasi pun bakal kembali disorot, terutama terkait dengan percepatan program tersebut di tengah kabar mulai dekatnya masa kedaluwarsa vaksin yang sudah sampai di tangan pemerintah (Kementerian Kesehatan).

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular