
Sepi Sentimen, Pelaku Pasar Andalkan Sentimen Korporasi

Hari ini, pelaku pasar berada di masa jeda untuk menunggu keputusan bank sentral nasional (Bank Indonesia) dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan menggelar rapat penentuan suku bunga acuan besok.
Kontrak berjangka (futures) indeks saham AS cenderung flat pada pagi hari ini, setelah Dow Jones dan S&P. Kontrak futures Dow Jones melemah 24 poin, kontrak serupa S&P 500 surut 0,04%, sementara kontrak Nasdaq 100 menguat 0,07%.
Tidak ada agenda ekonomi yang cukup signifikan di dalam negeri untuk menggerakkan peta psikologi pasar hari ini. Dus, pelaku pasar akan cenderung masuk bursa dengan memanfaatkan sentimen yang sifatnya sporadis berdasarkan kabar positif emiten atau industri.
Selepas koreksi kemarin, beberapa saham berpeluang berbalik menguat seperti misalnya saham nikel yang hari ini berpeluang diburu dengan memanfaatkan kabar baik dari pasar komoditas, di mana harga nikel naik 1,2% ke US$ 16.200/ton.
Secara fundamental, perekonomian nasional juga masih kuat yang memberikan dasar bagi investasi di aset berisiko seperti saham. Koreksi harga Surat Berharag Negara (SBN) yang terjadi belakangan semestinya dianggap sebagai kenormalan baru (new normal).
Pasalnya, Indonesia bukanlah AS di mana perpindahan dana dari pasar saham ke pasar surat utang berjalan begitu konsisten dalam hubungan yang bersifat antitesis: koreksi harga US Treasury umumnya diikuti reli di Wall Street karena dana yang keluar dari pasar obligasi langsung masuk ke saham.
Tidak heran, ekonom DBS dalam risetnya yang berjudul "IndoGB: Kurang Diapresiasi Investor", DBS menilai bahwa pasar negara berkembang akan kembali menjadi pusat perhatian, saat optimisme akan pasar negara maju mencapai titik maksimal.
Dalam hal selisih (spread) imbal hasil-perbedaan imbal hasil obligasi 10 tahun dibandingkan dengan surat utang pemerintah AS, imbal hasil SBN nasional secara umum berada di tingkat menengah.
Meski sedikit lebih ketat pada awal tahun, angkanya jauh di bawah angka pada awal 2013 saat gejolak ekonomi terjadi akibat Taper Tantrum, ketika The Fed memangkas pembelian obligasi di pasar yang memicu capital outflow dari pasar negara berkembang.
"Jelas bahwa selisih imbal hasil tidak selebar dibandingkan dengan saat krisis ekstrim, seperti, hal-hal terkait pandemi dan gejolak pasar," demikian ekonom DBS menyimbulkan. Mereka yakin investor akan lebih menghargai pasar negara berkembang dalam beberapa bulan ini.
(ags/ags)