
Mohon Maaf, IHSG-Rupiah-SBN Sepertinya Bakal Babak Belur!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia merah membara pada perdagangan Kamis kemarin. Sentimen pelaku pasar yang memburuk akibat kenaikan yield obligasi diberbagai negara memicu kemerosotan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN).
Nasib IHSG, rupiah, dan SBN sepertinya belum akan membaik pada perdagangan hari ini, Jumat (5/3/2021), bahkan kemungkinan akan lebih parah. Sebab sentimen negatif dari eksternal sedang menghantam. Sentimen negatif tersebut akan dibahas di halaman 3 dan 4.
IHSG kemarin merosot 1,34% ke 6.290,799, investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 353 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 14,4 triliun.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun perdagangan Rabu waktu menguat 5,54 basis poin ke 1,4704%, sebelumnya bahkan sempat menyentuh level 1,498%. Sementara Kamis kemarin kembali melesat ke atas 1,5%.
Posisi yield ini masih berada di level tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Pada pekan lalu, yield Treasury tenor 10 tahun ini bahkan mencapai 1,6%.
Selain membuat sentimen pelaku pasar yang memburuk, kenaikan yield tersebut juga berisiko memicu capital outflow di pasar obligasi Indonesia, sebab selisih yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit.
Mayoritas harga SBN melemah pada perdagangan Kamis kemarin yang tercermin dari kenaikan yield-nya. Hanya SBN tenor 25 dan 30 tahun yang mengalami penguatan
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga turun maka yield akan naik, sementara ketika harga naik maka yield akan turun.
Saat harga turun, artinya sedang terjadi aksi jual.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing atas obligasi Indonesia terus mengalami penurunan semenjak yield Treasury mengalami kenaikan tajam.
Pada 16 Februari lalu, kepemilikan asing atas obligasi Indonesia mencapai Rp 992,91 triliun, sementara pada 1 Maret lalu sebesar Rp 967,97 triliun. Artinya terjadi capital outflow dari pasar obligasi nyaris 25 triliun selama periode tersebut.
Kenaikan yield treasury membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan memicu capital outflow di pasar obligasi. Dua hal tersebut menjadi pukulan bagi rupiah hingga akhirnya melemah 0,14% melawan dolar AS ke Rp 14.260/US$ kemarin.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Aksi Jual Berlanjut, Wall Street Ambrol Hingga Nasdaq Negatif Tahun Ini
Bursa saham AS (Wall Street) kembali ambrol pada perdagangan Kamis waktu setempat, padahal sempat menghijau di pembukaan perdagangan.
Penguatan di awal perdagangan terjadi sebab investor menyambut positif data klaim awal pengangguran pekan lalu yang menurut Departemen Tenaga Kerja AS berada di angka 745.000 atau lebih baik dari ekspektasi ekonom dalam survey Dow Jones, yang memprediksi ada 750.000 klaim baru yang diajukan.
Yield Treasury yang kembali melesat membuat Wall Street nyungsep.
Indeks Dow Jones merosot 1,11%, S&P 500 minus 1,34% dan Nasdaq paling parah ambrol 2,11%. Nasdaq yang merupakan indeks saham teknologi kini membukukan kinerja negatif 1,3% di tahun ini.
Saham teknologi pun anjlok karena mereka dikenal rakus menerbitkan obligasi, yang beban bunganya meningkat ketika imbal hasil obligasi acuan naik.
Pelaku pasar juga menghindari saham teknologi dan memilih mendiversifikasi dananya untuk memburu saham-saham siklikal, menyambut pemulihan ekonomi di tengah kemajuan program vaksinasi di berbagai negara dunia.
Jebloknya Wall Street terjadi setelah ketua The Fed, Jerome Powell, gagal menyakinkan pasar jika kebijakan moneternya tidak akan dirubah dalam waktu dekat.
Berbicara mengenai kondisi ekonomi AS yang dipandu Wall Street Journal, Powell mengatakan pembukaan kembali perekonomian membuat inflasi naik untuk sementara. Ia juga menekankan The Fed akan bersabar untuk merubah kebijakannya meski inflasi naik.
Powell juga mengakui kenaikan tajam yield Treasury dalam waktu singkat menjadi perhatiannya, namun The Fed perlu melihat kenaikkan yield dengan spectrum yang lebih luas sebelum mempertimbangkan mengambil langkah untuk meredamnya.
Bukannya menurun, yield Treasury justru makin menanjak merespon pernyataan Powell, alhasil Wall Street pun merosot.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini: Hantu Yield Treasury
Jebloknya Wall Street yang merupakan kiblat bursa saham dunia tentunya mengirim sentimen negatif di pasar Asia hari ini, termasuk IHSG yang berisiko besar melanjutkan kemerosotan Kamis kemarin.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, yield Treasury lagi-lagi menjadi pemicu jebloknya bursa saham. Kemarin, yield Treasury tenor 10 tahun naik 8,01 basis poin ke 1,5484%. Level tersebut merupakan penutupan perdagangan tertinggi di tahun ini, dan sejak Februari 2020 lalu.
Pada Kamis pekan lalu, yield ini memang sempat menembus level 1,6%, tetapi setelahnya terpangkas dan mengakhiri perdagangan di 1,5150%
Dengan yield yang berada di level tertinggi sebelum virus corona belum dinyatakan sebagai pandemi dan The Fed belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, artinya pelaku pasar melihat perekomian AS sudah pulih dari kemerosotan.
Perangkat GDPNow milik Federal Reserve (The Fed) Atlanta menunjukkan PDB di kuartal I-2021 akan tumbuh 10%. Kalkulasi perangkat tersebut menggunakan data-data ekonomi AS terbaru, sehingga di awal kuartal prediksinya cenderung volatil, dan akan semakin akurat mendekati akhir kuartal.
Kuartal I-2020 kini tersisa kurang dari 30 hari lagi, sehingga prediksi GDPNow semakin akurat.
Tidak hanya di kuartal I saja, momentum pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan berlanjut sepajang 2021, sehingga menunjukkan kurva V-shape.
"Pemulihan PDB dengan kurva V-shape akan tetap seperti itu di semester pertama tahun ini dan akan kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun," kata Ed Yardeni dari Yardeni Research dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Selasa (2/3/2021).
"Namun tidak akan ada lagi 'pemulihan' setelah kuartal I sebab PDB riil sudah pulih. Oleh karena itu, nantinya akan menjadi 'ekspansi' PDB di rekor tertinggi," tambahnya.
Powell sudah mengkonfirmasi pemulihan ekonomi AS memicu kenaikan inflasi, meski ditekankan hanya sementara. Tetapi dengan ekonomi AS mulai pulih, dan Pemerintah AS akan menggelontorkan stimulus fiskal dalam waktu dekat, risiko meroketnya inflasi menjadi semakin besar.
Hal tersebut yang membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya terus naik. Maklum saja, jika yield rendah dengan inflasi yang tinggi maka imbal return riil yang didapat akan negatif lebih dalam. Riil return Treasury 10 tahun sebenarnya sudah negatif, sebab inflasi di AS saat ini sebesar 1,5%.
"Kita kembali pada kabar baik untuk perekonomian menjadi kabar buruk bagi pasar. Saat yield terus naik akibat ekspektasi pertumbuhan ekonomi, pasar saham menjadi terpukul," kata Chris Zaccarelli, kepala investasi di Independent Advisor Alliance, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (4/3/2021).
Sekali lagi, terpukulnya pasar saham AS akan mengirim sentimen negatif ke pasar saham Indonesia. Tidak hanya pasar saham, pasar obligasi Indonesia juga berisiko mengalami aksi jual, sebab selisih yield Treasury dengan SBN kian menipis.
Nasib buruk juga akan mendatangi rupiah, ada 3 hal yang memberikan pukulan telak. Yang pertama memburuknya sentimen pelaku pasar yang tercermin dari jebloknya bursa saham, yang kedua capital outflow di pasar obligasi, dan yang terakhir melesatnya indeks dolar AS.
Indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam ini kemarin ikut melesat bersama yield Treasury. Indeks dolar AS menyentuh level tertinggi dalam 3 bulan terakhir setelah mengakhiri sesi di level 91,614 atau melesat 0,73%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini: Data Tenaga Kerja AS dan Cadev RI
Selain itu, fokus pelaku pasar tertuju pada data tenaga kerja AS yang terdiri dari tingkat pengangguran, perekrutan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP), dan rata-rata gai per jam.
Rilis data ini akan menggambarkan sejauh mana pemulihan pasar tenaga kerja AS. Hasil polling Reuters menunjukkan tingkat pengangguran AS di bukan Februari tetap 6,3%, NFP sebanyak 182.000 orang, lebih tinggi dari bulan Januari 82.000 orang, dan rata-rata gaji per jam tumbuh 0,2% dari bulan sebelumnya.
Yang menarik adalah, jika data tenaga kerja dirilis bagus, artinya pemulihan ekonomi AS berada di jalur yang tetap. Hal itu tentunya menjadi kabar baik, tetapi juga bisa menjadi kabar buruk, sebab "hantu" yield Treasury bisa menggentayangi lagi.
Pemicu naiknya yield Treasury di tahun ini adalah prospek pertumbuhan ekonomi AS, serta kemungkinan terjadinya kenaikan tajam inflasi.
Saat perekonomian AS menunjukkan pemulihan yang cepat, Pemerintah di bawah komando Presiden Joseph 'Joe' Biden akan menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, yang diperkirakan akan cair sebelum 14 Maret.
Ketika itu terjadi, maka perekonomian AS akan banjir likuiditas, dan inflasi berisiko meroket.
Rentetan peristiwa tersebut yang ada di gambaran para pelaku pasar, sehingga melepas kepemilikannya di Treasury yang menyebabkan yield-nya terus menanjak.
Selain itu, membaiknya perekonomian, kenaikan inflasi, yang memicu kenaikan yield Treasury membuat pasar keuangan global kembali dihantui oleh tapering (pengurangan program pembelian aset atau quantitative easing The Fed) yang dapat memicu taper tantrum.
"Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul," kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).
Oleh karena itu, pelaku pasar akan berhati-hati melihat data tenaga kerja AS.
Sementara itu dari dalam negeri hari ini akan dirilis data cadangan devisa (cadev) bulan Februari. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, cadangan devisa di bulan Januari 2021 sebesar US$ 138 miliar naik US$ 2,1 miliar dari posisi Desember 2020. Cadangan devisa di bulan Januari tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2021 sebesar 138,0 miliar dolar AS, meningkat dari posisi pada akhir Desember 2020 sebesar 135,9 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,5 bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," tulis BI dalam keterangan pers, Jumat (5/2/2021).
Cadangan devisa yang tinggi akan menjadi kabar bagus, sebab BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah saat mengalami gejolak. Rupiah yang stabil menjadi penting untuk menarik investor asing, sebab risiko kerugian kurs menjadi berkurang.
Namun, untuk hari ini faktor eksternal akan lebih mempengaruhi pergerakan pasar keuangan Indonesia.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini.
- Data Cadangan Devisa Jepang (6:50 WIB)
- Data Cadangan Devisa Indonesia (10:00 WIB)
- Data Pesanan Pabrik Jerman (14:00 WIB)
- Data Tenaga Kerja AS (20:30)
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?