
Wall Street Tak Tertolong! Nasib IHSG, Rupiah & SBN Piye?

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan merupakan momen yang paling dinanti oleh banyak orang. Namun bagi investor momen jelang akhir pekan bisa menjadi periode yang menegangkan lantaran jadi hari terakhir perdagangan. Lantas seperti apa prospek pasar keuangan hari ini?
Sebelum membahas baik peluang maupun risiko di pasar keuangan hari ini, mari sejenak mengulas apa yang terjadi di pasar kemarin. Di pasar saham domestik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 0,62%.
Indeks acuan bursa saham domestik tersebut justru menguat ketika asing 'berjualan' di pasar reguler sebesar 221 miliar. Data perdagangan mencatat sebanyak 289 saham mengalami kenaikan, 190 turun dan 161 stagnan. Nilai transaksi mencapai Rp 15,3 triliun.
Tidak hanya indeks saham domestik saja yang menguat pada perdagangan kemarin. Semua bursa saham utama kawasan Asia mengalami nasib serupa. Indeks Kospi (Korea Selatan) memimpin penguatan dengan apresiasi sebesar 3,5%.
Bursa saham Asia memang sedang happy menyusul kinerja saham-saham di Bursa New York yang berakhir sumringah sehingga menularkan sinyal positif untuk pasar ekuitas Asia.
Apresiasi tidak hanya terjadi di pasar saham saja, melainkan juga di pasar surat utang pemerintah. Mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) untuk berbagai tenor mengalami kenaikan harga yang tercermin dari penurunan imbal hasil (yield).
Penurunan yield terjadi setelah bos The Fed Jerome Powell memberikan testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat. Dalam kesempatan tersebut ada dua poin utama yang disampaikan pengganti Janet Yellen tersebut.
Pertama, kondisi perekonomian masih jauh dari sasaran target mandat bank sentral yakni maximum employment dan target inflasi 2%.
Kedua, bank sentral tetap mempertahankan stance kebijakan akomodatifnya dengan tetap menahan suku bunga acuan rendah dan injeksi likuiditas melalui pembelian surat utang di pasar senilai US$ 120 miliar per bulan.
Sebelumnya ekspektasi inflasi yang tinggi disertai prospek ekonomi yang cerah memantik kekhawatiran pelaku pasar bahwa bank sentral akan melakukan pengetatan. Akibatnya investor menuntut imbal hasil yang lebih tinggi untuk mengkompensasi devaluasi mata uang terhadap barang lain atau inflasi.
Berbeda dengan IHSG dan SBN, nilai tukar rupiah justru stagnan di pasar spot. Rupiah tetap berada di Rp 14.080/US$ dan tak kemana-mana ketika indeks dolar cenderung menurun.
Testimoni Powell memang membuat pasar kalem. Indeks acuan Wall Street semuanya menguat. Namun itu hanya sementara saja. Pada pagi ini tiga indeks saham acuan Bursa New York tumbang.
Ketiga indeks saham Wall Street anjlok lebih 1,5%. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpangkas 1,8%. Indeks S&P 500 ambles 2,5% dan Indeks Nasdaq Composite memimpin pelemahan dengan koreksi 3,5%.
Penyebab utama harga saham-saham di AS berguguran masih sama yaitu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil nominal untuk US Treasury tersebut kini sudah tembus 1,5% sekaligus menjadi level tertinggi dalam satu tahun.
Kenaikan yield tersebut membuat harga saham berjatuhan karena dua hal. Yield yang lebih tinggi ini merefleksikan ekspektasi inflasi yang tinggi sebagai akibat dari pulihnya permintaan dan ekonomi.
Dengan yield yang tinggi maka biaya pinjaman (borrowing cost) menjadi lebih mahal terutama untuk saham-saham di sektor teknologi yang aktif melakukan ekspansi lewat pembiayaan utang.
Kedua, kenaikan yield kini sudah melampaui dividend yield dari indeks S&P 500. Ini yang membuat pasar akhirnya goyang lagi. Padahal selama ini saham merupakan aset yang lebih berisiko tetapi kini imbal hasilnya malah lebih rendah dari obligasi sehingga menjadi kurang menarik.
Namun tidak semua saham harganya berjatuhan. Di saat yield obligasi pemerintah AS meningkat, harga komoditas terutama energi seperti minyak mentah terus melesat. Harga kontrak futures (berjangka) Brent dan WTI tembus rekor baru.
Di sepanjang tahun ini harga minyak mentah sudah naik 30%. Kenaikan harga si emas hitam diakibatkan oleh defisit pasokan yang terjadi di pasar. Texas yang merupakan wilayah produksi minyak yang utama juga sedang dilanda cuaca dingin ekstrem serta minimnya pasokan listrik yang menghambat aktivitas operasional.
Kenaikan harga komoditas serta prospek pembukaan ekonomi membuat investor yang tadinya bermain di saham-saham teknologi kini mulai melakukan rotasi ke saham-saham energi yang bakal diuntungkan.
Jatuhnya bursa saham Wall Street bukanlah kabar yang bagus pasar keuangan Benua Asia yang akan dibuka pada pagi ini, Jumat (26/2/2021). Volatilitas di pasar keuangan mulai meningkat.
Bagi Indonesia sebagai negeraa berkembang, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS berpotensi menekan harga SBN. Di sisi lain nilai tukar rupiah juga berpeluang untuk terdepresiasi di hadapan greenback.
Sementara untuk saham peluang koreksi juga terbuka lebar. Namun sepertinya pasar akan bergerak dengan volatilitas tinggi hari ini. Ada beberapa sentimen yang perlu dicermati di pasar saham hari ini.
Pada perdagangan kemarin asing melakukan aksi jual terhadap aset ekuitas perusahaan publik Tanah Air. Saham yang paling banyak dilego asing rata-rata adalah saham blue chip.
Saham PT Astra International Tbk (ASII) menjadi saham yang paling banyak dilepas asing dengan nilai transaksi mencapai Rp 378 miliar pada perdagangan kemarin. Namun dalam seminggu terakhir saham ASII dilego hampir Rp 710 miliar oleh asing.
Di pekan ini saham ASII sudah turun 3,46%. Salah satu pemicunya adalah laba bersih ASII yang tergerus 26% semasa pandemi Covid-19.
Berbeda dengan ASII saham emiten telekomunikasi pelat merah yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) justru diburu asing. Dalam seminggu terakhir saham TLKM sudah diborong asing sebesar Rp 1,14 triliun.
Sementara itu saham-saham yang menduduki jajaran top gainers masih saham bank-bank mini.
Meroketnya harga saham-saham bank mini di atas tampaknya masih didorong oleh sentimen konsolidasi perbankan yang mewajibkan modal inti bank minimal Rp 2 triliun di tahun ini oleh OJK.
Menurut Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020, bank diharuskan memiliki modal inti minimum bank umum sebesar Rp 1 triliun tahun 2020, Rp 2 triliun pada 2021 dan minimal Rp 3 triliun tahun 2022, sehingga, ada spekulasi, bank-bank yang belum memenuhi ketentuan harus melakukan merger atau akuisisi atau penambahan modal dari pemilik bank tersebut.
Sinyal akan lebih ramainya aksi korporasi berupa merger pada tahun ini sempat dihembuskan Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso.
Menurut Wimboh, dengan mempertimbangkan persaingan industri jasa keuangan ke depan yang akan semakin ketat dengan era digitalisasi, kebutuhan modal juga harus semakin kuat, terutama di sektor perbankan.
"Trennya [di 2021] akan lebih banyak lagi bank yang melakukan akuisisi dan merger," kata Wimboh, dalam pemaparan secara virtual, Selasa (26/1/2021).
Terlepas dari adanya euforia di saham-saham bank mini yang selanjutnya mungkin bakal dirubah menjadi bank digital, investor harus lebih berhati-hati hari ini karena kemungkinan badai dari Barat bisa berhembus ke Timur.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data produksi industri dna penjualan ritel Jepang Januari 2021 (06.50 WIB)
- Rilis data kredit sektor swasta Australia Januari 2021 (07.00 WIB)
- Rilis data ekspor dan impor Jerman Januari 2021 (14.00 WIB)
- Rilis data harga rumah di Inggris Februari 2021 (14.00 WIB)
- Rilis data pertumbuhan kredit di Indonesia Januari 2021 (14.30 WIB)
- Rilis data PDB dan inflasi Prancis (14.45 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?
