Pantengin Gaes, Hari Ini Jokowi Disuntik Vaksin Covid-19 Lho!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik ditutup bervariasi pada perdagangan kemarin, Selasa (12/1/2021). Bursa saham berhasil finish di zona apresiasi sementara untuk nilai tukar dan obligasi justru mengalami pelemahan.
Optimisme vaksinasi Covid-19 membuat aset-aset berisiko di dalam negeri terangkat. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akhirnya merestui penggunaan vaksin buatan Sinovac untuk digunakan secara darurat (Emergency Use Authorization/EUA).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 0,2%. Namun pergerakan IHSG sangatlah volatil pada perdagangan kemarin. Indeks acuan saham nasional itu sempat tembus level psikologis 6.400. Namun langsung 'longsor' setelahnya. IHSG bahkan 'ngos-ngosan' jelang penutupan perdagangan hingga akhirnya menghijau.
Nilai transaksi yang tercatat mencapai hampir Rp 26 triliun. Sebanyak 194 saham mengalami kenaikan sementara 305 saham drop dan sisanya 135 stagnan. Asing masuk dan mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp 605 miliar di pasar reguler.
Beralih ke pasar obligasi, harga surat utang yang ditransaksikan bursa domestik mengalami penurunan. Indonesia Composite Bond Index (ICBI) mengalami penurunan sebesar 0,14% ke level 311,71.
Penurunan harga obligasi mengindikasikan adanya kenaikan imbal hasil (yield). Untuk Surat Berharga Negara (SBN) rupiah bertenor 10 tahun yang sering menjadi acuan imbal hasilnya mengalami kenaikan sebesar 0,71% ke 6,26%.
Kenaikan yield obligasi rupiah pemerintah RI dipicu oleh naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury). Setelah sekian lama jatuh di bawah 1%, nilai nominal imbal hasil obligasi Pemerintah Paman Sam tersebut akhirnya menyentuh 1%.
Dolar AS yang selama ini jatuh tersungkur akhirnya bangkit. Ada momentum technical rebound yang membuat indeks dolar berhasil menguat 1% dalam waktu singkat dan kembali ke level 90.
Penguatan indeks dolar membuat mata uang utama Benua Asia menjadi tumbal, tak terkecuali rupiah. Kendati penguatan dolar AS mulai kendor, tetapi kinerja nilai tukar rupiah cenderung melempem.
Di arena pasar spot, rupiah ditutup melemah 0,28% ke Rp 14.120/US$. Sementara jika menggunakan kurs Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/JISDOR) untuk US$ 1 dibanderol di Rp 14.231.
Rupiah menjadi mata uang Asia dengan performa paling payah kemarin, sementara yuan China memimpin penguatan dengan apresiasi sebesar 0,26% terhadap greenback.
Beralih ke bursa saham New York, tiga indeks saham acuan Wall Street berakhi di zona hijau. Namun apresiasi yang terjadi tipis saja. Indeks S&P 500 mengalami penguatan 0,04%. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,19% dan Nasdaq Composite memimpin penguatan dengan melompat 0,28%.
Pada perdagangan hari pertama pekan ini ketiga indeks tersebut mengalami koreksi. Para pelaku pasar mulai mengantisipasi valuasi saham di AS yang saat ini sudah terbilang 'mahal', sehingga memang rawan terjadi koreksi (pull back) untuk kembali menyehatkan valuasi yang sudah ketinggian.
Menggunakan metode valuasi forward price to earning ratio (P/E), S&P 500 saat ini ditransaksikan di 22,7x.
Apabila menggunakan metrik valuasi yang dikembangkan oleh peraih nobel ekonomi Robert J Shiller pada 2013 yang dikenal dengan Cyclically Adjusted Price to Earning (CAPE) ratio, rasio harga terhadap earning S&P 500 saat ini sudah mencapai 34,7x.
Di saat Wall Street sudah tak sekencang sebelumnya, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang menjadi acuan sudah tembus 1% dan mencapai level tertinggi sejak Maret 2020.
Ada beberapa alasan yang rasional untuk menjelaskan mengapa imbal hasil instrumen investasi pendapatan tetap yang sering jadi acuan valuasi sebagai risk free rate tersebut meningkat.
Pertama adalah prospek perekonomian AS yang lebih cerah, kedua adalah kemungkinan risiko terjadinya gagal bayar (default) yang tinggi. Untuk alasan kedua ini didukung dengan pandangan bahwa terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS ke-46 dan komposisi Kongress yang kini dikuasai oleh Partai Demokrat.
Di bawah pemerintahan Joe Biden ada potensi besar stimulus jumbo bernilai triliunan dolar akan kembali digelontorkan sehingga akan membuat defisit anggaran semakin bengkak.
Namun di saat yang sama bank sentral AS (Federal Reserves/The Fed) masih akan mempertahankan kebijakan akomodatifnya. Suku bunga acuan akan ditahan mendekati nol persen setidaknya sampai 2023 dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih akan dilakukan dengan nilai mencapai US$ 120 miliar per bulan.
Adanya potensi kenaikan inflasi (reflasi) juga menjadi alternatif pandangan yang menjelaskan mengapa yield meningkat. Namun bagaimanapun juga adanya injeksi likuiditas secara masif masih akan berpotensi menguntungkan pasar saham kendati valuasinya sudah mencapai level tertinggi sejak tahun 2000.
Reli pasar saham yang terjadi banyak dipandang sebagai fenomena bubble. Namun bukan berarti crash akan terjadi dalam waktu yang singkat. Hanya saja valuasi yang sudah tergolong mahal memang perlu dicermati dan diwaspadai.
Setidaknya kinerja Wall Street yang terapresiasi menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Asia yang akan buka pagi ini. Namun selain itu investor juga perlu mencermati sentimen lain yang berpotensi menggerakkan pasar hari ini.
Untuk pasar keuangan domestik, sentimen terkait vaksin Covid-19 masih akan jadi faktor utama penggerak pasar. Setelah BPOM memberikan lampu hijau penggunaan darurat vaksin Covid-19 buatan Sinovac, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menajdi orang pertama yang disuntik.
Rencananya hari ini Jokowi akan disuntik vaksin Sinovac tersebut. Proses vaksinasi akan disiarkan secara langsung melalui akun YouTube Sekretariat Presiden. Meski demikian, belum diketahui secara pasti lokasi penyunttikan vaksin bagi kepala negara.
Apabila tidak ada reaksi negatif serius yang terjadi pada presiden tentu ini akan menjadi sentimen positif bagi pasar tidak hanya hari ini tetapi beberapa hari ke depan mengingat RI akan mulai melanjutkan program vaksinasi masal ke masyarakat setelahnya.
Sebelumnya pada Desember lalu Indonesia berhasil mengamankan sebanyak 3 juta dosis vaksin Covid-19 dari Sinovac. Kemarin ada tambahan 15 juta bahan baku vaksin tiba di Tanah Air.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi sadikin mengatakan bahwa bahan baku tersebut akan langsung diproses dalam laboratorium milik Bio Farma untuk kembali ditindaklanjuti. Bio Farma memiliki waktu sekitar satu bulan untuk memproduksi vaksin.
"Sehingga nanti di awal Februari kita sudah punya 12 juta vaksin dari 15 juta bahan baku ini," terang mantan Wakil Menteri Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) itu kepada awak media.
Sentimen vaksinasi membuat harga saham emiten farmasi nasional bergerak liar beberapa waktu belakangan ini. Bahkan saham distributor alat medis PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) sampai harus di-suspend oleh otoritas bursa.
Di sisi lain saham farmasi BUMN seperti PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma Tbk (INAF) juga mengalami kenaikan yang tajam akibat spekulasi yang terjadi di pasar. Pasalnya kedua emiten tersebut akan menjadi pihak yang digaet PT Bio Farma dalam hal pendistribusian vaksin.
Namun reli harga saham yang sudah sangat kencang memang berpotensi membuat pasar terkoreksi. Ada kemungkinan IHSG kembali mengalami volatilitas yang tinggi hari ini setelah reli kencang dalam empat hari perdagangan terakhir. Secara year to date (ytd), IHSG sudah melesat hampir 6%.
Pelaku pasar juga perlu mencermati pergerakan indeks dolar yag mulai melemah lagi. Indeks dolar sudah mulai ambrol sehingga rupiah yang tertekan juga berpotensi berbalik arah menguat.
Kenaikan yield obligasi di RI yang sudah termasuk tinggi juga berpotensi mengalami penurunan sehingga harga obligasi yang ditransaksikan di bursa domestik berpeluang menguat setelah terus-terusan terkoreksi sejak awal tahun.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data pengangguran Korea Selatan bulan Desember 2020 (06.00 WIB)
- Rilis data order peralatan mesin Jepang bulan Desember 2020 (13.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Data dan Indikator Ekonomi Makro | Satuan | Nilai |
Pertumbuhan Ekonomi Q320 | %yoy | -3.49 |
Inflasi 2020 | %yoy | 1.68 |
BI 7 Day Reverse Repo Rate November 2020 | % | 3.75 |
Surplus/Defisit Anggaran 2020 | %PDB | -6.34 |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Q320 | %PDB | 0.36 |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Q30 | US$ Miliar | 2.05 |
Cadangan Devisa November 2020 | US$ Miliar | 135.9 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Inflation is Coming, Awas IHSG, Rupiah & SBN Masih Jet Lag
