
Mohon Maaf Tahun Baru Dilarang Party, Awas IHSG Ambrol

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri masih ceria pada perdagangan awal pekan kemarin. Tetapi pada hari ini, Selasa (15/12/2020) tantangan yang dihadapi cukup berat, sentimen negatif datang dari luar dan dalam negeri.
Dari luar negeri, kota New York di Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan menerapkan "full shutdown", kemudian London-Inggris akan mengetatkan pembatasan sosial mulai Rabu malam. Dari dalam negeri, pemerintah juga melarang party tahun baru yang tentunya berisiko menekan konsumsi masyarakat, alhasil perekonomian makin sulit bangkit dari resesi.
Sentimen dari luar dan dalam negeri berisiko menekan pasar keuangan hari ini, dan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melesat 1,25% ke 6.012,516, melanjutkan reli 10 pekan beruntun. Bursa kebanggaan Tanah Air kini berada di level tertinggi sejak 6 Februari lalu.
Meski kembali menguat, tetapi investor asing masih melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 51 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 18,8 triliun.
Sementara itu nilai tukar rupiah berakhir stagnan melawan dolar AS di Rp 14.070/US$, setelah berada di zona merah sepanjang perdagangan, bahkan sempat melemah hingga 0,5%.
Rupiah hingga saat ini masih kesulitan untuk mendekati level psikologis Rp 14.000/US$. Jika melihat ke belakang, kinerja rupiah terbilang impresif, dalam 11 pekan terakhir, hanya 2 pekan lalu yang melemah, sekali stagnan, dan sisanya menguat.
Selama periode tersebut, rupiah membukukan penguatan 5,22%. Terlihat cukup impresif, tetapi jika dilihat sejak awal tahun atau secara year-to-date (YtD) rupiah tercatat masih melemah 1,37% YtD.
Dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 2,2 basis poin (bps) ke 6,160%, dan berada di level terendah sejak Januari 2018.
Untuk diketahui pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat yield turun harga naik, begitu juga sebaliknya.
Pada Jumat (11/12/2020) malam waktu AS, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Durg Administration/FDA) menyetujui penggunaan darurat vaksin Pfizer dan BionTech.
"Otorisasi FDA untuk penggunaan darurat vaksin Covid-19 pertama merupakan tonggak penting dalam memerangi pandemi dahsyat yang telah mempengaruhi begitu banyak keluarga di AS dan di seluruh dunia," kata komisaris FDA Stephen Hahn dikutip Guardian pada Jumat (11/12/2020).
AS mengikuti negara lain, termasuk Inggris, Kanada, dan Meksiko, yang juga telah mengesahkan vaksin Pfizer-BioNTech untuk penggunaan publik yang lebih luas.
Pemerintah AS berencana untuk mendistribusikan 2,9 juta dosis dalam tempo 24 jam, dan 2,9 juta dosis 21 hari kemudian untuk suntikan kedua.
Vaksinansi besar-besaran pertama dilakukan pada Senin pagi waktu setempat. Dengan vaksinasi tersebut, diharapkan hidup perlahan normal kembali, roda bisnis kembali berputar, dan perekonomian Paman Sam bisa bangkit kembali.
Alhasil, sentimen pelaku pasar membaik, dan kembali masuk aset-aset berisiko.
Bursa saham AS (Wall Street) berakhir variatif pada perdagangan Senin waktu setempat, meski vaksinasi masal sudah mulai dilakukan di Negeri Paman Sam. Kemungkinan diterapkannya "full shutdown" atau penutupan penuh di kota New York, menjadi pemicu melemahnya Wall Street.
Indeks Dow Jones di awal perdagangan menguat lebih dari 200 poin hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa. Tetapi kemudian berbalik melemah 184 poin atau 0,62% ke 29.861,55. Indeks S&P 500 juga turun 0,44% ke 3.647,39. Sementara itu, indeks Nasdaq menguat 0,5% ke 12.440,04.
Walikota New York, Bill De Blasio Senin kemarin mengatakan kemungkinan akan dilakukan "full shutdown" untuk meredam penyebaran Covid-19. Padahal, New York menjadi kota pertama yang dilakukan vaksinasi.
"Kami melihat infeksi virus corona yang sangat cepat, dan tidak pernah terjadi sejak bulan Mei. Kami harus menghentikan laju penyebaran tersebut, atau kapasitas rumah sakit kita akan penuh," kata de Blasio sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (14/12/2020).
Di luar AS pemerintah Jerman juga memutuskan untuk menerapkan partial lockdown alias penguncian wilayah sebagian mulai Rabu (16/12/2020) mendatang. Keputusan itu diambil untuk menekan laju penyebaran virus corona yang melonjak lagi belakangan ini.
Seperti dikutip AFP, Minggu (13/12/2020), partial lockdown akan berlaku hingga 10 Januari 2020.
Kemudian dari Inggris, pengetatan pembatasan sosial juga akan dilakukan di London mulai Rabu tengah malam.
"Ini adalah kebijakan yang melukai pertumbuhan ekonomi global. Pertanyaannya sekarang adalah, berapa negara yang akan menerapkan kebijakan lockdown," kata Quincy Krosby, kepala strategi pasar di Prudential Financial, sebagaimana dikutip CNBC International.
Kemungkinan "full shutdown" yang akan dilakukan di New York, pengetatan pembatasan sosial di London, begitu juga di Jerman tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia, begitu juga di Indonesia pada perdagangan hari ini.
Kebijakan yang diambil tersebut kini membayangi euforia vaksinasi masal yang mulai dilakukan di AS, indeks Dow Jones dan S&P 500 sudah merasakan "sengatannya".
Apalagi, ada risiko semakin banyak negara yang akan mengetatkan kebijakan pembatasan sosial.
Dari Asia, Jepang juga mencatatkan rekor dalam penambahan kasus harian Covid-19 dengan kali pertamanya kasus infeksi virus Corona di negara ini melampaui 3.000 kasus pada Sabtu (12/12/2020).
Berdasarkan laporan NHK, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (13/12/2020), peningkatan kasus Covid-19 di Jepang ini dipicu dari mulai masuknya musim dingin. Pada Sabtu waktu setempat, berdasarkan laporan NHK, tambahan kasus harian mencapai 3.041.
Korea Selatan juga mencatatkan rekor tambahan kasus baru Covid-19 hingga mencapai 950 pada Sabtu (12/12/2020), melebihi dari puncak jumlah kasus sebelumnya pada akhir Februari yang mencapai 909, sehingga Presiden Korea Selatan Moon-Jae in pun menyebut negara dalam status "darurat" menghadapi gelombang ketiga Covid-19.
Sementara itu, kasus Covid-19 dari dalam negeri juga sedang tinggi-tingginya. Kemarin, jumlah kasus baru tercatat sebanyak 5.489 orang, tetapi sebelumnya dalam 5 hari beruntun selalu di atas 6.000 kasus.
Pada Kamis (3/12/2020) kasus Covid-19 mencatat rekor penambahan 8.369 kasus.
Alhasil, kasus aktif virus corona (Covid-19) terus mengalami tren kenaikan dan menciptakan rekor baru selama 14 hari beruntun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena keterbatasan jumlah rumah sakit dan tenaga kesehatan. Hingga Senin kemarin, kasus aktif Covid-19 di Indonesia mencapai 93.396 orang.
Guna meredam peningkatan kasus tersebut pemerintah memutuskan untuk melarang kerumunan dan perayaan tahun baru di tempat umum.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Koordinasi Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali secara virtual di Kantor Maritim pada Hari Senin (14-12-2020) yang dipimpin oleh Menko Marves Luhut B. Pandjaitan. Dia meminta agar implementasi pengetatan ini dapat dimulai pada tanggal 18 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021.
Dengan kebijakan larangan party saat tahun baru tersebut, tingkat konsumsi masyarakat, yang merupakan komponen utama pembentukan produk domestik bruto (PDB), berisiko tertekan di penghujung tahun ini. Alhasil, perekonomian Indonesia akan sulit bangkit dari resesi.
Hal tersebut tentunya akan memberikan sentimen negatif di pasar finansial hari ini, dan patut waspada akan terjadinya koreksi di pasar saham. Apalagi IHSG dalam 10 pekan terakhir plus Senin kemarin sudah melesat sekitar 22%, dan berada di atas level 6.000, tentunya sangat rentan akan aksi ambil untung (profit taking). Begitu juga di pasar SBN.
Rupiah yang belakangan ini masih melempem juga berpotensi kembali tertekan.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia untuk bulan November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia untuk proyeksi pertumbuhan ekspor menghasilkan median 3,29% dibandingkan November 2019 (year-on-year/YoY).
Sementara impor masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 24,14% YoY. Ini membuat neraca perdagangan diperkirakan surplus lumayan banyak yaitu US$ 2,72 miliar.
Sementara konsensus yang dihimpun Reuters menghasilkan median pertumbuhan ekspor di 2,66% YoY dan impor anjlok 25,52% YoY. Ini membuat surplus neraca perdagangan berada di US$ 2,67 miliar.
Meski surplus perdagangan November 2020 diperkirakan cukup tinggi, tetapi masih kalah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 3,61 miliar. Surplus perdagangan Oktober 2020 adalah yang tertinggi sejak akhir 2010.
Neraca dagang yang mencetak surplus beruntun memberikan 2 sentimen. Yang pertama, surplus tersebut bisa mempertahankan surplus transaksi berjalan (current account)
Setelah nyaris satu dekade lamanya, transaksi berjalan Indonesia akhirnya mencatat surplus lagi di kuartal III-2020.
"NPI mencatat surplus sebesar US$ 2,1 miliar pada triwulan III 2020, melanjutkan capaian surplus sebesar US$ 9,2 miliar pada triwulan sebelumnya. Surplus NPI yang berlanjut tersebut didukung oleh surplus transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia (BI), Jumat (20/11/2020).
Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus persis sembilan tahun lalu, yakni kuartal III-2011. Setelahnya, transaksi berjalan terus defisit sehingga kita terbiasa dengan istilah CAD (Current Account Deficit).
CAD menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan. Hal tersebut menjadi penting guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Saat nilai tukar rupiah stabil, maka investor asing akan lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri, karena risiko kerugian kurs menjadi lebih rendah.
Itu efek bagus dari surplus neraca dagang. Sementara efek buruknya, surplus terjadi akibat anjloknya impor. Anjloknya impor berarti roda perekonomian di dalam negeri masih berputar dengan lambat. Sebabnya, barang modal dan bahan baku/penolong berkontribusi sebesar 69,1% dan 18,5% dari total impor, sementara barang konsumsi sebesar 11%.
Artinya anjloknya impor yang didominasi barang modal dan bahan baku/penolong menunjukkan sektor manufaktur Indonesia "mati suri", banyak pabrik yang mengurangi hingga menghentikan aktivitas produksi.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data investasi tetap ke China (9.00 WIB)
- Rilis data produksi Industri China (9.00 WIB)
- Rilis data penjualan ritel China (9.00 WIB)
- Rilis data tingkat pengangguran China (9.00 WIB)
- Rilis data tenaga kerja Inggris (14.00 WIB)
- Rilis data manufaktur New York (20.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?