
Semesta Tak Mendukung! Naga-naganya IHSG Perlu 'Obat Merah'

Sentimen penggerak utama pasar modal dalam negeri tentu datang utamanya dari lautan merah yang tercipta di bursa Paman Sam, apalagi setelah pada perdagangan kemarin IHSG terkoreksi parah 2,96%.
Hal ini bisa menyebabkan psikologis para pelaku pasar kalah sebelum bertanding dan menyebabkan ketakutan dan aksi jual masif paling tidak pada awal perdagangan. Apalagi ditambah pasar regional Asia sepertinya juga kurang bersemangat hari ini yang ditunjukkan oleh indeks kontrak berjangka Nikkei yang sementara ambruk 1,17% serta kontrak serupa ASX Australia yang drop 1,54%.
Ketakutan kembali merebaknya Covid-19 juga muncul baik dari dalam dan luar negeri ditambah libur Natal dan Tahun Baru yang sudah semakin mendekat tentu saja memiliki kemungkinan untuk memperparah angka nCov-19.
Dari dalam dan luar negeri cukup banyak rilis data yang akan masuk radar untuk dipantau oleh para pelaku pasar pada perdagangan hari ini.
Pertama, tentunya rilis data inflasi bulan November oleh Badan Pusat Statistik (BPS), setelah pada kuartal kemarin alias tiga bulan berturut-turut selama Juli hingga September Indonesia membukukan deflasi yang menunjukkan masalah daya beli masyarakat yang kendor, akhirnya Indonesia berhasil membukukan inflasi pada bulan Oktober meski hanya sebesar 0,07%.
Pada bulan November sendiri konsensus masih meramalkan akan terjadi inflasi sebesar 0,21% yang tentu saja apabila memang terjadi akan menjadi sentimen positif bagi para pelaku pasar sebab angka ini mengindikasikan daya beli masyarakat sudah mulai kembali pulih dan menjadi inflasi tertinggi sejak Februari silam sebelum Covid-19 merebak di Tanah Air di angka 0,28%.
Selanjutnya rilis data yang tidak kalah penting yakni indeks Purchasing Managers' Index (PMI)sektor Manufaktur Nikkei bulan November. PMI biasanya menjadi cerminan aktivitas ekonomi dimana indeks ini menjadi salah satu indikator permulaan (leading indicator) yang berguna untuk meneropong arah perekonomian ke depan.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di atas 50 artinya ada ekspansi sementara di bawah 50 berarti kontraksi.
Kabar buruknya, naga-naganya PMI manufaktur Indonesia masih akan berada di level kontraksi yang terjadi sejak Februari silam sebelum Covid-19 menjadi isu ngetop di Tanah Air, tentu saja pengecualian terjadi di bulan Agustus dimana PMI manufaktur saat itu sukses mengagetkan para pelaku pasar karena berada di zona ekspansi 50,8.
PMI Manufaktur Indonesia diramalkan akan berada di angka 47,1 bahkan turun dari posisi bulan sebelumnya yakni 47,8 sehingga kecil harapan rilis PMI hari ini akan berhasil menunjukkan adanya ekspansi dan mengejutkan para pelaku pasar.
Tak hanya dari Indonesia, berbagai negara Benua Kuning dan Benua Biru juga akan merilis PMI Manufakturnya seperti, Australia, (Konsensus 56,1/ekspansi) Korea Selatan (50,9/ekspansi), Jepang (48,3/kontraksi), China (53,5/ekspansi), India (57,3/ekspansi), Spanyol (50,5/ekspansi), Italia (52/ekspansi), Perancis (49,1/kontraksi), Jerman (57,9/ekspansi), Uni-Eropa (53,6/ekspansi), Britania Raya (55,2/ekspansi), Brazil (66,9/ekspansi), Kanada (55,3/ekspansi), dan AS (58/ekspansi),
Dapat dilihat rata-rata perekonomian global yang ditunjukkan oleh sektor manufakturnya sudah berhasil berada di zona ekspansi yang menunjukkan roda perekonomian global sudah kembali berputar pasca diserang virus corona serta menunjukkan perekonomian dalam negeri masih mengalami lagging dibanding negara lain.
Jadi tidak ada yang mau nemenin Indonesia nih?
(trp/trp)