Newsletter

Berharap Ekonomi AS Tertolong? Tunggu Hasil Pilpres Dulu

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
07 October 2020 06:14
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Trump adalah politisi nekad. Ketika posisinya kian tertinggal dari penantangnya yakni mantan Wakil Presiden Joe Biden dalam beberapa polling akhir-akhir ini, ia memutuskan perang total di pemilihan presiden (pilpres), meski pertaruhannya adalah pemulihan ekonomi.

Orang nomor satu di Amerika Serikat (AS), yang juga paling banyak diserang di media massa Negara Adidaya tersebut, kembali membuat langkah mengejutkan, dengan menarik mundur pasukannya dari meja perundingan yang membahas paket stimulus.

Partai Demokrat yang beroposisi terhadap pemerintahannya mengajukan anggaran US$ 2,4 triliun untuk membantu pemulihan ekonomi AS, dan mengendorkannya menjadi US$ 2,2 triliun. Namun, Trump ngotot dengan proposal Partai Republik yang menganggarkan US$ 1,6 triliun.

Ketika pembahasan kian intens dan mengindikasikan bahwa bakal ada titik temu-jika mengacu pada pernyataan Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan Ketua DPR AS Nancy Pelosi dua hari terakhir, tiba-tiba semuanya buyar.

Trump menarik diri dan mengumumkan bahwa pembicaraan akan dilanjutkan usai pilpres, setelah "dia menang". Sikap ini mengirim pesan jelas bahwa pemulihan ekonomi AS bakal bergantung pada siapa pemenang pilpres nanti.

Keputusan itu diambil setelah Trump turut-serta dalam konferensi telepon dengan pimpinan DPR Kevin McCarthy, Mitch McConnell dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengenai kelanjutan bantuan penanganan efek pandemi terhadap perekonomian.

Bagi Trump, proposal ala Demokrat hanya menguntungkan kantong-kantong suara partai liberal tersebut, dus memperkuat Demokrat jelang pilpres. Bahkan seandainya stimulus US$ 2,2 triliun terkucur dan terbukti memperbaiki ekonomi, kredit akan jatuh ke Demokrat selaku pengusung.

Tidak heran, Trump memilih keluar. Tak ada stimulus, kecuali Demokrat tunduk pada proposal versi Partai Republik. Jika Demokrat tak mau mengalah pada sikap keras kepala Trump, maka berhentilah berharap bakal ada stimulus.

Koreksi pasar yang sudah dimulai pagi tadi di Wall Street, berpeluang berlanjut hingga pilpres. Bursa saham global, termasuk Indonesia, akan terkena riak politik yang diciptakan oleh Trump tersebut pada hari ini.

"Kini kita akan bergantung pada siapa yang menang telak dan sebesar apa stimulus yang akan kita dapatkan ketika Presiden/Kongres dikuasai Republiken atau Demokrat," tutur Dennis DeBusschere, perencana investasi Evercore ISI, sebagaimana dikutip CNBC International.

Skenario kemenangan pilpres, lanjut dia, sejauh ini condong ke Partai Demokrat, sehingga ada harapan bahwa stimulus yang masih mengawang-awang ini bakal segera cair ketika mereka memenangi pilpres nanti.

Dari dalam negeri, aksi demo di beberapa tempat yang memanas dan mogok nasional masih akan membagikan sentimen negatif bagi investor. Efek jangka panjang UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) untuk sementara tertunda oleh efek jangka pendek penolakan buruh.

Harapan pun tertuju pada Bank Indonesia (BI) untuk membagikan sentimen positif dari rilis cadangan devisa September. Sayangnya, Tradingeconomics memperkirakan angka cadangan devisa bakal di level US$ 134,1 miliar atau turun dari posisi Agustus sebesar US$ 137 miliar.

Oleh karena itu, hari ini ada baiknya berpegangan erat terlebih dahulu. Ombak masih bakal kencang.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular