Newsletter

Jaga Nafas! Inflasi Rendah, Manufaktur Masih Terkontraksi

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 September 2020 06:25
Pasar Tradisional
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia -- Pasar modal nasional berfluktuasi pada perdagangan Senin (31/8/2020) dengan penguatan rupiah, obligasi yang variatif, dan koreksi di bursa saham. Hari ini pembelian terbatas berpeluang terjadi di bursa, di tengah harapan survei manufaktur Indonesia, dan dunia, menunjukkan geliat meski deflasi masih terjadi.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan awal pekan ditutup anjlok 2,02% di level 5.238,48. Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih sebanyak Rp 64 miliar di pasar reguler, dari total nilai transaksi harian Rp 11,3 triliun.

Pelaku pasar cenderung berhati-hati di tengah kenaikan angka pasien corona dan antisipasi resesi pada kuartal II-2020. Menkopolhukam Mahfud MD dengan gamblang menyebutkan Indonesia bakal masuk ke jurang resesi ekonomi, meski tidak sampai berujung pada krisis ekonomi.

Sementara Bank Indonesia (BI) melihat ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi di kuartal III-2020. "Perkembangan terkini pada Juli dan Agustus 2020 menunjukkan penurunan ketidakpastian di pasar keuangan global tertahan," tulis BI dalam laporannya.

Di tengah situasi demikian, nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS), manakala mayoritas mata uang utama Asia mengalami pelemahan. Penguatan disinyalir terjadi di tengah masuknya investor asing memborong beberapa seri obligasi seperti yang terjadi sepekan lalu.

Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 1 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun mencatat kenaikan yield (imbal hasil), sedangkan tenor 5 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun membukukan penurunan yield. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi sedang turun. Demikian juga sebaliknya.

Kenaikan yield tertinggi dicatatkan SBN tenor 1 tahun, sebesar 5 basis poin ke 3,998%. Sebaliknya, pelemahan yield terbesar terjadi pada SBN bertenor 5 tahun sebesar 0,7 basis poin ke 5,56%. Satu basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Melansir data Refinitiv, rupiah langsung melesat 0,79% ke Rp 14.500/US$ begitu perdagangan dibuka meski akhirnya surut dengan apresiasi 0,38% di penutupan perdagangan menjadi Rp 14.560/US$.

Meski penguatan terpangkas, rupiah menjadi juara Asia. Hingga pukul 15:10 WIB, selain rupiah hanya ringgit Malaysia dan yuan China yang menguat melawan dolar AS, sedangkan sisanya berada di zona merah.

Bank Indonesia (BI) merilis uang beredar M2 pada Juli tumbuh dengan laju lebih cepat dibandingkan dengan posisi Juni, menyusul aksi beli investor asing pada bulan tersebut. Namun sepekan lalu (pekan keempat Agustus) terdapat aliran modal asing yang masuk ke pasar obligasi senilai US$ 128 juta.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup variatif pada perdagangan Senin (31/8/2020), menyusul aksi ambil untung pemodal. Indeks Dow Jones Industrial Average drop 223,82 poin (-0,8%) ke 28.430,05 dan S&P 500 melemah 0,2% ke 3.500,31.

Namun, demikian secara bulanan keduanya mencatatkan reli, masing-masing sebesar 7,6% dan 7%, atau menjadi kinerja bulanan per Agustus yang terbaik sejak tahun 1984 dan 1986.

Sementara itu, indeks Nasdaq menguat 0,7% ke 11.775,46 berkat dua saham teknologi yang melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split), yakni saham Apple dan Tesla. Keduanya ditutup meroket masing-masing sebesar 3,4% dan 12,6%.

Saham-saham perbankan berguguran seperti misalnya JPMorgan Chase, Citigroup, Bank of America dan Wells Fargo dengan koreksi masing-masing mencapai 2%. Aksi jual terjadi setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS melemah.

Pelemahan imbal hasil, yang mengindikasikan penguatan harga karena aksi beli pemodal atas aset pendapatan tetap tersebut, terjadi setelah Wakil Ketua Federal Reserve Richard Clarida menegaskan bahwa suku bunga acuan tak bakal naik hanya karena angka penangguran turun.

Namun secara teknikal, Indeks S&P 500 telah mengonfirmasi terbentuknya pasar bullish dan menguat selama 5 bulan beruntun. Menurut data Suntrust Advisory, reli demikian hanya terjadi 26 kali sejak tahun 1950. Sebanyak 96% dari itu berujung pada penguatan di akhir tahun.

"Pejabat The Fed [bank sentral AS] terus mendorong pasar saham lebih tinggi dengan berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan mendekati level nol persen untuk waktu yang sangat lama," tutur Ed Yardeni, Kepala Perencana Investasi Yardeni Research, dalam laporan riset, sebagaimana dikutip CNBC International.

Awal bulan ini, The Fed memangkas suku bunga acuan mendekati nol dan terus menggencarkan pembelian aset untuk mendorong ekonomi di tengah pandemi. Pekan lalu bank sentral merilis pendekatan kebijakan inflasi yang menunjukkan suku bunga acuan bakal ditahan lebih lama.

Sementara itu, Warren Buffett mengumumkan bahwa perusahannya yakni Berkshire Hathaway telah membeli saham hingga lebih dari 5% di lima perusahaan utama Jepang, yakni Itochu Corp., Marubeni Corp., Mitsubishi Corp., Mitsui & Co., dan Sumitomo Corp.

Kelimanya adalah perusahaan pengimpor bahan mentah dan bahan baku mulai dari makanan hingga logam dan memprosesnya menjadi produk setengah jadi untuk dipasok ke para pelaku industri dunia. Ini mengindikasikan bahwa Peramal dari Omaha itu memprediksi bahwa ekonomi global bakal segera pulih.

Selasa (1/9/2020) akan menjadi hari yang sibuk bagi investor menyusul rilis beberapa data ekonomi yang sangat relevan untuk diperhatikan, karena bakal sangat memengaruhi psikologi pasar. Konsumsi masyarakat disinyalir masih tertekan, sehingga asa optimisme hari ini bakal bertumpu pada sinyal geliat manufaktur.

Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi Agustus 2020, di mana konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median -0,01% untuk Indeks Harga Konsumen (IHK) secara bulanan (month-to-month/MtM).

Artinya, kita berpeluang melihat deflasi lagi. Ini merupakan deflasi yang kedua secara beruntun sepanjang tahun ini. setelah deflasi pertama pada Juli. Kemudian median inflasi inti tahunan berada di 2% yang bakal menjadi level inflasi inti terendah setidaknya sejak tahun 2009.

Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan terjadi deflasi. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) hingga pekan IV, MH Thamrin memperkirakan ada deflasi 0,04% MtM. Dengan demikian, inflasi tahunan menjadi 1,34% sementara inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) adalah 0,94%.

Namun, Polling Reuters berujung pada proyeksi inflasi bulanan 0,01%, dengan inflasi tahunan 1,4% dan inflasi inti 2%. Inflasi inti tersebut melemah dibandingkan dengan bulan Juli sebesar 2,07%. Inflasi inti yang tertekan mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat masih belum pulih benar.

Baik deflasi maupun inflasi tipis, keduanya sama-sama mengindikasikan bahwa kekuatan permintaan (demand side) masyarakat belum pulih, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi. Beberapa pelonggaran yang dilakukan oleh pemerintah justru berujung pada rekor temuan kasus Covid-19.

Berdasarkan data Kementerian kesehatan (Kemenkes) terdapat 2.743 kasus baru Covid-19 pada Senin, sehingga total konfirmasi kasus positif di Indonesia mencapai 174.796 orang. Tambahan angka kasus baru tersebut membuat Indonesia berada di posisi 11 dunia dari jumlah kasus baru harian yang terbanyak, menurut data Worldometers.

Sebelumnya, Indonesia berada di peringkat 12 untuk kasus baru dan kematian tambahan. Indonesia juga kini di perngkat 11 dunia untuk kematian baru akibat Covid-19, setelah mencatatkan sebanyak 74 orang meninggal kemarin.

Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan pertumbuhan ekonomi mustahil terjadi jika penanganan covid-19 belum berjalan baik sebagaimana terlihat dari penularan Covid-19 yang terus melonjak hingga menyentuh 2.000-3.000 dalam waktu 24 jam. Ini yang membuat pasar saham anjlok kemarin.

"Sadar tidak sadar, kita sedang dihukum dunia gara-gara tidak becus menangani pandemi ini," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Senin (31/8/2020). Dia memproyeksikan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 akan minus 3%, alias resesi.

Oleh karena itu, pasar akan memantau rilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) per Agustus versi Markit. Pada bulan Juli, pelaku usaha masih terindikasi memilih berhenti berekspansi, yang terlihat dari indeks PMi sebesar 46,9. Angka di bawah 50 mengindikasikan kontraksi.

Hari ini, PMI kemungkinan besar masih di bawah angka 50, mengingat impor non-migas pada Juli lmasih tertekan. Impor non-migas turun 5,7% secara bulanan dan sebesar 30,95% secara tahunan pada Juli. Mayoritas barang impor kita merupakan produk barang modal dan bahan baku yang mencapai 80% lebih dari total impor.

Oleh karenanya, kondisi ekonomi kemungkinan belum kondisif untuk mendukung reli masif. Namun jika ada kejutan tipis dari data tersebut, besar peluang akan ada aksi pembelian di tengah koreksi (buy on weakness) terhadap saham-saham unggulan.

Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini.

  • Pertumbuhan PDB Korea Selatan Q2-2020 (06:00 WIB)
  • Neraca perdagangan Korea Selatan Agustus (07:00 WIB)
  • PMI Manufaktur RI Agustus versi Markit (07:30 WIB)
  • PMI Manufaktur Korea Selatan Agustus versi Markit (07:30 WIB)
  • PMI Manufaktur Jepang Agustus versi Jibun (07:30 WIB)
  • PMI Manufaktur China Agustus versi Caixin (08:30 WIB)
  • RUPST PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat & Banten Tbk (09:00 WIB)
  • Inflasi Indonesia Agustus (11:00 WIB)
  • Kunjungan Wisata Indonesia Juli (11:30 WIB)
  • PMI Manufaktur India Agustus versi Markit (12:00 WIB)
  • PMI Manufaktur Italia, Prancis, Denmark, Uni Eropa Agustus versi Markit (14:00 WIB)
  • RUPST PT Batava Prospeerndo Trans Tbk (14:00 WIB)
  • Rilis kinerja semester 1 PT Bumi Resources Tbk (16:00 WIB)
  • PMI Manufaktur AS Agustus versi Markit (20:00 WIB)
  • PMI Manufaktur AS Agustus versi ISM (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY)

-5,32%

Inflasi (Juli 2020 YoY)

1,54%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020)

4%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Transaksi berjalan (kuartal I-2020)

-1,42% PDB

Neraca pembayaran (kuartal I-2020)

-US$ 8,54 miliar

Cadangan devisa (Juli 2020)

US$ 135,1 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Wall Street Menguat! Efek Inflasi AS Lebih Terkendali?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular