Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2020. Namun sebenarnya kalau mau menurunkan juga boleh lho...
Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan mulai menggelar RDG Agustus pada hari ini. Keputusan soal suku bunga acuan akan diumumkan besok.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 4%. Dari sembilan institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bakal turun 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
CIMB Niaga | 4 |
BNI Sekuritas | 4 |
Maybank Indonesia | 4 |
Bank Danamon | 4 |
Citi | 4 |
Bank Permata | 3.75 |
BCA | 4 |
DBS | 3.75 |
Morgan Stanley | 4 |
MEDIAN | 4 |
Sebenarnya apa pun keputusan yang diambil BI, mau menurunkan atau menahan suku bunga acuan, keduanya punya dasar yang kuat. Kalau BI memutuskan untuk tidak menurunkan suku bunga acuan, maka itu adalah hal yang masuk akan.
Mandat utama bank sentral adalah menjaga stabilitas nilai tukar mata uang. Wajar kalau MH Thamrin mungkin agak gerah dengan perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Ibu Pertiwi melemah 2,4% dalam sebulan ke belakang.
Penurunan suku bunga acuan akan ikut menarik bawah imbalan aset-aset berbasis rupiah, terutama aset berpendapatan tetap seperti obligasi. Ketika insentif untuk mengoleksi obligasi berkurang, maka investor akan cenderung menghindar.
Sekarang saja terlihat investor, terutama asing, sedang dalam tren melepas obligasi pemerintah. Per 13 Agustus, kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) tercatat Rp 942,52 triliun. Turun dibandingkan posisi akhir bulan sebelumnya yaitu Rp 945,79 triliun.
Tanpa aliran modal asing, rupiah akan kekurangan 'darah' dan bisa semakin melemah. BI tentu tidak ingin rupiah melemah, apalagi dalam laju yang cepat. Oleh karena itu, perlu ada 'pemanis' agar arus modal asing tetap masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Salah satu caranya adalah tidak membuat suku bunga lebih rendah lagi.
Di sisi lain, kalau BI menurunkan suku bunga acuan, maka keputusan itu juga dapat diterima. Ada sejumlah alasan. Pertama tentu perkembangan inflasi.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan kedua, BI memperkirakan inflasi Agustus hanya 0,01% secara bulanan (month-to-month/MtM). Ini akan membuat inflasi tahunan (year-on-year/YoY) menjadi 1,39% dan inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) belum menyentuh 1%, tepatnya 0,99%.
Dengan laju inflasi yang woles, BI mungkin tidak perlu khawatir penurunan suku bunga akan menyebabkan efek inflatoir. Jadi jika melihat data inflasi, sebenarnya ruang penurunan suku bunga masih terbuka luas.
Kedua, ada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II-2020, output ekonomi Indonesia (Produk Domestik Bruto/PDB) mengalami kontraksi alias pertumbuhan negatif sebesar -5,32% YoY.
Risiko kontraksi ekonomi pada kuartal III-2020 masih ada. "Kuartal III kita berharap growth minimal 0% atau positif 0,5%. Namun memang probabilitas negatif masih ada, karena penurunan sektor tidak bisa secara cepat pulih," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.
Andai ekonomi nasional kembali terkontraksi pada April-Juli, maka Indonesia resmi masuk ke zona resesi. Definisi resesi secara umum adalah kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun.
Oleh karena itu, dibutuhkan segala daya dan upaya agar Indonesia bisa menghindari jurang resesi. Pemerintah melalui instrumen fiskal sudah menganggarkan dana ratusan triliun rupiah untuk merangsang sektor riil, baik rumah tangga maupun dunia usaha.
BI tentu diharapkan ikut turun ke 'lantai dansa'. Caranya adalah dengan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan, yang diharapkan bisa memangkas suku bunga kredit perbankan sehingga memancing minat dunia usaha dan rumah tangga untuk berekspansi.
Ketiga, bisa jadi penurunan suku bunga acuan tidak akan banyak berdampak terhadap stabilitas rupiah. Walau ada kemungkinan arus modal asing berkurang, tetapi devisa yang 'terbakar' akibat kegiatan impor sekarang lebih sedikit seiring permintaan yang masih lemah.
Pada Juni, impor masih terkontraksi -6,36% YoY. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor pada Juli anjlok lebih dalam yaitu -22,965% YoY.
Dengan impor yang begini rupa, maka defisit transaksi berjalan (current account deficit) tentu akan membaik. Jika pada 2019 defisit transaksi berjalan adalah 2,72% PDB, maka BI memperkirakan angka 2020 sekitar 1,5% PDB.
Defisit transaksi berjalan yang terkendali membuat pasokan devisa di dari ekspor-impor barang dan jasa membaik. Setidaknya 'lubang' di transaksi berjalan lebih kecil sehingga tidak membutuhkan talangan dari arus modal portofolio alias hot money yang terlalu banyak. Jadi, tetap ada ruang buat BI untuk menurunkan suku bunga acuan.
Jadi bagaimana, Pak Gubernur...?
TIM RISET CNBC INDONESIA