Polling CNBC Indonesia

BI Diramal Tahan Bunga Acuan, Tapi Kalau Mau Turun Boleh Lho

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 August 2020 06:43
Gedung Bank Indonesia
Ilustrasi Gedung BI (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Di sisi lain, kalau BI menurunkan suku bunga acuan, maka keputusan itu juga dapat diterima. Ada sejumlah alasan. Pertama tentu perkembangan inflasi.

Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan kedua, BI memperkirakan inflasi Agustus hanya 0,01% secara bulanan (month-to-month/MtM). Ini akan membuat inflasi tahunan (year-on-year/YoY) menjadi 1,39% dan inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) belum menyentuh 1%, tepatnya 0,99%.

Dengan laju inflasi yang woles, BI mungkin tidak perlu khawatir penurunan suku bunga akan menyebabkan efek inflatoir. Jadi jika melihat data inflasi, sebenarnya ruang penurunan suku bunga masih terbuka luas.

Kedua, ada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II-2020, output ekonomi Indonesia (Produk Domestik Bruto/PDB) mengalami kontraksi alias pertumbuhan negatif sebesar -5,32% YoY.

Risiko kontraksi ekonomi pada kuartal III-2020 masih ada. "Kuartal III kita berharap growth minimal 0% atau positif 0,5%. Namun memang probabilitas negatif masih ada, karena penurunan sektor tidak bisa secara cepat pulih," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.

Andai ekonomi nasional kembali terkontraksi pada April-Juli, maka Indonesia resmi masuk ke zona resesi. Definisi resesi secara umum adalah kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun.

Oleh karena itu, dibutuhkan segala daya dan upaya agar Indonesia bisa menghindari jurang resesi. Pemerintah melalui instrumen fiskal sudah menganggarkan dana ratusan triliun rupiah untuk merangsang sektor riil, baik rumah tangga maupun dunia usaha.

BI tentu diharapkan ikut turun ke 'lantai dansa'. Caranya adalah dengan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan, yang diharapkan bisa memangkas suku bunga kredit perbankan sehingga memancing minat dunia usaha dan rumah tangga untuk berekspansi.

Ketiga, bisa jadi penurunan suku bunga acuan tidak akan banyak berdampak terhadap stabilitas rupiah. Walau ada kemungkinan arus modal asing berkurang, tetapi devisa yang 'terbakar' akibat kegiatan impor sekarang lebih sedikit seiring permintaan yang masih lemah.

Pada Juni, impor masih terkontraksi -6,36% YoY. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor pada Juli anjlok lebih dalam yaitu -22,965% YoY.

Dengan impor yang begini rupa, maka defisit transaksi berjalan (current account deficit) tentu akan membaik. Jika pada 2019 defisit transaksi berjalan adalah 2,72% PDB, maka BI memperkirakan angka 2020 sekitar 1,5% PDB.

Defisit transaksi berjalan yang terkendali membuat pasokan devisa di dari ekspor-impor barang dan jasa membaik. Setidaknya 'lubang' di transaksi berjalan lebih kecil sehingga tidak membutuhkan talangan dari arus modal portofolio alias hot money yang terlalu banyak. Jadi, tetap ada ruang buat BI untuk menurunkan suku bunga acuan.

Jadi bagaimana, Pak Gubernur...?

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular