Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tipis sebesar 0,09% pada pekan lalu, membawa indeks acuan bursa nasional ini ke level 5.149,627. Sepanjang bulan Juli, IHSG tercatat menguat 4,97% alias nyaris 5% meninggalkan level psikologs 4.900 dan terbang ke level psikologis 5.100.
Pada Kamis saja, investor asing melakukan aksi beli bersih sebanyak Rp 103 miliar di pasar reguler, dari nilai transaksi bursa Rp 9,4 triliun. Sebanyak 165 saham harganya naik, 262 turun, sisanya 156 stagnan
Saham yang paling banyak dikoleksi asing adalah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan beli bersih sebesar Rp 104 miliar dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang mencatatkan net buy Rp 160 miliar.
Penguatan juga terjadi di pasar surat utang pemerintah yang terlihat dari melemahnya imbal hasil (yield) menjadi 6,825% pada akhir pekan lalu, dari 6,866% pada akhir pekan sebelumnya. Imbal hasil bergerak berlawanan arah dari harga. Koreksi imbal hasil menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat.
Dari pasar valas, rupiah juga menguat pada pekan lalu, sebesar 0,07% atau 10 poin menjadi Rp 14.530 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun sepanjang Juli, Mata Uang Garuda tercatat melemah 2,47% dari Rp 14.200 per dolar AS. Ini menempatkan rupiah sebagai mata uang degnan koreks terburuk di Asia Tenggara.
Sentimen positif pekan lalu terbantu dari beberapa kabar dari luar negeri, misalnya aktivitas manufaktur China Juli yang dilaporkan kembali berekspansi. Data Markit menunjukkan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) manufaktur China sebesar 51,1, naik dari posisi Juni sebesar 50,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi. Artinya, sektor manufaktur China sudah berekspansi 5 bulan beruntun.
Sebagai konsumen utama batu bara dan sawit dunia, China merupakan mitra dagang utama Indonesia sehingga perbaikan ekonomi Negeri Panda tersebut menjanjikan kenaikan permintaan komoditas utama nasional.
Mengabaikan resesi ekonomi, bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup di zona hijau pada perdagangan Jumat (31/7/2020) berkat lonjakan saham unggulan sektor teknologi terutama Amazon, Apple dan Facebook.
Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 114,7 poin (+0,4%) ke 26.428,32, Nasdaq melesat 157,5 poin (+1,4%) ke 10.745,27 dan S&P 500 naik 24,9 poin (+0,7%) ke 3.271,12. Sepanjang Juli, indeks S&P 500 telah naik 5,5%, sedangkan Dow Jones dan Nasdaq menguat masing-masing sebesar 2,3% dan 6,8%.
Saham Apple melesat 10,4% ke posisi tertingginya sepanjang sejarah setelah perseroan mengumumkan pemecahan nilai nominal saham (stock split) dengan rasio 4:1 yang bakal membuat harga sahamnya lebih terjangkau. Selain itu, pendapatan perseroan per kuartal I-2020 melesat 11%.
Sementara itu, saham Amazon lompat 3,7% setelah membukukan lonjakan penjualan di tengah pandemi. Sepanjang tahun berjalan, saham Amazon dan Apple meroket masing-masing sebesar 71% dan 44%. Saham Facebook juga naik, lebih dari 7%, setelah pendapatannya tumbuh 11% di tengah krisis Covid-19.
"Jelas sekali, tak ada yang meragukan perusahaan-perusahaan tersebut sehingga fakta bahwa mereka melampaui ekspektasi tidaklah mengejutkan," tutur pendiri Vital Knowledge Adam Crisafulli dalam laporan risetnya, pada Jumat.
Sebaliknya induk usaha Google, yakni Alphabet, membukukan penurunan pendapatan, sehingga sahamnya anjlok lebih dari 3%. Saham Chevron ambles 2,7% setelah raksasa minyak tersebut melaporkan kerugian sebesar US$8,3 miliar pada kuartal kedua akibat anjloknya permintaan minyak akibat pandemi.
Secara umum, investor juga masih belum yakin benar dengan prospek ekonomi AS sehingga mereka memburu emas sebagai aset mnim risiko (safe haven). Harga kontrak berjangka logam mulia tersebut menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah pada Jumat di level US$ 2.005,4 per ounce.
Hal ini terjadi setelah AS resmi mengalami resesi, dengan kontraksi produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 sebesar 32,9% atau yang terparah sepanjang sejarah AS. Di kuartal I-2020, perekonomiannya sudah minus 5%.
Konsumen pun ragu dengan arah ekonomi. Indeks konsumen versi University of Michigan juga masih tertekan, menjadi 72,5 pada Juli atau turun dari posisi Juni sebesar 78,1. Ini juga masih di bawah ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang menyebutkan angka 72,7.
Hari ini, pelaku pasar di Indonesia akan mendapati setidaknya dua rilis penting yang menjadi acuan investasi mereka meski belum bakal berujung pada lonjakan indeks saham, obligasi, maupun kurs rupiah. Perlu angin segar dari bursa global untuk membantu mengangkat indeks pasar modal nasional.
Pertama, data inflasi, yang memberi gambaran aktivitas konsumsi masyarakat sepanjang bulan lalu dan menjadi indikator ke depannya. Sebagai negara yang separuh lebih ekonominya (53%) disumbang aktivitas konsumsi, data ini menjadi sangat relevan dicermati terutama jelang rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) tengah pekan ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi pada siang nanti. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) berada di 0,065%. Sementara itu, inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 1,72% dan inflasi inti tahunan di 2,115%.
Jika ini terwujud, maka inflasi domestik mengalami perlambatan dibandingkan Juni. Kala itu, inflasi bulanan adalah 0,18%, tahunan 1,96%, dan inflasi inti tahunan 2,26%.
Di tengah lancarnya pasokan barang (tanpa kendala cuaca, faktor musiman dll), kenaikan harga tidak terjadi secara signifikan. Ini menandakan bahwa masyarakat masih menahan aktivitas belanja, atau minimal memilih konservatif, sehingga tarikan dari sisi permintaan (demand pull) tidak terlampau besar.
Sedangkan Survei Pemantauan Harga (SPH) keluaran Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Juli sebesar -0,03% MtM, alias deflasi.
Dengan demikian, inflasi tahunan lebih tipis ketimbang proyeksi pasar yaitu di 1,61%. Proyeksi BI menggambarkan inflasi tahunan terendah sejak Mei 2000.
Dari situ, bisa disimpulkan bahwa efek samping dari kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) masih terlihat dengan jelas di perekonomian. Kecil harapan kita bakal melihat pertumbuhan PDB yang mengesankan.
Data kedua adalah rilis indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) manufaktur Juli versi Markit, yang bakal menunjukkan gairah aktivitas manufaktur nasional.
Pada Juni, indeks PMI kita berada di angka 39,1 alias masih terkontraksi. Indeks PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Pada Juli, kondisi manufaktur diprediksi masih terkontraksi, tetapi dengan sedikit perbaikan. Proyeksi Trading Economis memperkirakan angka PMI manufaktur kita pada Juli akan sedikit mendingan ke level 42,3.
Kabar yang ada memang belum baik benar. Investor bakal mencermati rilis tambahan dari luar negeri yang kemungkinan bakal menyumbang oksigen segar di bursa dalam negeri, mulai dari rilis PMI sektor manufaktur di China, negara Uni Eropa, hingga AS.
Manufaktur China yang telah memasuki zona ekspansi menurut survei Markit bakal menjanjikan angin segar dengan angka PMI versi Caixin yang diprediksi berada di angka 51,3 (dari posisi Juni sebesar 51,2).
Angka PMI AS versi Markit juga diprediksi membaik dan memasuki zona ekspansi, dari posisi Juni sebesar 49,8 menjadi 51,3 pada Juli (menurut konsensus Trading Economics). Jika mengacu pada data versi ISM, angka manufaktur AS sudah aman di level 52,6 pada Juni.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Stocksplit PT Trisula Textle Industries Tbk (tentatif)
- PMI Manufaktur India per Juli versi Markit (05:00 WIB)
- PMI Manufaktur Rusia per Juli versi Markit (06:00 WIB)
- PMI Manufaktur Spanyol, Prancis, Denmark, Inggris per Juli versi Markit (08:00 WIB)
- PMI Manufaktur Indonesia per Juli versi Markit (10:00 WIB)
- PMI Manufaktur Korea Selatan per Juli versi Markit (12:30 WIB)
- PMI Manufaktur China per Juli versi Caixin (12:30 WIB)
- RUPST PT Berkah Prima Perkasa Tbk (13:00 WIB)
- RUPST PT Surya Toto Indonesia Tbk (14:00 WIB)
- RUPST PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (14:00 WIB)
- RUPST PT Tanah Laut Tbk (14:00 WIB)
- Inflasi Indonesia (14:00 WIB)
- PMI Manufaktur Amerika Serikat per Juli versi ISM (14:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Juni 2020 YoY) | 1,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2020) | US$ 131,72 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA