
Awas Sesak Nafas, Perdagangan Hari Ini Butuh Oksigen Banyak

Hari ini, pelaku pasar di Indonesia akan mendapati setidaknya dua rilis penting yang menjadi acuan investasi mereka meski belum bakal berujung pada lonjakan indeks saham, obligasi, maupun kurs rupiah. Perlu angin segar dari bursa global untuk membantu mengangkat indeks pasar modal nasional.
Pertama, data inflasi, yang memberi gambaran aktivitas konsumsi masyarakat sepanjang bulan lalu dan menjadi indikator ke depannya. Sebagai negara yang separuh lebih ekonominya (53%) disumbang aktivitas konsumsi, data ini menjadi sangat relevan dicermati terutama jelang rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) tengah pekan ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi pada siang nanti. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) berada di 0,065%. Sementara itu, inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 1,72% dan inflasi inti tahunan di 2,115%.
Jika ini terwujud, maka inflasi domestik mengalami perlambatan dibandingkan Juni. Kala itu, inflasi bulanan adalah 0,18%, tahunan 1,96%, dan inflasi inti tahunan 2,26%.
Di tengah lancarnya pasokan barang (tanpa kendala cuaca, faktor musiman dll), kenaikan harga tidak terjadi secara signifikan. Ini menandakan bahwa masyarakat masih menahan aktivitas belanja, atau minimal memilih konservatif, sehingga tarikan dari sisi permintaan (demand pull) tidak terlampau besar.
Sedangkan Survei Pemantauan Harga (SPH) keluaran Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Juli sebesar -0,03% MtM, alias deflasi.
Dengan demikian, inflasi tahunan lebih tipis ketimbang proyeksi pasar yaitu di 1,61%. Proyeksi BI menggambarkan inflasi tahunan terendah sejak Mei 2000.
Dari situ, bisa disimpulkan bahwa efek samping dari kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) masih terlihat dengan jelas di perekonomian. Kecil harapan kita bakal melihat pertumbuhan PDB yang mengesankan.
Data kedua adalah rilis indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) manufaktur Juli versi Markit, yang bakal menunjukkan gairah aktivitas manufaktur nasional.
Pada Juni, indeks PMI kita berada di angka 39,1 alias masih terkontraksi. Indeks PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Pada Juli, kondisi manufaktur diprediksi masih terkontraksi, tetapi dengan sedikit perbaikan. Proyeksi Trading Economis memperkirakan angka PMI manufaktur kita pada Juli akan sedikit mendingan ke level 42,3.
Kabar yang ada memang belum baik benar. Investor bakal mencermati rilis tambahan dari luar negeri yang kemungkinan bakal menyumbang oksigen segar di bursa dalam negeri, mulai dari rilis PMI sektor manufaktur di China, negara Uni Eropa, hingga AS.
Manufaktur China yang telah memasuki zona ekspansi menurut survei Markit bakal menjanjikan angin segar dengan angka PMI versi Caixin yang diprediksi berada di angka 51,3 (dari posisi Juni sebesar 51,2).
Angka PMI AS versi Markit juga diprediksi membaik dan memasuki zona ekspansi, dari posisi Juni sebesar 49,8 menjadi 51,3 pada Juli (menurut konsensus Trading Economics). Jika mengacu pada data versi ISM, angka manufaktur AS sudah aman di level 52,6 pada Juni.
(ags)