
Jangan Takut Resesi! Amerika Serikat Saja Pernah 33 Kali...
![[THUMB] Resesi](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/06/23/dalam-resesi-1_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri menghijau pada perdagangan Kamis kemarin, China mengirim kabar gembira dengan kebangkitan ekonominya. Sementara dari dalam negeri Bank Indonesia (BI) memutuskan kembali memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate.
Tetapi, terselip kabar kurang sedap, Bank Dunia (World Bank) memprediksi perekonomian Indonesia tidak tumbuh alias 0% di tahun ini. Bahkan ada kemungkinan mengalami resesi.
Tetapi jangan takut, dalam siklus ekonomi resesi sebenarnya adalah hal yang biasa. Negara Adikuasa sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah puluhan kali mengalami resesi.
Yang berbeda, kali ini resesi berisiko terjadi dimana-mana, secara global, akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Tapi sekali lagi, jangan takut! China sudah menunjukkan bisa segera bangkit dari keterpurukan.
Isu resesi dan kebangkitan ekonomi China masih akan mempengaruhi pasar keuangan Indonesia hari ini, Jumat (17/7/2020), begitu juga dengan perkembangan terbaru vaksin virus corona serta sinyal suku bunga dari BI yang akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 0,44% ke 5.098,374. Yang lebih menggembirakan lagi investor asing akhirnya melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 184,49 miliar di pasar reguler.
Sementara jika digabungkan dengan pasar non-reguler net buy tercatat sebesar Rp 123,76 miliar. Total nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia sebesar Rp 6,9 triliun.
Saham yang paling banyak dikoleksi asing hari ini adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan beli bersih sebesar Rp 71 miliar dan PT Astra Internasional Tbk (ASII) yang mencatatkan net buy sebesar Rp 201 miliar.
Sementara saham yang paling banyak dilego asing hari ini adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan jual bersih sebesar Rp 25 miliar dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang mencatatkan net sell sebesar Rp 41 miliar.
Dari pasar obligasi, harga Surat Utang Negara (SUN) juga menguat yang terlihat dari penurunan imbal hasil (yield). Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harganya, saat harga naik yield bergerak turun, dan sebaliknya. Yield SUN tenor 10 tahun kemarin turun 1,3 basis poin (bps) menjadi 7,053%.
Rupiah kemarin mengalami pergerakan yang fluktuatif, menguat di awal perdagangan sebelum merosot hingga ke Rp 14.620/US$. Tetapi di akhir perdagangan berhasil menguat tipis 0,1% ke Rp 14.560/US$.
Tepat saat perdagangan Indonesia dibuka, Pemerintah China melaporkan data produk domestic bruto (PDB) kuartal II-2020, yang tumbuh 3,2%. Data tersebut resmi menandai kebangkitan ekonomi China setelah mengalami kontraksi alias minus terburuk sepanjang sejarah di kuartal I-2020.
Sementara itu, dari dalam negeri, BI mengumumkan memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4%. Tetapi ada indikasi jika BI tidak akan memangkas suku bunga lagi, sehingga rupiah yang sebelumnya melemah berbalik menguat.
Bursa saham AS (Wall Street) berakhir merah pada perdagangan Kamis kemarin, indeks Dow Jones akhirnya melemah setelah mencatat penguatan 4 hari beruntun. Serombongan data ekonomi serta laporan earning korporasi menjadi penggerak Wall Street.
Indeks Dow Jones melemah 0,5% ke 26.734,71, S&P 500 minus 0,34% ke 3.215,57, dan Nasdaq -0,73% ke 10.473, 83.
Data yang dirilis kemarin sebenarnya cukup apik, Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan Juni naik 7,5% month-on-month (MoM). Meski jauh lebih rendah dari kenaikan bulan sebelumnya 17,7% MoM, tetapi masih lebih tinggi dari hasil polling Reuters sebesar 5% MoM.
Sementara itu penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif naik 7,3% MoM dari sebelumnya yang melesat 12,4% MoM, juga lebih tinggi dari polling Reuters 5% MoM.
Kenaikan tajam di bulan Mei terbilang wajar, sebabnya pada bulan-bulan sebelumnya penjualan ritel minus akibat kebijakan social distancing serta lockdown yang membuat roda bisnis melambat signifikan bahkan mati suri. Sehingga ketika social distancing dilonggarkan dan lockdown dihentikan, penjualan ritel langsung melesat.
Selain data penjualan ritel yang pertumbuhannya cukup apik, aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia juga menunjukkan ekspansi 2 bulan beruntun. Data yang dirilis The Fed Philadelphia menunjukkan indeks aktivitas manufaktur sebesar 24,1, lebih tinggi dari hasil polling Reuters sebesar 20, meski melambat dari bulan sebelumnya 27,5.
Indeks manufaktur dari The Fed Philadelphia menggunakan angka 0 sebagai ambang batas, angka positif berarti ekspansi sementara negatif berarti kontraksi.
Hanya 1 data yang sedikit mengecewakan yakni klaim awal tunjangan pengangguran yang bertambang sebanyak 1,3 juta orang, lebih banyak dari polling Reuters 1,25 juta orang.
Dari sisi korporasi, Johnson & Johnson dan Morgan Stanley melaporkan earning yang lebih tinggi dari prediksi Wall Street. Saham keduanya menguat 0,7% dan 2,5%.
Sementara itu Bank of America juga melaporkan earning yang lebih bagus dari prediksi Wall Street, tetapi sahamnya malah melemah 2%.
Saham-saham raksasa teknologi juga berguguran kemarin, Microsoft dan Apple melemah lebih dari 1% sementara Amazon minus 0,3%.
Isu resesi masih terus menghantui pasar keuangan dalam negeri. Kemarin, Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery atau jalan jalan menuju pemulihan.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (AS) itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.
"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan ekonomi April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%.
Sementara PDB kuartal III-2020 diramal di kisaran -1% sampai 1,2%. Itu artinya memang ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti.
Tetapi sekali lagi jangan takut resesi. Untuk diketahui Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau minus dalam 2 kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika PDB minus 2 kuartal beruntun secara kuartalan atau quarter-to-quarter (QtQ) disebut sebagai resesi teknikal.
Negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah mengalami puluhan kali resesi. Melansir Investopedia, AS sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami 4 kali resesi, termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008.
AS bahkan pernah mengalami yang lebih parah dari resesi, yakni Depresi Besar (Great Depression) atau resesi yang berlangsung selama 1 dekade, pada tahun 1930an. Tetapi pada akhirnya AS bisa bangkit mempertahankan statusnya sebagai negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Memang resesi memberikan dampak buruk, tetapi yang terpenting bagaimana bangkit kembali. Seperti disebutkan di halaman 1, China sudah membuktikan bisa bangkit dari keterpurukan.
China belum mengalami resesi karena kontraksi ekonomi baru terjadi di kuartal I-2020 saja. Tetapi kontraksinya sangat dalam, 6,8% YoY, terparah sepanjang sejarah. Negeri Tiongkok langsung bangkit di kuartal II-2020 dengan membukukan pertumbuhan ekonomi 3,2% YoY.
Pertumbuhan tersebut menjadi kabar bagus, sebabnya China merupakan pasar ekspor non-migas terbesar Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Juni 2020, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 12,83 miliar. Nilai ekspor tersebut mengalami kenaikan nyaris 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jika dilihat setiap bulannya, penurunan nilai ekspor hanya menurun di bulan Februari, sebesar US$ 1,87 miliar dari bulan Januari US$ 2,1 miliar. Setelahnya, nilai ekspor Indonesia ke China terus meningkat. Meski demikian, nilai ekspor di bulan Februari tersebut masih lebih tinggi ketimbang Februari tahun lalu sebesar US$ 1,54 miliar.
Kenaikan ekspor di semester I tahun ini menjadi kejutan di tengah pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global melambat. Data dari BPS tersebut menunjukkan dari 13 negara tujuan ekspor Indonesia, selain China, hanya ke Amerika Serikat, Australia, dan Italia yang mengalami peningkatan, sisanya minus.
Ahli strategi pasar global JPMorgan Asset Management, Marcella Chow dalam catatan yang dikutip CNBC International memprediksi pertumbuhan ekonomi China akan terus berlanjut. Kabar baik lagi bagi Indonesia.
"Melihat ke depan, kami memperkirakan akan melihat berlanjutnya perbaikan (ekonomi China) di kuartal-kuartal selanjutnya melihat aktivitas ekonomi domestik yang sebagian besar sudah kembali," kata Chow.
"Bersama dengan peningkatan belanja pemerintah di sektor infrastruktur, konsumsi bisa jadi pendorong pertumbuhan ekonomi baru. Saat ini rumah tangga di China memiliki deposit di bank sebagai antisipasi selama masa pandemi yang menyebabkan pelambatan ekonomi, pemulihan konsumsi yang cepat kemungkinan baru akan terjadi ketika tingkat kepercayaan mereka meningkat," tambahnya.
Ketika ekonomi China terus tumbuh, maka permintaan untuk impor akan meningkat, sehingga akan menggerakkan ekonomi dalam negeri. Sehingga peluang ada peluang Indonesia akan segara bangkit dari keterpurukan.
Bank Dunia meski memprediksi PDB tahun ini 0%, tetapi pada tahun 2021 Indonesia diproyeksikan bisa membukukan pertumbuhan ekonomi 4,8% dan meningkat menjadi 6% pada 2022.
Pemerintah Singapura pada hari Selasa melaporkan perekonomian mengalami kontraksi di kuartal II-2020. Tidak tanggung-tanggung produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2020 minus 41,2% quarter-to-quarter (QtQ) setelah minus 3,3% di kuartal I-2020. Kontraksi pada periode April-Juni tersebut lebih buruk dari konsensus di Trading Economic sebesar -37,4%.
Sementara secara tahunan atau year-on-year (YoY) PDB minus 12,6%, juga lebih buruk dari konsensus minus 10,5% YoY. Tidak hanya lebih buruk dari konsensus, PDB tersebut juga terburuk sepanjang sejarah Negeri Merlion. Di kuartal I-2020, PDB mengalami kontraksi tipis -0,3% YoY.
Sehingga, Singapura sah mengalami resesi. Terakhir kali Singapura mengalami resesi pada tahun 2008 saat krisis finansial global.
Namun, pada periode yang sama Indeks Strait Times Singapura justru menguat nyaris 5% dan dolar Singapura menguat 2%.
Dalam kasus pandemi Covid-19, resesi di beberapa negara tak terelakkan, maklum saja kebijakan social distancing hingga lockdown membuat roda bisnis mati suri. Tetapi ketika virus corona bisa dikendalikan, roda tersebut perlahan akan kembali berputar sehingga perekonomian akan bangkit. Apalagi jika virus corona berhasil dihilangkan, niscaya pertumbuhan ekonomi akan kembali melesat.
Sehingga tidak perlu takut menghadapi resesi, yang perlu ditakuti adalah penyebaran virus corona yang tidak terkendali. Banyak perusahaan sedang berlomba membuat vaksin virus corona, dan di pekan ini banyak kabar menggembirakan.
Terbaru vaksin perusahaan buatan Swedia-Inggris AstraZeneca dan Universitas Oxford yang disebut AZD1222 telah memasuki tahap uji coba manusia Fase III. Uji coba skala besar itu telah dilakukan untuk menilai apakah vaksin dapat melindungi dari Covid-19, dan hasilnya akan dipublikasikan pada 20 Juli.
Sementara dari dalam negeri, PT Bio Farma akan segera melakukan uji klinis fase tiga pada Juli 2020, setelah pengembangan vaksin Covid-19 bersama Sinovac Biotech Ltd berjalan cukup efektif dalam beberapa waktu terakhir.
Hal tersebut dikemukakan Direktur Utama Bio Farma Honseti Basyir dalam konferensi pers bersama sejumlah pemangku kepentingan terkait yang disiarkan langsung Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (16/7/2002).
"Kami berencana melakukan uji klinis tahap tiga, bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dan berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan," kata Honseti.
Jika vaksin pada akhirnya benar-benar ditemukan dan diproduksi masal, maka kebangkitan ekonomi global akan segera terjadi.
Guna memutar kembali roda perekonomian, pemerintah Indonesia sudah menggelontorkan stimulus fiskal, sementara Bank Indonesia (BI) dengan stimiulus moneternya.
Kemarin, BI memangkas lagi suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%, sesuai dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Youtube Resmi Bank Indonesia, Kamis (16/7/2020).
"Keputusan ini juga mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas nilai tukar," kata Perry.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga BI sebelumnya membuat rupiah tertekan. Kemarin rupiah merosot 1,39%.
Penurunan suku bunga dapat membantu perekonomian berputar lebih cepat dan segera bangkit dari kemerosotan akibat pandemi (Covid-19). Hal ini tentunya memberikan efek positif ke IHSG.
Di sisi lain saat suku bunga dipangkas, yield Surat Berharga Negara (SBN) tentunya juga akan menurun. Apalagi sepanjang tahun ini BI sudah memangkas suku bunga sebesar 100 bps. Dengan inflasi yang rendah, 1,96% YoY di bulan Juni, pasar melihat adanya peluang BI kembali memangkas suku bunga di sisa tahun ini, belum lagi jika melihat defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang berpeluang membaik setelah necara dagang mencatat surplus di bulan Mei dan Juni.
Jika suku bunga kembali diturunkan, daya tarik investasi menjadi menurun, aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, pasokan valas berkurang dan rupiah pun kehabisan "bensin".
Tetapi kemarin Gubernur Perry saat ditanya peluang suku bunga kembali diturunkan memberikan pernyataan berbeda. Pada RDG bulan lalu, Perry mengatakan masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga, tetapi kali ini ia menyebut tergantung dari data-data ekonomi.
"Bagaimana kebijakan suku bunga ke depan, akan kita lihat bagaimana pola pemulihan ekonomi dan dampaknya ke inflasi. Masa-masa pandemi Covid-19 kita harus sering cermati data terbaru untuk merespon suku bunga" kata perry.
Selain itu, Perry menekankan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuiditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.
Pernyataan tersebut memberikan gambaran BI mungkin tidak akan menurunkan suku bunga lagi di tahun ini. Rupiah pun berpeluang kembali melanjutkan penguatan.
Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini.
- Neraca Dagang Singapura (7:30 WIB)
- Inflasi Final Zona Euro (16:00 WIB)
- Sentimen Konsumen AS (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Juni 2020 YoY) | 1,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020) | 4,00% |
Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020) | -5,07% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (Kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Cadangan devisa (Juni 2020) | US$ 131,72 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Resesi Ancam Raksasa Ekonomi, Pasar Keuangan RI Apa Kabar?
