China "Buang Dolar", Investor Malah "Buang Rupiah", Kenapa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 July 2020 12:34
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tajam 1,39% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.575/US$ pada perdagangan Rabu kemarin. Rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 14.600/US$ untuk pertama kalinya sejak 29 Mei.

Sementara pada hari ini, Kamis (16/7/2020), rupiah di awal perdagangan menguat 0,51% di Rp 14.500/US$. Tetapi penguatan tersebut terpangkas bahkan berbalik melemah 0,17% menyentuh kembali level Rp 14.600/US$ pada pukul 11:00 WIB, berdasarkan data Refinitiv. 

Pada pekan lalu, rupiah berhasil mencetak penguatan 4 hari beruntun, sebelum terkoreksi pada Jumat (10/7/2020). Sejak saat itu, rupiah kesulitan untuk menguat, bahkan merosot tajam kemarin.

Ternyata, salah satu penyebab rupiah merosot adalah investor yang melakukan aksi "buang rupiah". Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan investor kini mengambil posisi jual (short) rupiah.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei yang dirilis pada Kamis (9/7/2020), menunjukkan angka 0,26 artinya investor kini mengambil posisi short rupiah, padahal 2 pekan sebelumnya masih mengambil posisi long, dengan angka survei -0,05 (kolom merah).

Ini merupakan kali pertama investor mengambil posisi jual rupiah pertengahan Mei.

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Kini investor kembali melakukan aksi "buang rupiah" tersebut, meski angka survei masih 0,26, belum terlalu besar, tetapi sudah bisa menjadi warning

Menurut survei tersebut, investor melakukan aksi "buang rupiah" akibat Bank Indonesia yang diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate

Survei lainnya dari Reuters menunjukkan 14 dari 26 ekonom memprediksi BI akan memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4%. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga menghasilkan median BI memangkas suku bunga menjadi 4%.

Penurunan suku bunga dapat membantu perekonomian berputar lebih cepat dan segera bangkit dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Sehingga saat BI memangkas suku bunga, rupiah cenderung menguat. 

Tetapi kali ini tidak seperti biasanya, peluang pemangkasan suku bunga oleh BI direspon negatif oleh pasar. Sebabnya, saat suku bunga dipangkas, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tentunya juga akan menurun. Sehingga daya tarik investasi menjadi menurun, aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, rupiah pun kehabisan "bensin".

Saat rupiah "dibuang", yuan china justru kebalikannya. Survei Reuters menunjukkan angka -0,37 dari sebelumnya 0,05. Artinya investor kini mengambil posisi beli yuan (kolom hijau).

Hal tersebut terjadi saat China melakukan aksi "buang dolar". Panas dingin hubungan China dengan Amerika Serikat membuat Pemerintah Tiongkok dikabarkan berusaha mengurangi ketergantungan dolar.

Akibatnya, isu "bunga dolar" kembali mencuat, dan China disebut berusaha menaikkan pamor yuan China sebagai mata uang internasional.

"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular