Newsletter

Ekonomi Kian Pulih, Pasar Keuangan Tanah Air Bakal Terkerek?

Haryanto, CNBC Indonesia
07 July 2020 06:02
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami awal pekan yang berat kemarin dengan penuh perjuangan kerasIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terpantau menguat tipis, sementara harga obligasi pemerintah tertekan.

Senin kemarin, IHSG naik hanya sebesar 0,30% ditutup pada level 4.988,86 setelah sempat menyentuh level psikologis 5.000. Di sesi I kinerja IHSG cukup impresif dengan harga tertinggi harian atau intraday di 5.009. Namun di sesi II, IHSG kembali mengalami tekanan dan bermain di bawah level psikologisnya sepanjang sesi.  

Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), nilai transaksi pada perdagangan kemarin mencapai Rp 6,73 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) Rp 547,38 miliar di pasar reguler dan negosiasi.

Sementara, volume transaksi tercatat 8,2 miliar unit saham dengan frekuensi sebanyak 602.330 kali transaksi.

Investor masing masih terus jual bersih (net sell) di tengah kekhawatiran kenaikan inflasi. Kekhawatiran tersebut terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "burden sharing" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.

Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.

Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.

Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

Oleh karena itu, di pasar obligasi pemerintah Indonesia pada perdagangan Senin kemarin (6/7/2020) bergerak melemah.

Data Refinitiv menunjukkan pelemahan harga surat utang negara (SUN) tercermin dari empat seri acuan (benchmark). Keempat seri tersebut adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun dan FR0080 bertenor 15 tahun dan FR0083 bertenor 20 tahun.

Seri acuan yang paling melemah kemarin adalah FR0080 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 5,10 basis poin (bps) menjadi 7,679%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.  Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Keluarnya arus modal asing di pasar saham dan SBN membuat rupiah tertekan. Mata uang Garuda mencatatkan performa yang buruk terhadap dolar AS maupun mata uang Asia lainnya sepekan kemarin. Namun di perdagangan Senin kemarin Nilai tukar Rupiah berhasil menguat tipis.

Perjalanan rupiah kemarin tidak bisa dikatakan mulus. Rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% dan sempat melemah 0,83% ke Rp 14.570/US$.

Setelah mencapai level terlemah intraday tersebut, rupiah perlahan mulai bangkit hingga akhirnya menutup perdagangan di level Rp 14.440/US$, menguat tipis 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Bahkan penguatan rupiah tertolong oleh data ISH Markit pada pekan lalu yang melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tiongkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6.

Hal tersebut mensinyalir bahwa kondisi ekonomi China masih menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sehingga memberikan harapan perekonomian global akan segera bangkit dan terhindar dari resesi, atau setidaknya tidak mengalami resesi panjang. 

Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS) yakni Wall Street, pada penutupan perdagangan Senin kemarin atau Selasa dini hari tadi waktu Indonesia terapresiasi menyusul laporan data dalam aktivitas sektor jasa AS di bulan Juni.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melonjak 456,67 poin atau 1,8% menjadi 26.287,03, Nasdaq melambung 226,02 poin atau 2,2% menjadi 10.433,65 dan S&P 500 menguat 49,71 poin atau 1,6% menjadi 3.179,72.

Saham perusahaan teknologi memimpin kenaikan dengan Apple, Amazon, Microsoft dan Google-parent Alphabet semua naik setidaknya 2%. Saham Amazon juga menembus di atas US$ 3.000 untuk pertama kalinya. Saham Netflix juga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.

Dalam tanda terbaru dari pemulihan ekonomi yang cepat, Institute for Supply Management (ISM) merilis sebuah laporan yang menunjukkan perubahan besar dalam aktivitas sektor layanan AS di bulan Juni.

ISM mengatakan indeks non-manufaktur melonjak menjadi 57,1 pada Juni dari 45,4 pada Mei, dengan angka di atas 50 menandakan peningkatan aktivitas sektor jasa. Ekonom memperkirakan indeks naik ke 50,1.

Peningkatan tajam oleh indeks non-manufaktur mencerminkan peningkatan persentase poin satu bulan terbesar sejak debutnya pada tahun 1997.

"Indeks komposit non-manufaktur menunjukkan pertumbuhan setelah dua bulan kontraksi berturut-turut," kata Anthony Nieves, Ketua Komite Survei Bisnis Non-Manufaktur ISM, dikutip dari RTTNews.

Nieves menambahkan, "Responden tetap khawatir tentang virus corona dan kerusuhan sipil namun, mereka sedikit lebih optimis tentang kondisi bisnis dan ekonomi ketika bisnis mulai dibuka kembali."

Penguatan Wall Street pada hari Senin datang bahkan ketika jumlah kasus virus corona terus melonjak secara global, meningkatkan kekhawatiran tentang ekonomi dunia dan pemulihannya dari pandemi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada hari Sabtu bahwa lebih dari 200.000 kasus virus korona telah dikonfirmasi dalam rentang 24 jam, sebuah rekor. Pada tingkat regional, lonjakan terbesar terlihat di Amerika, di mana hampir 130.000 kasus baru dikonfirmasi.

Di AS, rawat inap terkait virus corona tumbuh di lebih dari 20 negara, termasuk, Florida, Texas, Arizona dan Georgia.

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang akan mewarnai perdagangan hari ini. Pertama lonjakan bursa Wall Street di tengah laporan data yang menunjukkan pemulihan ekonomi akibat hantaman pandemi virus corona.

Institute for Supply Management (ISM) mengatakan indeks non-manufaktur melonjak menjadi 57,1 pada Juni dari 45,4 pada Mei, dengan angka di atas 50 menandakan peningkatan aktivitas sektor jasa. Ekonom memperkirakan indeks naik ke 50,1.

Hijau-nya tiga indeks utama Wall Street semoga memberikan dorongan untuk pasar saham global termasuk Indonesia masuk ke teritori positif.

Sentimen kedua, perkembangan dari pandemi virus corona itu sendiri yang masih menjadi pusat perhatian atau fokus utama investor.

Mengacu data dari Worldometers, jumlah orang terinfeksi virus corona di seluruh dunia mencapai lebih dari 11,6 juta orang, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 530 ribu orang.

Di Indonesia saat ini, jumlah kasus konfirmasi positif virus corona mencapai 64.958, sementara yang sembuh menjadi 29.919, sedangkan korban jiwa mencapai 3.241. Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor.

Selama penyebaran virus corona semakin bertambah dan tidak menunjukkan kelandaian, maka investor akan terus di hantui kekhawatiran, sehingga investor enggan untuk mengalirkan dananya ke pasar keuangan dunia termasuk Indonesia.

Ketiga,yakni rilis cadangan devisa (cadev) per Juni oleh Bank Indonesia (BI), yang kebetulan berbarengan dengan rilis data yang sama di China dan Rusia. Tradingeconomics memperkirakan cadev Indonesia bakal naik ke US$ 131,7 miliar, membaik dari posisi bulan Mei (US$ 130,5 miliar).

Perbaikan posisi cadev setelah keputusan BI memangkas suku bunga acuannya menjadi 4,25% bakal menjadi indikator bahwa tekanan terhadap aset investasi portofolio di Indonesia masih terjaga, meski spread (rentang) imbal hasil aset Indonesia kian menipis jika dibandingkan dengan aset di negara maju, terutama AS.

Pada gilirannya, pelaku pasar dunia pun berpeluang makin optimistis untuk masuk ke pasar modal Indonesia karena yakin bahwa risiko kurs bakal terminimalisir. Pada titik tertentu, jika tak ada sentimen negatif secara fundamental, maka rupiah berpeluang menguat karenanya.

 

 

Sentimen Keempat, lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyoroti industri keuangan di Tanah Air pasca terkuaknya beberapa kasus gagal bayar yang menjadi perhatian publik, akhir-akhir ini.

Dalam riset terbarunya, Fitch menyebut, risiko gagal bayar justru banyak terjadi di industri keuangan non bank (IKNB). "Kegagalan terkait tata kelola telah menghasilkan kerugian hingga USD3,5 miliar bagi investor sejak 2018," tulis Fitch.

"Serangkaian kasus gagal bayar baru-baru ini akibat kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan di Indonesia," tulis Fitch Ratings, dikutip Senin (6/7/2020).

Fitch mencatat, beberapa kasus gagal bayar datang dari industri keuangan non bank karena Fitch meyakini, industri ini tidak diatur secara ketat seperti sektor perbankan meskipun ada beberapa penguatan regulasi dan pengawasan dalam beberapa tahun terakhir.

Gagal bayar atau default korporasi bisa menjadi sinyal bagi investor untuk segera keluar dari saham tersebut. Penundaan pembayaran bahkan default tersebut menandakan semakin terpuruknya kinerja keuangan suatu perusahaan.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  •          Laporan Cadangan Devisa Indoneisa Periode Juni 2020 (10.00 WIB)
  •          Tingkat Suku Bunga RBA (11.30 WIB)

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (Juni 2020 YoY)

1,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020)

4,25%

Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020)

-5,07% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (Kuartal I-2020)

-1,42% PDB

Cadangan devisa (Mei 2020)

US$ 130,54 miliar

 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(har) Next Article Menanti Keputusan Suku Bunga BI, Pasar Rawan Terguncang?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular