
WHO Sarankan Lockdown Lagi vs Vaksin Pfizer, Mana Lebih Kuat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini sudah hampir berakhir, tetapi pasar keuangan dalam negeri masih bergerak tak kompak. Kemarin pasar finansial RI ditutup variatif, aset berupa saham dan pendapatan tetap mengalami apresiasi, sedangkan rupiah harus kembali melemah di hadapan dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terbenam di zona merah hampir di sepanjang perdagangan sebelum akhirnya reli saat injury time. IHSG akhirnya berhasil melenggang ke zona hijau dengan penguatan 0,18%.
Kendati demikian, investor asing masih melepas kepemilikan saham-sahamnya dengan membukukan aksi jual bersih sebesar Rp 377,8 miliar di seluruh pasar. Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) serta PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjadi saham yang paling banyak dilego asing.
Beralih ke pasar surat utang negara (SUN), obligasi rupiah pemerintah RI untuk tenor panjang yakni 10,15 dan 20 tahun mengalami kenaikan harga. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasilnya (yield).
Seri acuan yang paling menguat kemarin adalah FR0080 yang bertenor 15 tahun dengan penurunan yield 3,90 basis poin (bps) menjadi 7,621%. Imbal hasil yang menarik membuat instrumen pendapatan tetap yang lebih tidak berisiko ketimbang saham juga dilirik investor sehingga mendongkrak harganya.
Pasar keuangan RI mendapat kabar yang cukup baik kemarin, sehingga menjadi lebih bertenaga untuk mencatatkan apresiasi. Kabar baik datang dari rilis data ekonomi Indonesia yang mulai menunjukkan tanda bahwa roda perekonomian RI sedang bergerak menuju ke fase pemulihan.
IHS Markit mengumumkan PMI manufaktur Indonesia periode Juni 2020 berada di angka 39,1. Posisi ini menujukan adanya perbaikan dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di 28,6.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi periode Juni 2020 sebesar 0,18% secara bulanan (month-to-month/MtM). Ini membuat inflasi tahunan (year-on-year/YoY) menjadi 1,96%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median inflasi bulanan sebesar 0,025%. Sementara inflasi tahunan ada di 1,805%. Membaiknya sektor manufaktur (meski masih terkontraksi) serta inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsensus menjadi kabar baik bagi pasar keuangan.
Kabar baik lainnya juga datang dari China. Biro Statistik China (NBS) melaporkan angka PMI manufaktur China bulan Juni berada di 50,9. Angka ini jauh lebih baik dari bulan sebelumnya di 50,6 dan konsensus pasar yang memperkirakan berada di 50,4.
Data PMI manufaktur China versi Caixin juga mengkonfirmasi hal tersebut. Secara tak terduga PMI manufaktur Negeri Panda bulan Juni mengalami ekspansi tercermin dari angkanya yang berada di 51,2. Posisi ini membaik dari bulan sebelumnya 50,7 dan lebih tinggi dari konsensus pasar di 50,5.
Namun kabar baik tersebut tak membuat nilai tukar rupiah mengalami penguatan. Rupiah sah mengalami pelemahan lima hari beruntun. Kemarin di pasar spot nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi di hadapan dolar AS dengan pelemahan tipis sebesar 0,07%.
Rupiah memang sempat sangat perkasa setelah mencatatkan level terendah pada 23 Maret lalu di Rp 16.550/US$ di pasar spot. Kini rupiah mulai 'dibuang' oleh investor. Hal ini tercermin dari survei dua mingguan Reuters yang menunjukkan bahwa para pelaku pasar mulai meningkatkan posisi jual (short) terhadap rupiah.
Menurut survei tersebut, adanya risiko penyebaran pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi penyebab investor kembali melepas aset-aset negara emerging market, salah satunya Indonesia. Apalagi, menurut Reuters pelaku pasar melihat Bank Indonesia (BI) akan kembali memangkas suku bunga acuannya.
Saat BI kembali memangkas suku bunga, maka yield obligasi juga akan ikut menurun, sehingga daya tariknya akan berkurang. Aliran modal ke dalam negeri berisiko tersendat, rupiah menjadi kekurangan bahan bakar untuk kembali menguat.
Memasuki kuartal ketiga tahun 2020, indeks saham utama Negeri Paman Sam ditutup dengan apresiasi setelah mendapat kabar positif dari perkembangan terbaru vaksin Covid-19 serta ditopang oleh data ekonomi AS yang bagus.
Indeks S&P 500 ditutup menguat 0,5% dini hari tadi. Sementara indeks Nasdaq Composite yang konstituennya adalah perusahaan-perusahaan teknologi AS ditutup dengan apresiasi lebih tinggi hingga 0,95%. Namun kali ini Dow Jones Industrial Average (DJIA) harus tertinggal dengan koreksi 0,3%.
CNBC International melaporkan, kandidat vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh kerja sama perusahaan farmasi AS dan Jerman (Pfizer & BioNTech) menunjukkan hasil yang positif.
Kandidat vaksin tersebut dikabarkan mampu menghasilkan antibodi yang dapat menetralkan virus. Artinya antibodi tersebut berfungsi dengan baik untuk menonaktifkan sang virus. Jumlah antibodi yang dihasilkan oleh pasien uji coba lebih banyak 1,8 - 2,8 kali lipat dari mereka yang sudah sembuh.
Hasil studi tersebut dipublikasikan secara online. Meski belum mendapatkan review, kabar gembira ini telah membuat pasar menjadi sumringah.
"Kami didukung oleh data klinis BNT162b1, satu dari empat konstruk mRNA yang kami evaluasi secara klinis menunjukkan hasil yang positif, sebuah penemuan awal yang bagus,” kata Kathrin U. Jansen, kepala penelitian dan pengembangan vaksin di Pfizer.
Lebih lanjut perusahan tersebut juga mengatakan jika vaksin tersebut memperoleh izin dari otoritas kesehatan terkait (FDA), maka perusahaan akan membuat 100 juta dosis akhr tahun ini dan kemungkinan lebih dari 1,2 miliar dosis di akhir tahun 2021.
Kabar baik tersebut membuat harga saham Pfizer melonjak 4,6%. Sementara di saat yang sama harga saham BioNTech juga mengalami apresiasi sebesar 7%.
Apresiasi di pasar ekuitas AS juga didukung oleh rilis data ekonomi AS yang baik. ADP dan Moody's Analytic melaporkan penciptaan lapangan pekerjaan mencapai 2,37 juta pada Juni. Penciptaan lapangan kerja pada bulan Mei juga direvisi naik menjadi 3 juta.
Sementara itu, Institute for Supply Management (ISM) mengatakan aktivitas manufaktur AS tumbuh ke level tertinggi sejak April 2019, pulih dari kontraksi tajam pada Mei.
ISM mencatat angka PMI manufaktur AS bulan Juni berada di 52,6. Naik signifikan dibanding bulan Mei yang tercatat hanya 43,1. Artinya sektor manufaktur AS mengalami ekspansi pada bulan Juni.
"Ke depan, kita mungkin akan melihat peningkatan berkelanjutan pada bulan Juli," kata Thomas Simons, ekonom pasar uang di Jefferies, merespons rilisnya data manufaktur AS.
"Lonjakan baru-baru ini dalam kasus Covid di berbagai negara bagian di seluruh negara hanya baru-baru ini mengakibatkan mundurnya rencana pembukaan kembali, dan sebagian besar perubahan kebijakan tersebut telah berfokus pada pengaturan sosial daripada apa pun yang berkaitan dengan manufaktur." tambahnya.
Apresiasi yang dicatatkan Wall Street dini hari tadi yang ditopang oleh rilis data ekonomi yang baik serta perkembangan positif terkait vaksin Covid-19 memang jadi sentimen positif untuk pasar keuangan hari ini.
Namun investor juga perlu mencermati sejumlah sentimen lain seputar perkembangan terbaru pandemi Covid-19, kebijakan bank sentral, tanda-tanda pemulihan ekonomi hingga ancaman lain seperti potensi social unrest dan tensi geopolitik yang meningkat.
Jumlah penderita Covid-19 di seluruh dunia pekan ini telah tembus lebih dari 10 juta orang. Lebih dari 500 ribu nyawa manusia terenggut akibat infeksi virus ganas yang awalnya merebak di Wuhan.
AS yang menyandang predikat sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia kembali mencatatkan rekor tambahan kasus baru. Pada 1 Juli waktu setempat, AS melaporkan lebih dari 47 ribu kasus baru dan menjadi rekor tertinggi yang pernah tercatat sejak awal terjangkit wabah.
Penasihat Kesehatan Gedung Putih Dr. Anthony Fauci mengatakan bahwa kasus di AS kini sudah tidak terkontrol lagi. Lebih lanjut Fauci mengatakan bahwa pertambahan jumlah kasus lebih dari 100 ribu per hari di AS sangat mungkin terjadi.
Reuters melaporkan Texas, Arizona dan California menjadi episentrum baru penyebaran wabah. Peningkatan kasus yang signifikan ini membuat WHO menyarankan untuk menerapkan lockdown kembali bagi negara-negara dengan jumlah pertambahan kasus yang signifikan.
"Beberapa negara yang telah berhasil menekan transmisi yang sedang membuka kembali perekonomiannya, sekarang mungkin mengalami kemunduran dan mungkin harus menerapkan intervensi lagi, mungkin harus menerapkan apa yang disebut lockdown lagi," kata Dr. Maria Van Kerkhove, kepala unit penyakit baru dan zoonosi WHO, melansir CNBC International.
Lockdown sudah mulai dilakukan di Beijing dan Leicester. Jika lockdown yang masif kembali diterapkan, maka prospek ekonomi global akan semakin suram.
Pasar berpotensi kembali bergerak dengan risk off mode. Fenomena flight to cash mungkin akan lebih relevan untuk menggambarkan fenomena tersebut ketimbang flight to savety. Ini adalah risiko yang perlu dicermati secara seksama oleh investor dan pelaku pasar.
Risiko ketidakpastian yang tinggi seputar kapan wabah akan berakhir serta ancaman gelombang kedua bagi negara-negara yang berhasil menekan penyebaran virus juga disorot oleh the Fed dalam minutes of meeting pertemuan FOMC 9-10 Juni lalu dini hari tadi.
Dalam rilisnya tersebut para pejabat the Fed melihat bahwa kebijakan moneter yang sangat akomodatif masih dibutuhkan untuk beberapa waktu ke depan. Kebijakan bank sentral Negeri Adidaya itu pada dasarnya sudah termasuk ultra akomodatif sejak pandemi merebak.
Kebijakan ultra longgar tersebut dimulai dari pemangkasan suku bunga oleh the Fed secara agresif. Federal Fund Rates (FFR) sudah dibabat habis mendekati nol persen. The Fed juga kembali menerapkan program pembelian aset keuangan seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset, hingga obligasi korporasi untuk mengontrol yield curve.
The Fed bahkan sampai turun langsung untuk memberikan pinjaman ke sektor riil untuk membantu UMKM AS agar bisa bertahan dari gempuran pandemi. Manuver the Fed ini dan beberapa bank sentral lainnya terutama G4 (ECB, BoE dan BoJ) yang membuat sentimen di pasar keuangan membaik.
Kemungkinan bank sentral yang masih akan menggelontorkan stimulus tentu menjadi sentimen positif untuk pasar. Namun hal yang perlu dicermati adalah bentuk manuver seperti apalagi yang akan diambil ketika the Fed sudah menjulurkan kedua tangganya untuk menjaga Wall Street dan Main Street dari kejatuhan.
Namun yang pasti, dalam risalah rapat the Fed itu disebutkan bahwa mayoritas anggota pengambil kebijakan the Fed (FOMC) mengatakan bahwa kebijakan yang diambil oleh komite harus dikomunikasikan dengan jelas terutama terkait kebijakan suku bunga hingga quantitative easing (QE).
Setelah Presiden Xi Jinping menandatangani UU keamanan nasional untuk Hong Kong, sebanyak 300 warga Hong Kong ditangkap setelah melakukan demonstrasi pada Rabu kemarin. Reuters melaporkan, dalam demo tersebut polisi Hong Kong menembakkan air dan gas air mata ke arah para demonstran.
Kerusuhan yang merebak di Hong Kong menjadi salah satu contoh social unrest setelah kisruh yang mempersoalkan kematian warga kulit hitam AS bernama George Floyd merebak di seluruh dunia.
IMF dalam laporannya mewanti-wanti bahwa kerusuhan sosial menjadi risiko lain yang berpotensi memicu volatilitas di pasar keuangan yang tinggi selain ancaman gelombang kedua wabah.
Dengan ditandatanganinya UU keamanan nasional tersebut, maka publik global terutama AS mempertanyakan status otonomi khusus Hong Kong yang selama ini dikenal menganut sistem satu negara dua sistem. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu AS untuk kembali reaktif dan tensi geopolitik antara keduanya menjadi semakin meningkat.
Namun dibalik tensi geopolitik yang meningkat, terselip kabar baik. Kenaikan harga minyak mentah lebih dari 2% pada Rabu malam seolah menjadi cerminan dari membaiknya fundamental sumber energi primer tersebut.
Relaksasi lockdown di berbagai negara, hingga mobilitas yang mulai bangkit di kota-kota besar di dunia turut mendongkrak permintaan terhadap bahan bakar. Laporan terbaru EIA menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS pekan lalu turun 7,2 juta barel. Jauh lebih besar dari perkiraan pasar yang meramal turun 710 ribu barel.
Di sisi lain upaya OPEC untuk menopang harga melalui pemangkasan output pun terlihat membuahkan hasil dan menjaga harga minyak tetap kokoh di kisaran US$ 40/barel.
Reuters melaporkan 13 negara OPEC rata-rata memasok minyak sebanyak 22 juta barel per hari (bpd) pada Juni. Pemangkasan pasokan paling banyak dilakukan oleh Arab Saudi.
Bulan lalu Arab Saudi memompa rata-rata 7,55 juta bpd minyak ke pasar. Volume ini 1 juta bpd lebih rendah dari kuota yang ditetapkan oleh OPEC . Di sisi lain komitmen Iraq dan Nigeria yang naik menjadi masing-masing 62% dan 72% turut menjadi sentimen lain yang mendongkrak harga. Kenaikan harga minyak ini diharapkan mampu membawa menjadi angin segar bagi pasar hari ini.
Sentimen memang kembali campur aduk. Secara umum investor dan pelaku pasar perlu memperhatikan beberapa sentimen utama berikut :
1. Perkembangan positif kandidat vaksin yang dikembangkan oleh Pfizer & BioNTech
2. Risalah the Fed terkait perlunya kebijakan yang sangat akomodatif di tengah ketidakpastian
3. Kerusuhan di Hong Kong yang berpotensi memicu tensi geopolitik AS-China meninggi
4. Kenaikan harga minyak mentah sebagai tanda membaiknya fundamental meski belum signifikan
Berikut sejumlah data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data inflasi Korea Selatan bulan Juni (06:00 WIB).
2. Rilis data neraca dagang Australia bulan Mei (08:30 WIB).
3. Rilis data perubahan angka pengangguran Spanyol bulan Juni (14.00 WIB)
4. Rilis data tingkat pengangguran Italia bulan Mei (15.00 WIB)
5. Rilis data tingkat pengangguran Euro Area bulan Mei (16.00 WIB)
6. Rilis data penciptaan lapangan kerja (Nonfarm Payrolls) AS bulan Juni (19.30 WIB)
7. Rilis data neraca dagang AS bulan Mei (19.30 WIB)
8. Rilis data pengangguran AS bulan Juni (19.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Juni 2020 YoY) | 1,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020) | 4,25% |
Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020) | -5,07% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2020) | US$ 130,54 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article IHSG Pecah Rekor Tembus 7400, Hari Ini Lanjut?