Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bergerak variatif kemarin. Indeks utama bursa saham RI melemah tipis cenderung flat, nilai tukar rupiah terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dan oligasir rupiah pemerintah RI menguat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tipis dengan koreksi 0,05% ke 4.901,8. IHSG masih susah untuk tembus level psikologis 5.000. Data perdagangan mencatat, asing masih melepas kepemilikannya di saham-saham RI dengan membukukan aksi jual bersih sebesar Rp 568 miliar.
Saham-saham yang paling banyak dilego asing pada perdagangan kemarin adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan net sell mencapai Rp 114 miliar dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan nilai jual bersih mencapai Rp 124 miliar.
Di awal perdagangan, IHSG dibuka anjlok. Selang tak berapa lama IHSG berhasil melenggang ke zona hijau. Namun hanya terjadi sementara dan indeks utama bursa saham domestik langsung berbalik arah. Di sesi kedua perdagangan, IHSG bergerak naik memangkas koreksinya dan ditutup mendekati level pembukaannya.
Beralih ke nilai tukar, rupiah kemarin melemah di hadapan dolar greenback. Data perdagangan intraday menunjukkan bahwa rupiah sempat melemah ke Rp 14.200/US$. Namun di akhir perdagangan pasar spot rupiah memangkas pelemahannya dan hanya terkoreksi sebesar 0,14% ke Rp 14.170/US$.
Rupiah yang sudah 'perkasa' memang rawan kehabisan tenaga alias kena koreksi karena sentimen memang lagi kurang baik. Memasuki Juni, investor mulai mengurangi posisi beli (long) terhadap rupiah jika mengacu pada survei dua mingguan yang dilakukan oleh Reuters.
Dengan koreksi sebesar 0,14% hingga penutupan perdagangan kemarin, rupiah harus kembali menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan Benua Kuning setelah pekan lalu juga menyabet gelar yang sama. Rupiah harus melemah ketika mayoritas mata uang Asia menguat terhadap dolar AS.
Di tengah merebaknya sentimen negatif, risk appetite investor memang sedang turun. Banyak yang mencari suaka. Salah satunya dengan mengalihkan asetnya ke yang lebih tidak berisiko seperti emas atau obligasi pemerintah.
Lonjakan kasus virus corona di sejumlah negara telah membuat pelaku pasar khawatir adanya pembatasan aktivitas bisnis kembali, sehingga ekonomi yang tadinya mulai berputar menjadi terhenti.
Sentimen ini membuat obligasi rupiah pemerintah RI untuk berbagai seri acuan dan tenor mengalami kenaikan harga yang tercermin dari penurunan imbal hasilnya. Seri acuan yang paling menguat hari ini adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 3,60 basis poin (bps) menjadi 6,586%.
Di sisi lain, apa yang membuat pasar menjadi kurang kondusif adalah ramalan Dana Moneter Internasional (IMF) soal ekonomi dan pasar keuangan. Baru-baru ini IMF merilis laporan proyeksi ekonomi global untuk 2020.
Dalam laporan tersebut proyeksi ekonomi RI yang pada April lalu diperkirakan masih bakal tumbuh 1,5% dipangkas 1,8 poin persentase oleh lembaga keuangan global tersebut. IMF 'meramal' ekonomi RI bakal terkontraksi -0,3% tahun ini.
IMF juga mengeluarkan laporan yang bertajuk Global Financial Stability Report. Isinya IMF memperingatkan bahwa pasar keuangan dan ekonomi saat ini mengalami diskoneksi, sehingga reli di pasar terutama ekuitas yang terjadi akhir-akhir ini sangat rawan akan koreksi.
IMF menilai langkah bank sentral global yang sangat agresif untuk menyelamatkan perekonomian dari kejatuhan melalui pemangkasan suku bunga hingga pelonggaran kuantitatif, harapan pembukaan kembali ekonomi hingga stimulus fiskal membuat pasar jadi sumringah.
Namun lembaga keuangan yang bermarkas di Washington DC itu juga memperingatkan bahwa investor tampaknya terlalu optimis untuk saat ini.
Usai terkoreksi pada akhir pekan lalu, dini hari tadi tiga indeks saham utama Negeri Paman Sam berhasil melenggang ke zona hijau. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 579 poin atau 2,3%. Pada saat bersamaan S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing menguat 1,5% dan 1,2%.
Saham-saham yang berkontribusi terhadap terangkatnya indeks utama Wall Street adalah saham Boeing yang naik lebih dari 14% dalam sehari setelah terdengar kabar bahwa tes terhadap Boeing 737 yang sempat mengalami kecelakaan di Ethiopia dan Indonesia akan dilakukan mulai Senin ini dan dalam waktu tiga hari ke depan.
Harga saham Apple juga melonjak pada perdagangan dini hari tadi dengan apresiasi 2,3%. Sementara itu saham Facebook yang sempat terkoreksi akhirnya juga melenggang ke zona hijau dengan kenaikan sebesar 2,1%.
Perusahaan media sosial sekaligus raksasa teknologi Paman Sam tersebut sempat mendapat tekanan ketika banyak perusahaan seperti Coca Cola, Starbukcs, hingga Guinness mengatakan akan menghentikan kampanye dan iklan di media sosial. Maklum, lebih dari 90% pendapatan perusahaan besutan Mark Zuckerberg ini berasal dari iklan.
Investor dan trader masih memilih saham-saham yang diuntungkan dari pembukaan kembali ekonomi meski beberapa zona merah Covid-19 di Amerika Serikat (AS) kembali muncul.
CNBC International melaporkan saham Southwest Airlines melonjak 9,6% setelah Goldman Sachs menaikkan ratingnya dari sell menjadi buy. Saham-saham sektor ritel juga mendapat berkah, Gap dan Kohler masing-masing terapresiasi sebesar 3,7% dan 10,1%.
Mengacu pada data kompilasi real time John Hopkins University CSSE, jumlah orang yang positif terjangkit Covid-19 di Negeri Adidaya sudah tembus 2,5 juta orang dengan total kematian mencapai lebih dari 125 ribu orang.
"Data statistik [infeksi] virus corona di AS memburuk dalam sepekan terakhir...Namun para trader kembali tak menghiraukan sentimen negatif ini" kata Erik Bregar, kepala Strategi FX di Exchange Bank of Canada dalam sebuah catatan.
Beberapa analis seperti seperti Tom Lee dari Fundstrat Global Advisors, mengatakan bahwa mereka merasa terhibur karena fakta bahwa percepatan jumlah infeksi belum mengarah pada peningkatan kematian yang nyata.
"Meskipun ada banyak 'berita utama' Covid-19 yang mengkhawatirkan selama akhir pekan angka 'catatan kasus' kematian harian AS yang dikaitkan dengan Covid-19 turun ke level terendah baru 253," kata Lee dalam emailnya kepada klien.
"Dan sementara banyak yang cenderung menjadi 'full blown' bearish lagi, kami pikir perbedaan dalam perawatan Covid-19 (kasus vs kematian) serta jalur yang mencerminkan [kasus] di NYC mendekati puncaknya memberi tahu kami kami mungkin [kita] dekat dengan titik dimana kasus mulai lambat," tambahnya.
Kenaikan saham-saham di Wall Street tentunya menjadi kabar baik untuk pasar saham Asia dan Indonesia yang akan buka pagi ini. Namun investor juga perlu mencermati sejumlah sentimen lain yang berpotensi menjadi penggerak pasar hari ini seperti perkembangan pandemi Covid-19, upaya bank sentral hingga berbagai rilis data ekonomi.
Dari perkembangan pandemi Covid-19 terlebih dahulu, jumlah orang yang terinfeksi virus ganas ini secara global sudah mencapai angka lebih dari 10 juta orang. Korban meninggal juga tercatat melampaui angka 500 ribu jiwa.
Lonjakan kasus yang kembali terjadi akhir-akhir ini membuat WHO berkomentar. Meski banyak negara sudah membuat kemajuan, secara global, pandemi terus merebak dengan pesat" kata Direktur Jendeal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah video konferensi.
Lebih lanjut, mantan menteri kesehatan dan mantan menteri luar negeri Ethiopia itu mengatakan bahwa intervensi yang paling penting untuk dilakukan saat ini adalah melakukan pelacakan kontak dan karantina.
"The worst is yet to come" begitu kata Tedhros. "Saya mohon maaf harus mengatakan hal tersebut, tetapi dengan kondisis seperti sekarang ini kita takut hal yang terburuk akan tejadi. Oleh sebab itu kita harus menyatukan tindakan untuk melawan virus berbahaya ini bersama-sama" ungkapnya.
Setelah berhasil menekan angka pertambahan kasus baru menjadi single digit, China kini melaporkan terjadinya lonjakan kasus baru. Beijing yang menjadi episentrumnya harus dikarantina (lockdown).
Sentimen yang kurang mengenakkan juga datag dari bank sentral AS, the Fed. Ketua the Fed Jerome Powell kembali mengatakan bahwa pemulihan ekonomi AS berada dalam ketidakpastian.
"Output dan tenaga kerja masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Jalan ke depan untuk perekonomian sangatlah tidak pasti dan akan bergantung pada seberapa sukses kita menekan [penyebaran] virus itu sendiri" kata Powell, sebagaimana diwartakan CNBC Internationl.
"Pemulihan secara total kemungkinannya kecil hingga orang-orang percaya diri untuk kembali beraktivitas" tambahnya. "Jalan ke depan juga akan bergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah di semua tingkatan untuk menyediakan kelonggaran dan bantuan selama yang dibutuhkan"
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Powell setelah terjadi lonjakan kasus terutama di beberapa negara bagian yang secara agresif melonggarkan lockdown.
"Banyak bisnis yang mulai buka kembali, perekrutan meningkat begutu juga dengan pengeluaran. Serapan tenaga kerja meningkat dan belanja masyarakat menguat signifikan di bulan Mei" lanjutnya.
"Kita telah memasuki fase baru dan telah melewatinya dengan lebih cepat dari yang diharapkan. Selagi kita menyambut bangkitnya aktivitas ekonomi kembali, hal ini juga menyisakan tantangan-tantangan baru terutama untuk memastikan bahwa virus masih tetap terkendali" pungkasnya.
Sentimen positif datang dari zona Euro. Bank sentralnya diperkirakan akan menambah paket stimulus untuk memerangi pandemi Covid-19 yang sempat membuat gaduh di pasar keuangan global.
Awal pekan ini ECB menambah dana sebesar 600 miliar euro untuk membeli aset-aset keuangan melalui Pandemic Emergency Purchase Programme (PEPP). Sehingga secara total ECB menggelontorkan uang senilai 1,35 triliun euro jika ditambah dengan nominal sebelumnya di 750 milia euro.
Namun ekonom Eropa Florian Hense memperkirakan bahwa ECB mungkin akan menambah 1 triliun euro (US$ 1,12 triliun) untuk mendukung langkah pembelian aset finansial dalam dua atau tiga tahun ke depan.
Pelaku pasar sejatinya juga melihat peluang bahwa ECB mungkin akan menyuntik uang lebih dari 500-600 miliar euro. Ada kemungkinan tambahan hingga 800 miliar euro yang membuat total alokasi untuk program PEPP ini menjadi 1,6 triliun euro.
Meski kebijakan yang diambil oleh ECB dan stimulus fiskal yang digelontorkan oleh masing-masing pemerintah anggota Uni Eropa akan memberikan dampak positif bagi inflasi, tetapi Hense yakin bahwa ini hanya masalah waktu sebelum ECB akan mengambil tindakan tambahan.
"Riset mandiri ECB pada program pembelian aset sebelumnya menunjukkan bahwa keputusan yang diambil pada Juni akan memberikan dampak kecil bagi inflasi" kata Hense.
"Proyeksi inflasi saat ini masih terlalu optimistik. Jika demikian maka ECB akan membutuhkan langkah tambahan dari yang sudah direncanakan merespons inflasi yang lemah di bulan Juni" pungkasnya.
Jika benar bahwa ECB akan menyuntikkan tambahan uang ke perekonomian Eropa lebih dari yang direncanakan, hal ini jelas akan jadi sentimen positif untuk pasar keuangan.
Di sisi lain kabar positif juga datang dari harga minyak mentah yang naik US$ 1 barel atau lebih dari 3% untuk kontrak WTI dan naik 74 sen atau 1,8% untuk acuan global Brent.
Membaiknya sentimen terhadap perekonomian di Eropa dan juga meningkatnya laba industri di China membuat harga minyak menguat dan kokoh di rentang US$ 38 - US$ 40 per barelnya.
Hari ini pasar juga akan dibanjiri dengan rilis data perekonomian global seperti angka Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur China, data pembacaan final PDB Inggris dan Perancis, data inflasi Uni Eropa hingga pengangguran di Jepang. Jika datanya lebih baik dari sebelumnya dan perkiraan maka akan menambah sentimen positif di pasar.
Pada akhirnya, kecemasan memang masih terasa di pasar. Namun untuk saat ini selagi eskalasi pandemi Covid-19 belum membuat lockdown dengan skala besar-besaran terjadi lagi maka pasar mungkin akan cenderung bergerak dengan mood cautiously optimistic.
Berikut sejumlah data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data keyakinan bisnis di Korea bulan Juni (04:00 WIB).
2. Rilis data tingkat pengangguran Jepang bulan Mei (06:30 WIB).
3. Rilis data PMI Manufaktur & Non-manufaktur China bulan Juni (08.00 WIB)
4. Rilis data pembacaan final pertumbuhan PDB Inggris Q1 2020 (13.00 WIB)
5. Rilis data pembacaan final pertumbuhan PDB Spanyol Q1 2020 (14.00 WIB)
6. Rilis data pembacaan awal inflasi Uni Eropa bulan Juni (16.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Mei 2020 YoY) | 2,19% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020) | 4,25% |
Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020) | -5,07% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2020) | US$ 130,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA