Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Rabu (17/6/20) bergerak variatif, seiring dengan bercampurnya sentimen pasar. Hari ini, semua pandangan tertuju pada Bank Indonesia (BI).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik tipis 0,03% ke 4.987,77 meski sempat mencoba menembus level psikologis 5.000. Data PT Bursa Efek Indonesia menyebutkan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 641 miliar di pasar reguler, dari total nilai transaksi bursa Rp 8,5 triliun.
Saham yang paling banyak dilepas asing adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan jual bersih Rp 153 miliar. Sebanyak 193 saham mengalami kenaikan harga, 212 saham terkoreksi, dan 177 sisanya stagnan.
Tertahannya penguatan IHSG terjadi setelah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan perekonomian global pada 2020 bakal terkontraksi lebih buruk dari perkiraan awal.
Ketegangan geopolitik juga menciutkan nyali pasar. Korea Selatan pada Rabu menyatakan takkan menerima perilaku ngawur Korea Utara (Korut). Pernyataan itu merespon keputusan Korut meledakkan kantor perwakilan kedua negara di perbatasan.
Di sisi lain, ketegangan di perbatasan India-China mengalami eskalasi drastis setelah terjadi baku tembak yang menewaskan tentara kedua belah pihak. Ini merupakan situasi tergawat di kawasan tersebut dalam 40 tahun terakhir.
Kondisi tersebut membuat rupiah melemah 0,04% di Rp 14.025/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Padahal Mata Uang Garuda sempat menguat 0,14% di Rp 14.000/US$.
Namun, harga obligasi rupiah pemerintah menguat terdorong sebagaimana tercermin dari empat seri acuan (benchmark), yakni FR0081 (bertenor 5 tahun), FR0082 (tenor 10 tahun), FR0080 (tenor 25 tahun) dan FR0083 (tenor 20 tahun).
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0081 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield 5,60 basis poin (bps) menjadi 7,184%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang, sehingga ketika harga naik maka yield turun, begitupun sebaliknya.
Indeks Dow Jones Industrial Average dan S&P 500 masuk ke zona merah untuk pertama kali dalam 4 sesi perdagangan terakhir, menyusul peringatan dini soal obat Covid-19. Dow Jones anjlok 170,37 poin, atau 0,7%, ke 26.119,61 meski di sesi pembukaan sempat menguat tipis 47 poin (+0,2%).
Di sisi lain, S&P 500 melemah 0,4% menjadi 3.113,49 sedangkan indeks Nasdaq menguat 0,15% menjadi 9.910,53.
Saham maskapai penerbangan, kapal pesiar, dan ritel yang selama ini diuntungkan dari rencana pembukaan kembali ekonomi, kali ini tertekan. Saham United Airlines dan Delta Airlines anjlok lebih dari 1,8% sedangkan American Airlines turun 0,3%.
Sebaliknya, saham teknologi menguat seperti induk Google yakni Alphabet yang tumbuh 0,4%. Saham Amazon dan Netflix naik masing-masing 1% dan 2,7%. Demikian juga Apple yang tumbuh 0,9% hingga sempat menyentuh rekor tertingginya yang baru.
Pasar memperhitungkan risiko penyebaran kembali virus corona (strain terbaru) setelah Beijing menyatakan sekolah libur menyusul kenaikan lagi jumlah penderta Covid-19. Di AS, 2,1 juta penderita Covid-19 telah teridentifikasi dengan Arizona dan Texas melaporkan kenaikan kasus.
Di tengah kondisi demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati soal informasi bahwa dexamethasone bisa menjadi penyembuh Covid-19.
Direktur Eksekutif WHO Mike Ryan mengatakan bahwa hasil uji Universitas Oxford mengenai efektivitas peyembuhan Covid-19 dengan obat tersebut merupakan temuan dari satu studi saja. "Kita harus melihat data yang riil, data yang menyeluruh," tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International.
"Kita sepertinya memasuki periode konsolidasi karena menghadapi kondisi yang secara teknikal terbilang jenuh beli," tutur Bill Northey, Direktur Senior Investasi Bank Wealth Management, seperti dikutip CNBC International.
Bursa AS dua hari terakhir menguat ditopang berita yang bernada bullish, mulai dari kenaikan historis penjualan ritel sebesar 17,7% pada Mei hingga kabar bahwa Gedung Putih menyiapkan proposal infrastrukur senilai US$ 1 triliun (setara Rp 14,1 kuadriliun).
Sepanjang tahun berjalan, indeks S&P 500 telah menguat lebih dari 40% sejak menyentuh level terendah harian pada 23 Maret.
Hari ini bakal jadi ajang penting bagi pasar dalam memandang sejauh mana Bank Indonesia (BI) bersikap agresif mengawal pertumbuhan ekonomi, yang kini masih tersandera pandemi.
Gubernur BI Perry Warjiyo memimpin Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dimulai sejak kemarin, dan hari ini akan mengumumkan nasib suku bunga acuan nasional, yakni Bi 7-Day Reverse Repo Rate.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia berujung pada ekspektasi bahwa acuan penentuan suku bunga kredit dan tabungan itu bakal berada di level 4,25%, turun 25 basis poin (bps) dari posisi sekarang.
Pasar telah dibuat menanti. Selama dua kali RDG sebelumnya, ekspektasi penurunan suku bunga acuan belum juga dipenuhi oleh bank sentral dengan mempertahankannya di level 4,5%. Jika kali ini BI mengabulkan harapan tersebut, maka suku bunga acuan nasioal ini akan menjadi yang terendah sejak tahun 2018.
Ini persoalan ruang dan waktu. Jika bicara ruang penurunan, suku bunga acuan sebenarnya sudah terbuka sejak dua bulan terakhir karena inflasi terkendali dan rentang (spread) suku bunga kita dengan suku bunga AS yang masih jauh di kisaran 4%.
Namun, waktunya belum tepat karena nilai tukar rupiah yang sempat melemah tajam pada Maret lalu hingga menyentuh level psikologis Rp 16.000/US$, atau mendekati era krismon 1998.
Di tengah kondisi demikian, tekanan tambahan atas rupiah, yang salah satunya berasal dari spread suku bunga yang menipis sehingga memantik pelarian modal (capital outflow) dalam skala sekecil apapun, harus dihindari. Artinya, momentum penurunan suku bunga belum terbuka. Waktunya belum tepat.
Namun kini, momentum tersebut terbuka sangat-sangat lebar. Selepas Maret, rupiah menguat sangat tajam, nyaris 14% terhadap hadapan dolar AS.
Kebutuhan penurunan suku bunga pun secara kasat mata kian mendesak setelah pada Selasa Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan kondisi perekonomian dunia bakal lebih buruk dari perkiraan awal.
Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath dalam blog resmi lembaga moneter internasional itu mengingatkan bahwa "Laporan Update Outlook Ekonomi Dunia yang bakal dirilis pada Juni sepertinya akan menunjukkan tingkat pertumbuhan negatif yang lebih buruk dari perkiraan sebelumnya."
Segendang sepenarian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 akan tertekan lebih dalam dari kuartal I-2020, dengan kontraksi--alias minus--3,1%.
Singkat kata, ruang penurunan suku bunga yang selama ini terbuka kini bertemu dengan momentum atau waktu yang tepat. Jika BI tak juga mengambil momentum tersebut, maka pasar akan menghukum.
Ketika ekonomi di ambang kontraksi, tapi kebijakan moneter masih kurang longgar, maka kian sedikit alasan untuk menggenggam aset investasi tatkala laba perusahaan kian tertekan akibat kelesuan ekonomi yang tak coba dibendung dari sisi moneter.
Bukan begitu, Pak Perry?
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Penjualan motor RI Mei (tentatif)
- Penentuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (07:30 WIB)
- RUPST PT Bank Bukopin Tbk (09:30 WIB)
- RUPST/RUPSLB PT Japfa Comfeed Tbk (10:00 WB)
- Penentuan suku bunga acuan Inggris (11:00 WIB)
- Klaim pengangguran AS per 13 Juni (12:30 WIB)
- Rilis inflasi Jepang Mei (11:30 WIB)
- RUPST/RUPSLB PT Communication Cable Systems Indonesia Tbk (13:30 WIB)
- RUPST PT ABM Investama Tbk (14:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Mei 2020 YoY) | 2,19% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -5,07% PDB |
Transaksi berjalan (1Q20) | -1,4% PDB |
Cadangan devisa (Mei 2020) | US$ 130,5 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA