
Newsletter
AS-China Buat Gejolak, Mungkinkah Ada Happy Weekend?
Tirta Citradi & , CNBC Indonesia
29 May 2020 05:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang berita baik yang dari dalam maupun luar negeri masih menghampiri pasar keuangan Tanah Air hingga perdagangan kemarin. Sentimen positif membantu mengerek kinerja aset-aset keuangan domestik seperti saham dan obligasi pemerintah. Sementara dari sisi nilai tukar, rupiah yang sudah sangat perkasa harus mengalami depresiasi kemarin.
Pekan ini pasar keuangan global dibombardir dengan sederet kabar menggembirakan seputar kemajuan pengembangan vaksin corona, pelonggaran lockdown dan pembukaan kembali ekonomi (reopening) serta rencana pemberian stimulus lanjutan oleh pemerintah AS dan Uni Eropa.
Wajar saja jika hal tersebut membuat sentimen terhadap risiko (risk appetite) investor membaik dan mengerek kinerja saham-saham dalam negeri. Kemarin (28/5/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 1,61%.
Nilai transaksi di bursa saham mencapai pada perdagangan Kamis kemarin mencapai Rp 12 triliun. Asing sudah mulai masuk ke pasar ekuitas RI dengan membukukan aksi beli bersih senilai Rp 436,91 miliar.
Saham-saham perbankan menjadi penggerak pasar hingga penutupan perdagangan kemarin. Melesatnya saham emiten perbankan tak terlepas dari kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kembali memberikan stimulus lanjutan untuk memberikan ruang likuiditas dan permodalan perbankan sehingga stabilitas sektor keuangan tetap terjaga di tengah pelemahan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Pasar yang merespons positif membuat saham-saham bank BUKU IV beterbangan. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memimpin dengan penguatan 6,65% disusul oleh dua bank pelat merah yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) & PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang masing-masing kapitalisasi pasarnya naik 3,8% dan 4,4%.
Beralih ke pasar surat utang negara (SUN), harga obigasi rupiah pemerintah RI untuk berbagai tenor cenderung flat. Hal ini tercermin dari imbal hasil (yield) obligasi yang tidak menunjukkan adanya pergerakan yang berarti dibanding posisi penutupan perdagangan sebelumnya. Hanya saja, obligasi rupiah pemerintah RI untuk tenor 10 tahun mengalami penurunan yield yang tipis yaitu sebesar 0,10 basis poin (bps).
Sentimen yang membaik memang membuat investor cenderung menggandrungi aset-aset berisiko seperti saham. Namun sayangnya banjir sentimen positif tersebut tak mampu mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Di pasar spot, rupiah melemah di hadapan dolar AS dengan depresiasi sebesar 0,03%.
Setidaknya berbagai kabar gembira masih membuat rupiah hanya sedikit terpeleset. Rupiah memang sudah terlanjur perkasa. Apalagi sejak menyentuh level terendahnya pada 23 Maret lalu. Kala itu rupiah dibanderol Rp 16.550/US$.
Seiring dengan berjalannya waktu dan kecemasan global mereda dan intervensi yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar, rupiah berbalik arah dan berada pada tren penguatan sejak awal April lalu.
Dalam sebulan terakhir mata uang Garuda telah menguat 4,2% dan jika ditarik lebih jauh sejak awal kuartal II-2020, rupiah sudah mengalami apresiasi sebesar 10% dan sukses melibas dolar greenback. Jadi wajar saja kalau ada investor yang mulai tergoda untuk ambil untung (profit taking) dengan penguatan yang fantastis ini.
Walau mengalami pelemahan cenderung flat, BI meyakini ruang untuk penguatan rupiah masih terbuka. Dalam pemaparan Kondisi Ekonomi Terkini kepada media melalui video konferensi kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa rupiah masih terbilang murah alias undervalued, meski sudah menguat signifikan dua bulan terakhir.
Beberapa indikator makro yang jadi patokan BI dalam memberikan outlook rupiah ke depan ada empat. Pertama adalah inflasi yang terjaga. BI yang melakukan survey pemantauan harga (SPH) memperkirakan inflasi bulan Mei ini akan rendah di angka 0,09% secara month to month dan 2,21% secara tahunan. Inflasi yang masih terjaga di kisaran 3% plus minus 1% membuat rupiah menguat.
Indikator kedua adalah defisit transaksi berjalan (CAD) yang membaik. BI mencatat CAD pada kuartal pertama tahun ini mencapai minus 1,4% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Selanjutnya Gubernur Perry menjelaskan faktor masih menariknya imbal hasil surat utang pemerintah RI masih terbilang menarik dengan imbal hasil (yield) di kisaran 7%. Hal ini membuat masuknya aliran modal asing dalam bentuk portofolio investasi ke SBN dan bisa menopang rupiah yang kecanduan 'hot money'.
BI mencatat pada minggu pertama bulan Mei terdapat inflow tipis sebesar Rp 2,97 triliun. Sementara untuk periode 18-20 Mei, ada inflow ke SBN yang nilainya mencapai Rp 6,15 triliun.
Pekan ini pasar keuangan global dibombardir dengan sederet kabar menggembirakan seputar kemajuan pengembangan vaksin corona, pelonggaran lockdown dan pembukaan kembali ekonomi (reopening) serta rencana pemberian stimulus lanjutan oleh pemerintah AS dan Uni Eropa.
Wajar saja jika hal tersebut membuat sentimen terhadap risiko (risk appetite) investor membaik dan mengerek kinerja saham-saham dalam negeri. Kemarin (28/5/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 1,61%.
Nilai transaksi di bursa saham mencapai pada perdagangan Kamis kemarin mencapai Rp 12 triliun. Asing sudah mulai masuk ke pasar ekuitas RI dengan membukukan aksi beli bersih senilai Rp 436,91 miliar.
Saham-saham perbankan menjadi penggerak pasar hingga penutupan perdagangan kemarin. Melesatnya saham emiten perbankan tak terlepas dari kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kembali memberikan stimulus lanjutan untuk memberikan ruang likuiditas dan permodalan perbankan sehingga stabilitas sektor keuangan tetap terjaga di tengah pelemahan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Pasar yang merespons positif membuat saham-saham bank BUKU IV beterbangan. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memimpin dengan penguatan 6,65% disusul oleh dua bank pelat merah yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) & PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang masing-masing kapitalisasi pasarnya naik 3,8% dan 4,4%.
Beralih ke pasar surat utang negara (SUN), harga obigasi rupiah pemerintah RI untuk berbagai tenor cenderung flat. Hal ini tercermin dari imbal hasil (yield) obligasi yang tidak menunjukkan adanya pergerakan yang berarti dibanding posisi penutupan perdagangan sebelumnya. Hanya saja, obligasi rupiah pemerintah RI untuk tenor 10 tahun mengalami penurunan yield yang tipis yaitu sebesar 0,10 basis poin (bps).
Sentimen yang membaik memang membuat investor cenderung menggandrungi aset-aset berisiko seperti saham. Namun sayangnya banjir sentimen positif tersebut tak mampu mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Di pasar spot, rupiah melemah di hadapan dolar AS dengan depresiasi sebesar 0,03%.
Setidaknya berbagai kabar gembira masih membuat rupiah hanya sedikit terpeleset. Rupiah memang sudah terlanjur perkasa. Apalagi sejak menyentuh level terendahnya pada 23 Maret lalu. Kala itu rupiah dibanderol Rp 16.550/US$.
Seiring dengan berjalannya waktu dan kecemasan global mereda dan intervensi yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar, rupiah berbalik arah dan berada pada tren penguatan sejak awal April lalu.
Dalam sebulan terakhir mata uang Garuda telah menguat 4,2% dan jika ditarik lebih jauh sejak awal kuartal II-2020, rupiah sudah mengalami apresiasi sebesar 10% dan sukses melibas dolar greenback. Jadi wajar saja kalau ada investor yang mulai tergoda untuk ambil untung (profit taking) dengan penguatan yang fantastis ini.
Walau mengalami pelemahan cenderung flat, BI meyakini ruang untuk penguatan rupiah masih terbuka. Dalam pemaparan Kondisi Ekonomi Terkini kepada media melalui video konferensi kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa rupiah masih terbilang murah alias undervalued, meski sudah menguat signifikan dua bulan terakhir.
Beberapa indikator makro yang jadi patokan BI dalam memberikan outlook rupiah ke depan ada empat. Pertama adalah inflasi yang terjaga. BI yang melakukan survey pemantauan harga (SPH) memperkirakan inflasi bulan Mei ini akan rendah di angka 0,09% secara month to month dan 2,21% secara tahunan. Inflasi yang masih terjaga di kisaran 3% plus minus 1% membuat rupiah menguat.
Indikator kedua adalah defisit transaksi berjalan (CAD) yang membaik. BI mencatat CAD pada kuartal pertama tahun ini mencapai minus 1,4% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Selanjutnya Gubernur Perry menjelaskan faktor masih menariknya imbal hasil surat utang pemerintah RI masih terbilang menarik dengan imbal hasil (yield) di kisaran 7%. Hal ini membuat masuknya aliran modal asing dalam bentuk portofolio investasi ke SBN dan bisa menopang rupiah yang kecanduan 'hot money'.
BI mencatat pada minggu pertama bulan Mei terdapat inflow tipis sebesar Rp 2,97 triliun. Sementara untuk periode 18-20 Mei, ada inflow ke SBN yang nilainya mencapai Rp 6,15 triliun.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular