
Newsletter
Pilih Gelas Setengah Kosong, Apa Setengah Penuh?
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 May 2020 06:07

Ketika sebuah situasi tak menyenangkan sedang terjadi dalam kehidupan, maka biasanya manusia akan memandang itu sebagai sebuah kenahasan atau keburukan. Tidak ada perdebatan mengenai itu. Itu adalah pola pikir empirik, yang bersifat ke belakang. Sudah terjadi, tidak bisa diubah lagi.
Namun jika kita memandang situasi tersebut, yang sama, dengan pola pikir ke depan, maka hasilnya berbeda. Ada frasa yang sudah dikenal luas mengenai hal tersebut. Diibaratkan ketika melihat sebuah gelas yang terisi air separuh dari volumenya, cara pandang kita akan berbeda ketika menjawab pertanyaan ini: Is it half full, or half empty?
Apakah mereka memandang situasi "kekurangan" tersebut sebagai sebuah kemalangan yang masih terus terjadi di masa mendatang, ataukah berbalik menjadi peluang akan adanya "tambahan" yang mengisi gelas tersebut di masa mendatang. Ini adalah pola pikir ke depan.
Pola pikir demikian akan mengisi benak pelaku pasar sepanjang pekan ini, di tengah rilis data perekonomian dari dalam dan luar negeri dengan nada yang kurang menyenangkan. Wajar saja, ketika pandemi merebak dan memukul wilayah administratif penghasil 40% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, apa yang bisa diharapkan dari data ekonomi?
Pertama untuk pekan ini, kita akan melihat rilis indeks manufaktur (Purchasing Managers' Indeks/PMI) April, versi Markit. Konsensus Tradingeconomics memperkirakan manufaktur Indonesia masih akan terkontraksi, yakni di level 45 dibandingkan dengan posisi indeks PMI Maret di level 45,3.
Korea Selatan akan merilis indeks sama yang juga diperkirakan terkontraksi, bahkan lebih parah dari Indonesia yakni di 38,4 (dari semula 44,2). Di India, data lembaga yang sama juga mengindikasikan manufaktur Negeri Bollywood tertekan hebat di level 43,4 (dari semula 51,8).
Di tengah pandemi, tak mungkinlah manufaktur berekspansi. Pasar tentu sudah mengantisipasi ini. Namun seburuk apa efeknya? Itulah yang menjadi pertanyaan pasar. Jika masih sesuai ekspektasi, maka tidak akan ada kepanikan. Mereka akan move on dengan melihat sentimen yang berorientasi ke depan.
Kedua, rilis angka inflasi April oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan membagikan kabar tak sedap. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulan lalu akan berada di 0,2% secara bulanan (month-on-month/MoM). Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 2,78% dan inflasi inti di 2,91% YoY.
Polling Refinitiv juga memperkirakan inflasi April di level 2,77% (tahunan) atau lebih rendah dari periode sebelumnya pada 2,96%. Sementara itu, inflasi bulanan di level 0,17% dari 0,1%. Inflasi inti diprediksi di 2,9% atau relatif sama dengan periode sebelumnya sebesar 2,87%.
Setelah rilis data inflasi, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data kunjungan wisatawan, yang kemungkinan juga akan anjlok melanjutkan penurunan kunjungan wisatawan di Nusantara bulan lalu sebesar -28,85%.
Lagi-lagi, ini tentu sudah diantisipasi pasar. Justru aneh jika ada yang kaget dan terkejut dengan data yang kurang positif tersebut. Pertanyaannya, apakah pasar sudah siap move on dengan data buruk tersebut, atau pilih "nangis bombay" karena pola pikir "half empty" dengan jualan saham besar-besaran?
Kabar dari luar negeri saat ini juga cenderung bernada negatif. Setelah obat Remdesivir mendapat persetujuan dari Food and Drugs Administration (FDA) untuk digunakan sebagai obat resmi melawan Covid-19, maka Negara Adidaya itu pun berencana melonggarkan karantina wilayah (lockdown) yang selama sebulan terakhir telah membekap perekonomian.
Namun sayangnya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menunjukkan bahwa AS mencatatkan tingkat kematian tertinggi dalam sehari pada Jumat, pekan lalu. Sebanyak 2.909 orang warga AS meninggal akibat pandemi "virus kelelawar" pada hari Jumat tersebut.
Ini memicu kekhawatiran bahwa pelonggaran tersebut bakal menjadi bumerang, dan kemungkinan akan ditunda. Data Worldometers menyebut angka penderita virus ini mencapai 3,56 juta orang, dengan 1,15 juta pasien sembuh dan 248.000 orang meninggal di seluruh dunia. AS di posisi puncak dengan 1,19 juta kasus dan 68.569 kematian.
“Risiko terbesar bursa saham adalah pembukaan kembali ekonomi AS secara prematur. Jika kenaikan kurva COVID-19 kembali muncul dan ekonomi ditutup kembali maka tingkat kerusakannya terhadap bursa akan dramatis,” tutur Marc Chaikin, CEO Chaikin Analytics, sebagaimana dikutip CNBC International.
Di tengah situasi demikian, pasar kemungkinan akan cenderung menunggu dan mencermati keadaan (wait and see), melihat arah pergerakan sentimen ke depan. (ags/sef)
Namun jika kita memandang situasi tersebut, yang sama, dengan pola pikir ke depan, maka hasilnya berbeda. Ada frasa yang sudah dikenal luas mengenai hal tersebut. Diibaratkan ketika melihat sebuah gelas yang terisi air separuh dari volumenya, cara pandang kita akan berbeda ketika menjawab pertanyaan ini: Is it half full, or half empty?
Apakah mereka memandang situasi "kekurangan" tersebut sebagai sebuah kemalangan yang masih terus terjadi di masa mendatang, ataukah berbalik menjadi peluang akan adanya "tambahan" yang mengisi gelas tersebut di masa mendatang. Ini adalah pola pikir ke depan.
Pola pikir demikian akan mengisi benak pelaku pasar sepanjang pekan ini, di tengah rilis data perekonomian dari dalam dan luar negeri dengan nada yang kurang menyenangkan. Wajar saja, ketika pandemi merebak dan memukul wilayah administratif penghasil 40% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, apa yang bisa diharapkan dari data ekonomi?
Pertama untuk pekan ini, kita akan melihat rilis indeks manufaktur (Purchasing Managers' Indeks/PMI) April, versi Markit. Konsensus Tradingeconomics memperkirakan manufaktur Indonesia masih akan terkontraksi, yakni di level 45 dibandingkan dengan posisi indeks PMI Maret di level 45,3.
Korea Selatan akan merilis indeks sama yang juga diperkirakan terkontraksi, bahkan lebih parah dari Indonesia yakni di 38,4 (dari semula 44,2). Di India, data lembaga yang sama juga mengindikasikan manufaktur Negeri Bollywood tertekan hebat di level 43,4 (dari semula 51,8).
Di tengah pandemi, tak mungkinlah manufaktur berekspansi. Pasar tentu sudah mengantisipasi ini. Namun seburuk apa efeknya? Itulah yang menjadi pertanyaan pasar. Jika masih sesuai ekspektasi, maka tidak akan ada kepanikan. Mereka akan move on dengan melihat sentimen yang berorientasi ke depan.
Kedua, rilis angka inflasi April oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan membagikan kabar tak sedap. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulan lalu akan berada di 0,2% secara bulanan (month-on-month/MoM). Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 2,78% dan inflasi inti di 2,91% YoY.
Polling Refinitiv juga memperkirakan inflasi April di level 2,77% (tahunan) atau lebih rendah dari periode sebelumnya pada 2,96%. Sementara itu, inflasi bulanan di level 0,17% dari 0,1%. Inflasi inti diprediksi di 2,9% atau relatif sama dengan periode sebelumnya sebesar 2,87%.
Setelah rilis data inflasi, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data kunjungan wisatawan, yang kemungkinan juga akan anjlok melanjutkan penurunan kunjungan wisatawan di Nusantara bulan lalu sebesar -28,85%.
Lagi-lagi, ini tentu sudah diantisipasi pasar. Justru aneh jika ada yang kaget dan terkejut dengan data yang kurang positif tersebut. Pertanyaannya, apakah pasar sudah siap move on dengan data buruk tersebut, atau pilih "nangis bombay" karena pola pikir "half empty" dengan jualan saham besar-besaran?
Kabar dari luar negeri saat ini juga cenderung bernada negatif. Setelah obat Remdesivir mendapat persetujuan dari Food and Drugs Administration (FDA) untuk digunakan sebagai obat resmi melawan Covid-19, maka Negara Adidaya itu pun berencana melonggarkan karantina wilayah (lockdown) yang selama sebulan terakhir telah membekap perekonomian.
Namun sayangnya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menunjukkan bahwa AS mencatatkan tingkat kematian tertinggi dalam sehari pada Jumat, pekan lalu. Sebanyak 2.909 orang warga AS meninggal akibat pandemi "virus kelelawar" pada hari Jumat tersebut.
Ini memicu kekhawatiran bahwa pelonggaran tersebut bakal menjadi bumerang, dan kemungkinan akan ditunda. Data Worldometers menyebut angka penderita virus ini mencapai 3,56 juta orang, dengan 1,15 juta pasien sembuh dan 248.000 orang meninggal di seluruh dunia. AS di posisi puncak dengan 1,19 juta kasus dan 68.569 kematian.
“Risiko terbesar bursa saham adalah pembukaan kembali ekonomi AS secara prematur. Jika kenaikan kurva COVID-19 kembali muncul dan ekonomi ditutup kembali maka tingkat kerusakannya terhadap bursa akan dramatis,” tutur Marc Chaikin, CEO Chaikin Analytics, sebagaimana dikutip CNBC International.
Di tengah situasi demikian, pasar kemungkinan akan cenderung menunggu dan mencermati keadaan (wait and see), melihat arah pergerakan sentimen ke depan. (ags/sef)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Most Popular