Newsletter

Obat Corona Gilead Sukses Diuji, Pasar Keuangan Siap Menguat!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 April 2020 06:48
Gilead
Foto: Gilead (REUTERS/Stephen Lam)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri akhirnya kompak pada perdagangan Rabu (29/4/2020) kemarin, mendapat sentimen positif dari dalam dan luar negeri membuat.

Salah satu penyebab penguatan pasar keuangan Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) yang kembali menebar optimisme. Sikap BI tersebut masih akan mempengaruhi pergerakan pasar hari ini. Selain itu obat remdesivir dari Gilead Sciences Inc. yang dikabarkan sukses mengobati Covid-19 akan membuat pasar keuangan dalam negeri bersemangat dan berpeluang kembali menguat. Obat Covid-19 tersebut akan dibahas di halaman 2 dan 3.



Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di zona hijau sejak pembukaan perdagangan, hingga penutupan. Bursa kebanggaan Tanah Air ini mengakhiri perdagangan di level 4.576,323 atau menguat 0,83%, bahkan tidak jauh dari level tertinggi intraday 4568,665.



Berdasarkan data RTI, nilai transaksi Rabu kemarin sebesar Rp 6,05 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 401,72 miliar di pasar reguler dan non-reguler.

Sementara itu, rupiah kembali mencatat penguatan setelah terkoreksi di hari Selasa (28/4/2020) lalu. Rupiah langsung menguat begitu perdagangan Rabu dibuka, suatu hal yang jarang terjadi dalam beberapa hari terakhir.

Tetapi pergerakan rupiah cukup liar, bahkan sempat melemah 0,1%. Tetapi, sekali lagi gaya khas rupiah perkasa di menit-menit akhir kembali ditunjukkan, bahkan langsung melesat 0,78% di Rp 15.260/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 18 Maret.

Penguatan rupiah terjadi merespon video conference Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, yang memaparkan Perkembangan Ekonomi Terkini.

Sejak pasar finansial bergejolak di bulan Maret, BI secara rutin memberikan update terbaru kondisi ekonomi dalam negeri. Pada pekan-pekan sebelumnya Gubernur Perry memberikan update pada hari Selasa dan Kamis pukul 14:00 WIB, tetapi memasuki bulan puasa, dilakukan seminggu sekali pada hari Rabu, dan mulai pukul 8:30 WIB.

Dalam beberapa kesempatan, rupiah selalu menguat merespon video conference tersebut, sebabnya Perry selalu menebar optimisme. Hal tersebut juga terjadi hari ini.



Pelemahan rupiah Selasa kemarin dikatakan sebagai akibat permintaan valas yang tinggi di akhir bulan, serta faktor teknikal.

Meski demikian BI masih pede rupiah akan ke Rp 15.000/US$ di akhir tahun nanti.



"Pertama, dari sisi fundamental yang Rp 15.400/US$ sekarang ini undervalue. Karena defisit transaksi berjalan lebih rendah dari yang kita perkirakan 2,5-3% PDB. Di Triwulan I-2020 di bawah 1,5% dari PDB dan di akhir tahun bisa di bawah 2% PDB," katanya.

"Sehingga kalau CAD lebih rendah maka kebutuhan devisa jauh lebih rendah dan ini mendukung penguatan nilai tukar ke arah fundamental. Selain itu faktor teknikal seperti premi risiko akan dorong lebih kuat dari Rp 15.400/US$," imbuh Perry.

Lebih jauh Perry mengatakan, ke depan arus aliran modal asing juga masih akan terus masuk pasar uang, meski saat ini sedang seret. Apalagi jika nanti pandemi COVID-19 telah mereda, sehingga masih akan terus menguat, kata Perry, ke arah Rp 15.000/US$.

"Arus modal asing Insyallah masuk. Sekarang lagi seret, kadang masuk kadang keluar. Insyallah inflow membaik di triwulan II dan IV," papar Perry.

Sementara dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 1,8 basis poin menjadi 8,077%. Ini merupakan penurunan pertama dalam 6 hari terakhir.

Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.

Seretnya arus modal asing membuat BI ikut lelang SBN yang dilakukan pemeritah Selasa lalu.

"Kemarin, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengindikasikan target dari penerbitan SBN Rp 20 triliun, bisa dinaikkan sampai Rp 40 triliun. Bid (penawaran) yang masuk adalah Rp 44,4 triliun, bid to cover ratio 2,2 kali," kata Perry.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020, BI sudah diperkenankan masuk ke pasar perdana alias lelang SBN. Sebelumnya, BI hanya bisa membeli SBN di pasar sekunder.

Perry mengungkapkan, kesepakatan BI dengan Kemenkeu adalah MH Thamrin bisa membeli maksimal 25% dari target. Dengan target indikatif yang bisa mencapai Rp 40 triliun, berarti BI bisa membeli sampai Rp 10 triliun.

"Namun kami ingin mendahulukan pelaku pasar. Kami bid Rp 7,5 triliun. Jadi kemarin Rp 44,4 triliun itu Rp 7,5 triliun dari BI," kata Perry.

Sementara itu sentimen positif dari eksternal datang dari rencana pelonggaran karantina wilayah (lockdown) di Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu harga minyak mentah yang menguat juga mengangkat risk appetite pelaku pasar. Rabu kemarin, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan di US$ 15,06/barel, melesat lebih dari 22%, sementara jenis Brent menguat lebih dari 10% di US$ 22,54/barel.

[Gambas:Video CNBC]



Bursa saham AS (Wall Street) melesat pada perdagangan Rabu (29/4/2020) merespon perkembangan positif dari obat virus corona yang diproduksi Gilead Science Inc., raksasa farmasi AS. Selain itu, Bank Sentral AS (The Fed) juga berjanji akan mempertahankan suku bunga dekat 0% selama yang diperlukan.
Indeks S&P 500 melesat 2,7% ke 2.939,51, Dow Jones menguat 2,2% ke 24.633,86, dan Nasdaq memimpin sebesar 3,6%.

Sepanjang bulan ini indeks S&P 500 sudah membukukan penguatan lebih dari 13%, dan akan menjadi bukan terbaik sejak tahun 1974. Sementara Dow Jones tercatat menguat 12,4%, dan menuju kinerja bulanan terbaik sejak 1987.

Sebelumnya pada Jumat (17/4/2020) dua pekan lalu, kabar bagus datang dari Gilead Sciences Inc., raksasa farmasi AS, yang dikatakan memiliki obat yang efektif melawan virus corona.

CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien Covid-19 yang parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.

Tetapi pekan lalu, pelaku pasar dibuat kecewa setelah Financial Times melaporkan obat dari Gilead tersebut tidak mampu memperbaiki kondisi pasien. Financial Times mengutip sebuah dokumen yang secara tidak sengaja dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dan merupakan hasil uji klinis di China, sebagaimana dilansir CNBC International.



Namun, Gilead mengatakan hasil tersebut terjadi akibat "karakteristik yang tidak sesuai" sehingga "tidak bisa disimpulkan"

"Kami menyesal WHO merilis sebuah informasi terkait penelitian secara prematur, dimana rilis tersebut kini telah dihapus. Para peneliti dalam penelitian ini tidak memiliki izin untuk mempublikasikan hasilnya" kata juru bicara Gilead, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Lebih lanjut, kami percaya rilis tersebut berisi karakteristik yang tidak sesuai dalam penelitian. Yang penting, penelitian tersebut dihentikan lebih awal karena kecilnya sampel, sehingga secara statistik tidak bisa menghasilkan kesimpulan yang berarti. Saat ini tren menunjukkan remdesevir menunjukkan potensi yang bagus, terutama jika digunakan pada pasien dengan tahap awal COVID-19" ujar juru bicara Gilead.

AS sebenarnya juga sedang menguji remdesivir tetapi hasil penelitiannya masih belum dipublikasikan. Jumat lalu, Reuters melaporkan hasil pengujian tersebut akan dirilis pada pertengahan Mei, dan kemungkinan hasil preliminary akan dikeluarkan lebih dulu.

Hasil uji coba di AS tersebut dianggap lebih reliabel dalam menarik kesimpiulan sehingga dinanti pelaku pasar.



Tahap awal uji klinis remdesivis tersebut yang dilakukan oleh National Institute of Allergy and Infectous Diseasea sudah mencapai tahap akhir, dan Gilead mengatakan ekspektasi pengobatan virus corona semakin tinggi.

Direktur National Institute of Allergy and Infectous Diseasea, Dr. Anthony Fauci, mengatakan remdesivir menunjukkan hasil yang positif yang "jelas" dalam mengobati pasien virus corona.

Gilead juga merilis hasil uji klinis sendiri yang menunjukkan peningkatan kondisi pasien positif Cobvid-19 saat menggunakan remdesivir buatannya.

"Pasar bereaksi menguat jika ada berita-berita seperti ini" kata Megan Horneman, direktur strategi portofolio di Verdence Capital Advisors, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Jika kita memiliki vaksin, saya pikir kita akan melihat pemulihan ekonomi yang berbeda. Ketika kita memiliki pengobatan, saya pikir kita akan melihat pemulihan ekonomi sedikit lebih cepat" kata Horneman.

Kabar bagus dari Gilead dan The Fed membuat pelaku pasar mengabaikan kontraksi tajam ekonomi AS di kuartal I-2020. Data yang dirilis kemarin menunjukkan perekonomian AS berkontraksi alias minus 4,8%, dan menjadi yang terdalam sejak krisis finansial 2008.

Penguatan tajam Wall Street, sebagai kiblat bursa saham dunia, tentunya mengirim hawa positif ke Asia hari ini, Kamis (30/4/2020). Apalagi penguatan tersebut ditopang tingginya harapan obat remdesivir dari Gilead.

Presiden AS, Donald Trump, pada Rabu waktu setempat mengatakan ia ingin Food and Drug Administration (FDA) bergerak secepat yang mereka bisa untuk menyetujui remdesivir Gilead digunakan sebagai pengobatan virus corona.

"Kami ingin melihat persetujuan yang cepat, khususnya dengan obat yang mampu mengobati Covid-19" kata Trump di Gedung Putih.

FDA sebelumnya juga sudah mengatakan sedang melakukan diskusi dengan Gilead untuk membuat remdesivir tersedia bagi pasien "secepat mungkin, dan setepat mungkin".

Analis kebijakan kesehatan di Raymond James, Chris Meekins, mengatakan ia berharap melihat otorisasi penggunaan darurat remdesivir Gilead. Ini akan memungkinkan obat tersebut digunakan tanpa melalui uji klinis. Biasanya pemerintah akan membantu pembuatan obat yang sudah diotorirasi jika diperlukan.

"Saya akan mengantisipasi hal itu akan dilakukan cukup cepat setelah Dr. Fauci menyerukan hal tersebut. Dan bagian kedua adalah terus melakukan uji klinis dan memperoleh lebih banyak data. Pemerintah akan melihat seberapa banyak pasokan obat yang dimiliki Gilead dan apakah ada sumber daya yang pemerintah bisa gunakan untuk membantu produksi remdesivir" kata Meekins sebagaimana dilansir CNBC International.



Sentimen positif lainnya datang dari The Fed yang berjanji mempertahankan suku bunga acuannya dekat 0% selama diperlukan. Setelah merampungkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari, The Fed menyatakan suku bunga akan tetap 0-0,25% selama diperlukan untuk mencapai full employment dan inflasi kembali ke target 2%.

"Kami tidak akan terburu-buru untuk normalisasi suku bunga dan kebijakan moneter lainnya. Kami akan menunggu sampai kami yakin perekonomian berada di jalur pemulihan yang benar" kata Ketua The Fed, Jerome Powell.

The Fed selain membabat habis suku bunya menjadi 0-0,25% di bulan Maret lalu, juga menggelontorkan stimulus senilai US$ 2,3 triliun, termasuk di dalamnya program pinjaman yang disebut Main Street senilai US$ 600 miliar untuk perusahaan dengan karyawan mencapai 10.000 orang atau maksimal penjualan 2,5 miliar di tahun 2019.

The Fed dikabarkan sudah menghubungi bank investasi dan bank umum untuk memperoleh feedback agar bias memperoleh formula yang tepat sebelum diluncurkan secara resminya. CNBC International mengutip dari sumber yang tidak ingin disebutkan namanya melaporkan program tersebut akan diluncurkan dalam beberapa pekan ke depan.


Sementara itu, bank sentral (Eropa European Central Bank/ECB) akan mengumumkan kebijakan moneter sore ini. Sebelumnya ECB sudah menggelontorkan QE senilai 750 miliar euro guna melawan pandemi COVID-19. ECB pada Rabu (22/4/2020) pekan lalu bahkan melonggarkan aturannya agar bisa membeli "junk" bond sehingga industri perbankan tetap memiliki akses likuiditas di tengah pandemi Covid-19.

ECB juga menyatakan akan menambah kebijakan jika diperlukan untuk mencegah terjadinya krisis utang di zona euro.

CNBC International melaporkan, dengan nilai QE 750 miliar euro dan dengan laju pembelian aset yang dilakukan saat ini, stimulus dari ECB tersebut diprediksi akan habis pada bulan Oktober.

Oleh karena itu, ECB dibawah pimpinan Christine Lagarde di prediksi bisa saja menerapkan kebijakan "helikopter uang".

Istilah tersebut yang diperkenalkan oleh ekonom Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut pelonggaran moneter yang tak biasa, dimana bank sentral mencetak uang dan diberikan langsung ke masyarakat.

Kebijakan yang mirip dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tetapi dilakukan oleh bank sentral dan dengan mencetak uang. Tujuannya, agar belanja konsumen meningkat, dan pemulihan ekonomi dari resesi menjadi lebih cepat.

Lagarde mengatakan sejauh ini ECB tidak pernah membahas mengenai "helikoper uang", oleh karena itu ECB belum mengambil sikap resmi terkait hal tersebut.

John Wraith, kepala strategi suku bunga di UBS mengatakan jika QE yang dilakukan ECB dalam 6 sampai 12 bulan ke depan menunjukkan memberikan dampak yang tidak signifikan maka kebijakan "helikopter uang" kemungkinan akan diterapkan.



CNBC Internasional melaporkan, Gubernur Bank Sentral Prancis, François Villeroy de Galhau, di awal bulan ini mengatakan jika ada risiko besar kepada stabilitas harga (inflasi), yang menjadi mandat utama EC, maka "helikopter uang" dapat diberikan ke perusahaan, mendunkung dunia usaha ketimbang memberikan langsung ke masyarakat.

Analis lainnya mengatakan ketimbang menerapkan kebijakan "helikopter uang", ECB dikatakan sebaiknya menerapkan suku bunga negatif pada program pinjaman jangka panjang melalui program (Targeted Longer-Term Refinancing Operations/TLTRO) yang dimiliki ECB.

dengan TLTRO negatif, artinya ECB memberikan pinjaman ke bank umum untuk disalurkan, plus bank tersebut diberikan uang. Tetapi bank sentral tersebut harus menyalurkan kredit ke masyarakat dengan suku bunga 0%.

"Contoh ekstrim dari ini, misalnya TLTRO tenor 10 tahun dengan suku bunga -1%, uang akan diberikan ke bank dengan syarat mereka memberikan pinjaman ke nasabahnya dengan suku bunga 0%" kata Ducrozet dari Pictet Wealth Management, sebagaimana dilansir CNBC International.

Dengan kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi mampu terdorong sekaligus dapat menjawab kritik independensi bank sentral jika menerapkan kebijakan "helikopter uang", dimana kemungkinan ada campur tangan pemerintah dalam penentuan siapa saja yang layak mendapatkan bantuan.

Spekulasi-spekulasi yang berhembus terkait gelontoran stimulus dari bank sentral membuat pelaku pasar bersemangat, dan mulai masuk kembali ke aset-aset berisiko yang bisa membuat IHSG, rupiah, maupun obligasi kembali menguat.

Selain itu, data purchasing managers' index (PMI) manufaktur China bisa mempengaruhi sengtimen pasar pagi ini. Data tersebut akan menggambarkan sebesar jauh ekspansi sektor manufaktur Negeri Tiongkok setelah sukses meredam pandemi Covid-19. Semakin tinggi ekspansi, tentunya akan menunjukkan pemulihan ekonomi V-shape, atau merosot tajam akibat Covid-19, tetapi langsung melesat tinggi begitu virus tersebut berhasil dihentikan penyebarannya. 

Selain itu ada juga rilis data pertumbuhan ekonomi dari negara-negara Eropa, tetapi seperti rilis data pertumbuhan ekonomi AS, data tersebut juga akan kurang berpengaruh terhadap peregerakan pasar. Para investor sudah maklum jika perekonomian mengalami kontraksi, yang terpenting adalah bagaimana bisa segera bangkit. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini

  • PMI Manufaktur & Non-Manufaktur China (8:00 WIB)
  • PDB Prancis (12:30 WIB)
  • PDB Spanyol (14:00 WIB)
  • PDB Zona Euro (16:00)
  • Pengumuman Kebijakan Moneter ECB (18:45 WIB)
  • Klaim Pengangguran AS (19:30 WIB) 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN-P 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Maret 2020)

US$ 120,97 miliar


(pap/sef) Next Article Hari Penentuan! BI Umumkan Keputusan Genting Hari Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular