
Newsletter
2020 Jaman Edan, Harga Minyak Bisa Minus, Semua Gegara...
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
21 April 2020 06:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri kemarin ditutup tak kompak. Bursa saham RI labil parah, sementara pasar SUN dan nilai tukar rupiah cenderung menguat. Sentimen seputar perkembangan wabah corona (COVID-19) masih akan menjadi penggerak pasar pekan ini.
Mengawali perdagangan awal pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak dengan fluktuasi tinggi. Sempat menguat di perdagangan sesi I, IHSG berbalik arah dan melemah 1,27% pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (20/4/2020).
Investor asing masih membukukan aksi jual bersih sebesar Rp 573 miliar dan menggenapkan aksi net sell sejak awal tahun sebesar Rp 15,43 triliun.
Beralih ke pasar surat utang, harga SUN justru mengalami kenaikan. Hal ini tercermin dari penurunan yield-nya. Surat utang pemerintah Indonesia untuk berbagai tenor mengalami penurunan yield pada perdagangan kemarin. Untuk surat utang pemerintah RI bertenor 10 tahun yield-nya turun 95 basis poin (bps) ke 7,852%.
Sudah mulai ada inflows memang. Hal ini dibenarkan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Pada periode 14-16 April saja, BI mencatat ada aliran dana masuk sebesar Rp 2,9 triliun dan sebagian besar masuk ke SBN.
Rupiah yang sangat bergantung pada uang panas alias hot money pun dapat sentimen positif dan menguat. Nilai tukar rupiah menguat 0,16% dan ditutup di Rp 15.375/US$ pada penutupan perdagangan spot Senin (20/4/2020).
Dengan penguatan tersebut, rupiah kian dekat dengan level psikologis Rp 15.000/US$. Sejauh ini BI melihat nilai tukar rupiah sedang diobral murah (undervalued) dan potensi penguatan menuju Rp 15.000/US$ masih ada.
Pergerakan pasar finansial dalam negeri kemarin tak terlepas dari banjir sentimen berupa rilis data ekonomi dan kebijakan berbagai negara di dunia.
Di pagi hari, tersiar kabar buruk dari Jepang. Mengacu pada data Trading Economics, ekspor Jepang bulan Maret terkontraksi 11,7% (yoy) sementara impornya ambles 5% (yoy).
Jatuhnya ekspor bulan Maret Negeri Sakura dipicu oleh pelemahan permintaan yang terjadi di tengah pandemi COVID-19. Sentimen negatif ini memicu bursa saham Jepang mengalami koreksi dengan indeks Nikkei225 turun 1,15%.
Beralih ke China, bank sentral China (People Bank of China/PBoC) mengumumkan pemangkasan suku bunga acuan kredit untuk tenor 1 dan 5 tahun masing-masing sebesar 20 dan 10 basis poin.
Ini merupakan kali kedua bank sentral China memangkas suku bunga acuannya sebagai bentuk respons menstimulasi ekonomi China yang terkontraksi 6,8% (yoy) pada kuartal pertama. Kebijakan ini direspons positif oleh pasar saham domestik China yang terindikasi dari apresiasi indeks Shang Hai Composite sebesar 0,5%.
Sementara dari dalam negeri, kemarin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada kuartal pertama 2020 tumbuh 8% (yoy). Namun untuk realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) justru mengalami kontraksi sebesar 9,2% (yoy) dan 7% (qoq). Ini menjadi sentimen negatif yang memberatkan pasar keuangan Tanah Air, terutama IHSG.
Sebenarnya rilis data perekonomian buruk yang terjadi sudah diantisipasi oleh pelaku pasar (priced in). Tinggal realitanya lebih buruk, sama atau lebih baik. Akibatnya, pasar terutama pasar saham RI menjadi labil pada perdagangan intraday akibat banjir sentimen campur aduk ini.
Sentimen yang silih berganti ini tak terlepas dari ulah pandemi COVID-19 yang merajai dunia dan seisinya. Musuh tak kasat mata ini jadi pemicu utama gejolak di pasar dan kekhawatiran terjadinya resesi global saat ini.
Masalah lain yang dihadapi sehingga memicu banjir sentimen campur aduk ini adalah fase pandemi di tiap negara yang berbeda-beda. Ada yang sudah melaporkan berhasil melewati puncak wabah (China), ada yang menuju ke puncak (AS, Italia dan Jerman ) ada yang baru menanjak (Asia Tenggara).
Mengawali perdagangan awal pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak dengan fluktuasi tinggi. Sempat menguat di perdagangan sesi I, IHSG berbalik arah dan melemah 1,27% pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (20/4/2020).
Investor asing masih membukukan aksi jual bersih sebesar Rp 573 miliar dan menggenapkan aksi net sell sejak awal tahun sebesar Rp 15,43 triliun.
Beralih ke pasar surat utang, harga SUN justru mengalami kenaikan. Hal ini tercermin dari penurunan yield-nya. Surat utang pemerintah Indonesia untuk berbagai tenor mengalami penurunan yield pada perdagangan kemarin. Untuk surat utang pemerintah RI bertenor 10 tahun yield-nya turun 95 basis poin (bps) ke 7,852%.
Sudah mulai ada inflows memang. Hal ini dibenarkan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Pada periode 14-16 April saja, BI mencatat ada aliran dana masuk sebesar Rp 2,9 triliun dan sebagian besar masuk ke SBN.
Rupiah yang sangat bergantung pada uang panas alias hot money pun dapat sentimen positif dan menguat. Nilai tukar rupiah menguat 0,16% dan ditutup di Rp 15.375/US$ pada penutupan perdagangan spot Senin (20/4/2020).
Dengan penguatan tersebut, rupiah kian dekat dengan level psikologis Rp 15.000/US$. Sejauh ini BI melihat nilai tukar rupiah sedang diobral murah (undervalued) dan potensi penguatan menuju Rp 15.000/US$ masih ada.
Pergerakan pasar finansial dalam negeri kemarin tak terlepas dari banjir sentimen berupa rilis data ekonomi dan kebijakan berbagai negara di dunia.
Di pagi hari, tersiar kabar buruk dari Jepang. Mengacu pada data Trading Economics, ekspor Jepang bulan Maret terkontraksi 11,7% (yoy) sementara impornya ambles 5% (yoy).
Jatuhnya ekspor bulan Maret Negeri Sakura dipicu oleh pelemahan permintaan yang terjadi di tengah pandemi COVID-19. Sentimen negatif ini memicu bursa saham Jepang mengalami koreksi dengan indeks Nikkei225 turun 1,15%.
Beralih ke China, bank sentral China (People Bank of China/PBoC) mengumumkan pemangkasan suku bunga acuan kredit untuk tenor 1 dan 5 tahun masing-masing sebesar 20 dan 10 basis poin.
Ini merupakan kali kedua bank sentral China memangkas suku bunga acuannya sebagai bentuk respons menstimulasi ekonomi China yang terkontraksi 6,8% (yoy) pada kuartal pertama. Kebijakan ini direspons positif oleh pasar saham domestik China yang terindikasi dari apresiasi indeks Shang Hai Composite sebesar 0,5%.
Sementara dari dalam negeri, kemarin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada kuartal pertama 2020 tumbuh 8% (yoy). Namun untuk realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) justru mengalami kontraksi sebesar 9,2% (yoy) dan 7% (qoq). Ini menjadi sentimen negatif yang memberatkan pasar keuangan Tanah Air, terutama IHSG.
Sebenarnya rilis data perekonomian buruk yang terjadi sudah diantisipasi oleh pelaku pasar (priced in). Tinggal realitanya lebih buruk, sama atau lebih baik. Akibatnya, pasar terutama pasar saham RI menjadi labil pada perdagangan intraday akibat banjir sentimen campur aduk ini.
Sentimen yang silih berganti ini tak terlepas dari ulah pandemi COVID-19 yang merajai dunia dan seisinya. Musuh tak kasat mata ini jadi pemicu utama gejolak di pasar dan kekhawatiran terjadinya resesi global saat ini.
Masalah lain yang dihadapi sehingga memicu banjir sentimen campur aduk ini adalah fase pandemi di tiap negara yang berbeda-beda. Ada yang sudah melaporkan berhasil melewati puncak wabah (China), ada yang menuju ke puncak (AS, Italia dan Jerman ) ada yang baru menanjak (Asia Tenggara).
Pages
Most Popular